Keluarga Herawati Soekardi, “Detektif” Penyelamat Kupu-Kupu Sumatera
Selain berprofesi sebagai dosen ilmu biologi di Universitas Lampung, Herawati Soekardi menjadi semacam detektif. Bersama anggota keluarganya, dia blusukan ke basis-basis satwa untuk menyelamatkan kupu-kupu asli Sumatera dari kepunahan.
Rumah-rumah mungil berderet di sepanjang jalan menuju puncak Gunung Betung, Bandar Lampung, Lampung. Seperti lazimnya di daerah pegunungan, rumah-rumah itu berjarak lumayan jauh antara satu dan yang lain. Di antara rumah-rumah itu, berdiri sebuah rumah unik. Seluruh dindingnya terbuat dari papan kayu. Tidak ada yang berasal dari batu bata. Rumah tersebut berlantai dua. Tapi, posisinya berada di bawah jalan raya.
Rumah itulah yang dinamakan pemiliknya, Herawati Soekardi, sebagai markas besar Taman Kupu-Kupu Gita Persada. Sesuai namanya, rumah itu juga menjadi semacan museum kupu-kupu. Ratusan jenis kupu-kupu yang sudah diawetkan dipajang di seluruh penjuru dinding. Ada juga yang ditata rapi di beberapa kaca etalase.
“Beruntung sekali Anda ke sini pas hujan,” ujar Herawati dengan ramah ketika ditemui di markasnya kemarin siang (28/8). Saat itu gerimis turun menyejukkan udara di kaki Gunung Betung. Bagi komunitas kupu-kupu, musim hujan merupakan fase membeludaknya populasi satwa indah itu di habitatnya.
Menurut Herawati, di kawasan kaki Gunung Betung kini terdapat 170 spesies kupu-kupu dari enam famili yang berbeda. Yaitu, famili papilionidae yang terdiri atas 20 spesies, pieridae (15), nymphalydae (60), lycaenidae (34), riodinidae (1), dan hesperlidae (30).
Di antara spesies kupu-kupu khas Sumatera itu, ada dua yang masuk kategori dilindungi karena makin langka. Dua spesies itu adalah cethosia hypsea (kupu-kupu renda batik) dan troides helena cerberus. “Tinggal sedikit di alam liar. Makanya harus dilindungi supaya tidak punah,” ujar perempuan pertama ahli kupu-kupu di Indonesia itu.
Setelah hujan reda, Jawa Pos diajak keliling di taman tak jauh dari markas Taman Kupu-Kupu Gita Persada. Di taman seluas hampir 5 hektare itu memang sangat gampang menemukan kupu-kupu beterbangan atau hinggap di bunga-bunga yang mekar. Warnanya yang indah membuat kagum yang memandang. Bahkan, ada kupu-kupu “raksasa” yang bentang sayapnya hampir seukuran kepingan VCD. “Kebanyakan kupu-kupu ini asli Sumatera. Tapi, beberapa juga ada di Jawa, Kalimantan, Malaysia, dan Singapura,” ujar istri Anshori Djausal itu.
Ibunda Alia Larasati, Meizano, Gita Paramita, dan Anisa Nuraisa itu menuturkan, tamannya juga menjadi kawasan penangkaran kupu-kupu. Di tempatnya kupu-kupu dibiarkan bebas berkembang. Sedangkan di tempat lain, kupu-kupu dijaring, lalu dikan. “Dengan cara seperti itu, risiko kematian atau kegagalan budi daya lumayan tinggi.”
Dalam perjalanan profesinya sebagai ahli kupu-kupi, Herawati telah “menciptakan” ilmu baru tentang pelestarian atau konservasi kupu-kupu. Sistem konservasi yang dilakukan adalah menanam pepohonan atau bunga-bungaan yang menjadi santapan alami ulat yang nanti menjadi kupu-kupu.
Dengan cara itu, untuk konservasi tidak perlu dengan menjaring kupu-kupu di hutan, lalu dilepas di taman. Risiko kematiannya lebih besar. “Jika ditangkar saja, tetapi tidak disiapkan makannya, tidak akan bisa hidup atau berkembang biak,” kata doktor biologi Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Herawati menuturkan, pada awalnya upaya konservasi kupu-kupu asli Sumatera cukup sulit. Dia bersama empat anaknya harus bahu-membahu mencari tanaman yang secara alami menjadi santapan ulat atau kupu-kupu. Kondisi kian sulit karena pada awal pendirian taman kupu-kupu pada 1997-1998 tidak ada referensi tentang tumbuhan-tumbuhan yang khusus untuk makanan ulat atau kupu-kupu.
