Kisah Ishak, 25 Tahun jadi Petugas Cleaning Outsourcing di DPR

Sistem kerja outsourcing kerap dipersoalkan karena dianggap tak manusiawi. Namun sempitnya lapangan kerja di Jakarta membuat banyak orang pasrah. Salah satu contohnya adalah Ishak, pekerja outsourcing yang sudah 25 tahun menjadi pekerja outsourcing di Gedung DPR RI.
Mengawali kerja pada tahun 1987 setelah bergabung dengan PT Metro Klina Agung, Ishak langsung ditempatkan di Gedung DPR RI. Hanya bermodal ijazah Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang sekarang tak berbekas akibat  banjir, Ishak ditugasi sebagai cleaning service di gedung wakil rakyat yang terhormat itu. “Sejak pertama kerja sudah (ditempatkan) di DPR,” ucapnya dengan suara agak keras saat ditemui di salah satu toilet gedung DPR RI, Rabu (3/10).

Volume suaranya memang sering terdengar meninggi. Maklum, pria kelahiran Bogor, 6 Februari 1964 itu sudah puluhan tahun mengalami gangguan pendengaran. Keterbatasan ekonomi membuat Ishak tak pernah mengobati pendengarannya yang bermasalah.

Pernah suatu ketika akibat pendengaran yang bermasalah, Ishak yang disuruh membeli materai justru membeli baterai. “Sudah sejak kelas enam SD seperti ini (gangguan pendengaran). Awalnya karena tertabrak mobil,” ceritanya sembari memegang alat pel.

Dengan sistem outsourcing, Ishak mengaku sudah puluhan kali ganti perusahaan. Kini ia di bawah naungan PT Mega Primatama. Sebelum bergabung dengan PT Mega Primatama, Ishak juga pernah bekerja di PT Bina Karya Swadaya (BKS). “Dulu sebelum dengan BKS pernah sama Mega juga,” ucapnya. “Saya lupa berapa kali pindah (ganti perusahaan). Udah banyak,” lagi-lagi Iskak menimpali pembicaraan dengan suara meninggi.

Saat ini Ishak yang sudah dua tahun ini mendapat tugas membersihkan toilet di samping pressroom DPR RI itu memang mengantongi gaji di atas Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta 2012 yang dipatok Rp 1,52 juta. “Sebulan dapatnya Rp 1,8 juta,” sebutnya.

Namun dengan gaji itu Ishak harus menghidupi istri dan lima anaknya. Terang saja dengan gaji minim untuk standar hidup di Jakarta itu Ishak tak bisa menabung. “Setiap bulan habis buat bayar pinjaman ke tetangga dan kontrakan rumah. Bayar cicilan tivi buat hiburan anak-anak pego (Rp 150 ribu),” keluhnya.

Untuk bayar kontrakan rumah, Ishak harus mengeluarkan Rp 175 ribu per bulan. Ia memilih mengontrak rumah kecil di  Desa Cilejet, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor. Alasannya, gajinya tak mungkin cukup jika menyewa rumah di Jakarta dengan lima orang anak.
Beruntung ada kereta, transportasi murah yang tiap hari menjadi pilihan Ishak saat berangkat maupun pulang kerja. “Naik dari Stasiun Cilejet turunnya di Palmerah. Terus jalan kaki ke DPR,” urainya. Stasiun Palmerah memang hanya terpisah jalan dengan tembok belakang gedung DPR RI.

Biaya yang harus dikeluarkan Ishak untuk transportasi adalah Rp 3 ribu per hari. Dengan kereta rute Jakarta-Rangkasbitung, Ishak harus rela dua jam berdesak-desakan dengan penumpang lain hanya untuk sekali jalan. “Sekali jalan cenggo (Rp 1.500). Pulang pergi jadi Rp 3.000,” paparnya.

Selama lima hari kerja, Ishak keluar rumah pukul 05.00 dan baru pulang dari gedung DPR RI pukul 19.30. Jika hari Senin, Ishak harus keluar rumah lebih pagi. “Jam tiga (pagi) harus sudah keluar rumah biar bisa dapet tempat di kereta. Hari Senin kereta dari Rangkasbitung penuh,” keluhnya.

Kini setelah 25 tahun bekerja dengan pola outsourcing di DPR, Ishak tak pernah merasakan naik pangkat. “Sampai sekarang masih cleaning,” tutur pria  beristrikan wanita bernama Hartati itu. Paling-paling Ishak hanya mendapat tambahan penghasilan saat pindah perusahaan yang menggunakan jasanya. ”Nggak banyak,” keluhnya.

Dengan penghasilan minim itu pula Ishak terpaksa mengubur harapannya untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang kuliah. Dari lima anaknya, dua di antaranya harus drop-out.
Anak pertamanya, M Yunus, terpaksa berhenti sekolah saat masih duduk di bangku SMP. “Umurnya sekarang 18 tahun. Kerja di konveksi,” kata Ishak.

Sedangkan anak kedua yang bernama Riani Budiastuti bernasib lebih baik karena sudah duduk di kelas 3 SMA di sebuah sekolah swasta tak jauh dari tempatnya bermukim. Namun anaknya yang ketiga, Muhammad Refiansyah, juga tak sekolah. “Sekarang umurnya (Refiansyah) 17 tahun. Keluar sekolah saat kelas satu SMP,” tutur Ishak. Anak keempat pasangan Ishak dan Hartati adalah Muhammad Afrizal yang kini duduk di kelas 1 SMP di Tenjo, Bogor. “Yang terakhir lima tahun, masih TK nol kecil,” katanya.

Sebagai pegawai outsourcing, Ishak mengaku tak mendapat tunjangan kesehatan. Saat harus terbaring di rumah sakit setahun silam, Ishak hanya mengandalkan kebaikan hati rekan-rekan seprofesinya di DPR. Beruntung Ishak yang ditempatkan di gedung dewan dikenal oleh sejumlah politisi yang menurutnya baik hati. Ishak mengaku kenal dengan sejumlah anggota DPR, terutama dari Fraksi PDI Perjuangan seperti Alex Litaay, Joseph Umar Hadi maupun Panda Nababan.

Salah satu nama yang membekas di benak Ishak adalah Jacobus Mayong Padang, anggota DPR periode 2004-2009 dari Fraksi PDIP. “Pak Kobu (Jacobus Mayong Padang) penah nengokin saya pas dirawat di rumah sakit,” katanya mengenang kebikan hati Jacobus. Ishak sendiri sampai saat ini tak tahu persis makna outsourcing. Bahkan Ishak tak hirau ketika kemarin di luar gedung DPR RI ada ratusan orang berunjuk rasa menuntut penghapusan outsourcing.

Ishak hanya tahu bahwa setiap tahun ia pindah perusahaan, meski tempat kerjanya tetap saja di DPR RI. “Belum tahu tahun depan di perusahaan mana,” katanya. Lantas apa harapan Ishak setelah 25 tahun menjadi pegawai outsourcing? “Penginnya sih pegawai tetap. Saya ingin anak saya bisa sekolah tinggi,” harapnya. (ayatollah antoni/ara/jpnn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.