Pemilik Koperasi Langit Biru Pernah Divonis 7 Tahun
TANGERANG, SNOL Bos Koperasi Langit Biru Desa Cikasungka, Solear, Kabupaten Tangerang, Jaya Komara ternyata pernah dibui selama 7 tahun. Demikian diungkapkan Kapolsek Cipondoh, Kompol Suyono, tentang tersangka utama yang menggelapkan dana ratusan ribu nasabah senilai triliunan rupiah yang sudah ditangkap ini.
“Saya dulu pernah menangkap Jaya Komara dengan kasus penipuan bidang kedokteran. Dia diduga melakukan mal praktek sebagai manteri kampung di kawasan Batuceper sekitar tahun 1993-an,” kata Kompol Suyono.
Waktu itu, jalas Suyono, dirinya masih bertugas sebagai jajaran rerserse di Polres Metro Tangerang. Dirinya ditugaskan menangkap Jaya karena diduga melakukan mal praktek kedokteran sehingga pasiennya meningal dunia. “Waktu itu dia mengoperasi pasiennya yang mengalami kelainan kelenjar bening,” ungkapnya.
Dari pengakuan Jaya, saat itu dia berhasil menjadi manteri terkenal di kawasan Batuceper hingga Teluknaga lantaran kebisaannya tentang kedokteran, dengan mempelajarinya secara otodidak saat menjadi offfice boy ( OB ) di Rumah Sakit Cipto Manginkusumo (RSCM).
“Dia memang pintar memanfaatkan peluang. Seperti saat dirinya menjadi manteri kampung yang sangat terkenal tahun 1991-1992 di Batuceper, dia mengaku memperoleh ilmu kedokteran dengan belajar otodidak saat menjadi OB di RSCM,” tuturnya.
Namun, karena bukan ahli kedokteran, akhirnya pasiennya meningal ditangannya. Yang akhirnya, Jaya dilaporkan ke polisi dan tersandung kasus hukum. “Sampai akhirnya dia divoinis 7 tahun penjara. Namun, saya juga kaget, setelah keluar penjara, dia malah sukses menjadi bos koperasi,” ucapnya.
Istri Jadi Tersangka
Penyidikan terhadap kasus penggelapan dana nasabah Koperasi Langit Biru (KLB) mulai merembet ke istri tersangka Jaya Komara. Perempuan berinisial TI itu mulai kemarin (26/7) diperiksa sebagai tersangka dalam kasus penggelapan yang diperkirakan senilai Rp 6 miliar tersebut. TI diduga terlibat karena ikut membantu sang suami yang merupakan bos KLB tersebut.
“Sudah jadi tersangka. Penyidik telah mengeluarkan surat perintah penahanan kepada mereka berdua. Tapi, kami masih mendalami sejauh mana keterlibatan TI. Kemungkinan dia terlibat pada operasional koperasi,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Kombes Pol Boy Rafli Amar di Jakarta kemarin.
Boy menuturkan, pemeriksaan saat ini masih belum menyentuh soal cara-cara yang dilakukan dua tersangka dalam menggelapkan dana nasabah. Pemeriksaan masih berupa latar belakang pekerjaan mereka berdua. Jaya, misalnya. Kata Boy, Jaya sebelumnya pernah menjalani beragam pekerjaan sebelum akhirnya bergabung pada perusahaan multilevel marketing (MLM). Nah, setelah bekerja di MLM itulah Jaya lantas mendirikan KLB.
Tim ahli digital forensik dari unit cyber crime Bareskrim Mabes Polri sudah memeriksa 39 komputer di kantor KLB. Pemeriksaan itu dilakukan untuk mengetahui berapa nasabah yang masuk dalam data KLB. Selain itu, juga untuk menghitung berapa jumlah pasti kerugian yang dialami nasabah. “Kami akan berpatokan terhadap audit investigasi dengan kerjasama akuntan publik untuk menentukan. Nah, audit investigasi itu yang nanti dijadikan dasar. Akan kelihatan berapa uang yang diterima, dikeluarkan, dan diberikan kepada masyarakat atau nasabah,” katanya.
Boy juga meminta agar para nasabah berhimpun dalam satu perkumpulan. Itu untuk mempermudah komunikasi mereka dengan penyidik pada Direktorat Ekonomi Khusus Mabes Polri. “Kami berharap masyarakat tetap bersabar dan memberi dukungan dengan tidak melakukan tindakan anarkis yang menghambat penyidikan. Masyarkat juga jangan mudah tergiur investasi dengan laba besar,” katanya.
Pihak-pihak lain, kata Boy, masih diperiksa. Di antaranya, pengemudi kendaraan jeep yang dipakai Jaya dalam pelarian di Jakarta, Cirebon, hingga akhirnya tertangkap Purwakarta pada Selasa (24/7) lalu. Boy mengungkapkan, awalnya koperasi yang berdiri pada 2011 di Kecamatan Solear, Tangerang, itu tidak berniat menipu. Mereka memiliki bisnis sapi untuk memutar duit para nasabah. Bisnis dagang sapi itu berjalan sukses selama beberapa waktu.
Namun, karena mereka menawarkan laba yang tinggi hingga 10-40 persen per bulan, peminat semakin besar. Karena tidak mampu mengelola dana, mereka akhirnya memutar duit nasabah untuk nasabah lainnya. “Profit harus ada untuk membayar bunga. Karena profit tidak ada lagi, yang dipakai uang nasabah lain,” kata Boy. (pane/aga/deddy/jpnn)