Meski begitu, Herawati bersama suami dan anak-anaknya tidak menyerah. Mereka lalu melakukan riset khusus untuk mengetahui jenis tanaman apa saja yang biasa menjadi konsumsi ulat-ulat yang berkeliaran di hutan. “Kami menggunakan naluri seperti detektif untuk mengidentifikasi tanaman-tanaman yang biasa dimakan ulat tersebut.”
Cara detektif itu dilakukan dengan memelototi dedaunan di dalam hutan. Setiap ada daun yang habis digerogoti ulat, keluarga Herawati memberikan tanda. Sebab, selain sebagai santapan ulat sehari-hari, pohon itu pasti menjadi tempat meletakkan telur kupu-kupu. “Insting kupu-kupu selalu meletakkan telur di daun yang akan menjadi makanan ulat agar bila menetas si ulat sudah langsung mendapat makanannya,” kata perempuan kelahiran Palembang, 14 Agustus 1951, itu.
Dari teori yang dia pelajari, dalam radius lima meter dari daun yang meninggalkan bekas gerogotan, besar kemungkinan ada ulatnya. Minimal ada telur kupu-kupu. Bahkan, juga kupu-kupu yang beterbangan.
Jika menemukan daun seperti itu, Herawati lalu mencari bibit tanamannya untuk ditanam di tamannya. Terkadang dia juga mencari ulat atau telur kupu-kupu untuk ditempatkan di penangkaran. “Tapi, saya tidak menangkap kupu-kupunya.”
Hobi meneliti dedaunan yang dimakan ulat itu terbawa hingga saat di tempat-tempat yang banyak pepohonannya. Misalnya, ketika mereka berkunjung ke Taman Nasional Way Kambas atau Taman Nasional Bukit Barisan. “Saya terus berusaha menambah koleksi pepohonan baru sehingga koleksi kupu-kupunya bisa terus meningkat,” ucapnya.
Saat ini di belakang rumah kayu yang dijadikan markas Taman Kupu-Kupu Gita Persada itu tumbuh 160 jenis tanaman. Mulai berbagai jenis bunga, rerumputan, pohon pisang, kelapa, rotan, hingga bambu. Selain itu, ada pohon kayu hara atau pohon madu yang khas Lampung. “Di sini setiap spesies kupu-kupu memiliki makanan berbeda,” terang Martinus, menantu Herawati yang menjadi manajer operasional taman kupu-kupu itu.
Obsesi Herawati dan keluarga untuk terus menambah koleksi kupu-kupu khas Sumatera terus diupayakan. Pasalnya, berdasar literatur yang dia pelajari, kupu-kupu khas Sumatera terdapat lebih dari 1.500 spesies. Sedangkan yang sudah dikoleksi taman itu baru 10 persennya. Karena itu, Herawati akan terus mencari tanaman baru yang menjadi sumber makanan ulat atau kupu-kupu spesies baru.
Konservasi kupu-kupu tidak bisa dia kerjakan sendirian. Untuk itu, Herawati berharap agar taman kupu-kupu miliknya bisa menjadi model bagi tempat konservasi lain. “Kalau mengalami kesulitan tanaman untuk konsumsi ulat, kami siap menyuplai. Di sini banyak,” tuturnya.
Taman kupu-kupu Herawati kini menjadi jujukan riset atau rekreasi para pencinta kupu-kupu dari berbagai kota di tanah air. Bahkan, ada sebuah hotel besar yang berniat membuat penangkaran kupu-kupu seperti yang dilakukan Herawati.
Menurut Herawati, semestinya di Sumatera tidak hanya taman kupu-kupu di Lampung yang dikembangkan. Tapi, perlu di lokasi lain untuk “menjaring” kupu-kupu dari kawasan Palembang atau Medan. “Harapan saya, di kota-kota tadi juga ada warga yang berinisiatif mendirikan taman kupu-kupu,” katanya.
Herawati menegaskan, upaya konservasi kupu-kupu dari kepunahan bukan persoalan sepele. Memang, pada awalnya Herawati sempat dicibir karena pamor kupu-kupu Sumatera kalah ketimbang badak, harimau, atau gajah sumatera. Tapi, Herawati tetap ngotot bahwa keragaman corak warna kupu-kupu merupakan kekayaan alam tropis yang harus dilestarikan. “Kekayaan alam kita ini harus dijaga dan dilestarikan sebelum nanti diklaim milik negara lain,” tandas dia. (helmi setiawan/c4/ari/bnn)