Gubernur Sulut, Damaikan Konflik Melalui Permainan Outbond
Nama Dr Sinyo Harry Sarundajang tak bisa dilepaskan dari upaya perdamaian konflik sektarian di Maluku Utara dan Maluku pada 2001-2002. Berkat pendekatannya yang humanis, perdamaian yang lama diidamkan pun akhirnya tercipta. Atas prestasinya itu, UIN Malik Ibrahim Malang menganugerahi gelar doktor honoris causa.
Siang itu, Senin, 20 September 2010, di Convention Hall Grand Kawanua International Centre (GKIC), Manado, pasangan Gubernur Sulawesi Utara (Sulut), Sinyo Harry Sarundajang-Djouhari Kansil, dilantik. Di antara seribuan undangan yang hadir, tampak sosok berjubah dan bersorban putih dengan jenggot yang terurai panjang. Dialah Djafar Umar Thalib, mantan panglima Laskar Jihad.
Hampir dua tahun kemudian, Sabtu (14/7), pemandangan itu terulang. Djafar kembali menghadiri sebuah perhelatan bersejarah dalam perjalanan hidup Sinyo Harry Sarundajang, yang mantan Penjabat Gubernur Maluku Utara 2001-2002. Hari itu, Sarundajang mendapat gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) di bidang Kepemimpinan Masyarakat Majemuk di Universitas Islam Negeri (UIN) Malik Ibrahim Malang. Penganugerahan dilangsungkan dalam sidang senat terbuka di Gedung Ir HC Soekarno, kampus UIN Malik Ibrahim Malang.
Kedekatan Sarundajang-Djafar memang tak pernah terbayangkan, jika mengingat pecahnya konflik sektarian di Maluku pada 1999-2001 dan Maluku Utara pada 2002. Saat itu Djafar bersama Laskar Jihad-nya menyatakan siap mati untuk memerangi kelompok separatis yang mereka sebut sebagai Republik Maluku Selatan (RMS). Awalnya, pihak-pihak yang berkonflik menolak keras kehadiran Sarundajang yang saat itu ditugaskan Presiden Megawati Soekarnoputri mengisi kursi gubernur sementara di daerah konflik tersebut.
’’Tapi, beliau (Sarundajang) mampu meyakinkan saya untuk secara permanen menarik seluruh pasukan Laskar Jihad dari Maluku,’’ ujar Djafar Umar Thalib yang ditemui usai mengikuti penganugerahan gelar doktor HC kepada gubernur Sulut itu.
’’Saat itu beliau mengatakan pemerintah Republik Indonesia akan menjamin dengan taruhan nyawa dan kehormatan beliau, bahwa wilayah Maluku dan Maluku Utara tidak akan lagi diganggu oleh kekuatan separatis, waktu itu RMS,’’ kenangnya waktu ditanya tentang apa yang membuatnya yakin untuk mengambil keputusan menarik seluruh pasukan Laskar Jihad dari dua wilayah konflik tersebut.
Dan, benar, berkat peran dan turun tangan Sarundajang mengupayakan damai di Maluku dan Maluku Utara, konflik di dua wilayah itu pun berangsur mereda. Sejak itu pula, hubungan Sarundajang dan Djafar Umar makin erat hingga sekarang.
Keberhasilan dalam meredakan konflik di Maluku Utara dan Maluku itu mengantarkan Sarundajang meraih berbagai penghargaan di tingkat nasional maupun internasional. Di antaranya, Bintang Jasa Utama (2004), Bintang Mahaputera Award (2009), dan Presidential Citation Award yang diserahkan langsung Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo (2009).
Tak hanya itu, di kalangan masyarakat muslim Maluku, Sarundajang mendapat julukan seabagai ’’khalifah’’. Sedangkan warga Kristen memberi gelar ’’Duta Perdamaian’’. Karena itu, pantaslah bila UIN Balik Ibrahim Malang kemudian memberikan gelar doktor HC kepada Sarundajang di bidang Kepemimpinan Masyarakat Majemuk. Inilah gelar doktor HC pertama yang dianugerahkan UIN Malang kepada tokoh non-muslim. Sebelumnya, UIN Malang pernah menganugerahkan gelar doktor HC kepada Presiden Soekarno, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, dan Jusuf Kalla.
Menurut Rektor UIN Prof Dr Imam Suprayogo, penganugerahan gelar doktor kehormatan kepada Sarundajang diberikan supaya gaya kepemimpinannya menjadi model ideal bagi para pemimpin daerah di Indonesia.
’’Kesuksesan dalam mengelola masyarakat majemuk patut kita jadikan pelajaran berharga untuk mengembangkan pola kepemimpinan daerah yang signifikan ke depan,’’ ujarnya.
Perjuangan Sarundajang meredakan konflik di Maluku Utara pada 2001 tidaklah mudah. Bahkan, pada awalnya, mantan wali kota Bitung itu ditolak kehadirannya oleh berbagai kalangan yang terlibat konflik, termasuk Laskar Jihad. Penolakan itu antara lain ditandai dengan meledaknya sebuah bom di dekat tempat penginapan Sarundajang di Ternate, beberapa jam setelah tiba di Maluku Utara.
Namun, Sarundajang tidak terus kehilangan nyalinya. Padahal, bom itu meledak 25 meter dari kamar tidurnya. Dia bergeming.
Beberapa saat kemudian, Sarundajang mulai menemukan simpul-simpul konflik di Maluku Utara. Sarundajang mulai mengurainya dengan mendatangi tokoh-tokoh masyarakat garis keras Maluku Utara secara door to door. Mantan dosen luar biasa Universitas Sam Ratulangi itu bahkan masuk ke dapur rumah para tokoh itu dan makan bersama mereka.
Hasilnya, sungguh ampuh. Secara berangsur, konflik bisa diurai. Bahkan, tak lama kemudian, Maluku Utara mampu menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (gubernur) definitif pada 2002.
Selesai tugas di Maluku Utara, Sarundajang sudah ditunggu tugas berikutnya yang tidak kalah berat, meredakan konflik di Maluku. Beberapa jam setelah menjejakkan kakinya di Ambon, ibu kota Maluku, dia langsung dipaksa mengikuti upacara uji kemampuan sebagai pemimpin wilayah. Sarundajang harus mencambuk dengan tiga ujung lidi ke tubuh lelaki kebal yang telanjang dada. Apabila bekas cambukan pada tubuh lelaki kebal itu mengeluarkan darah, Sarundajang dianggap memenuhi syarat adat memimpin Maluku. Namun, jika tidak, Sarundajang akan ditolak sebagai pejabat gubernur Maluku.
Sebuah keajaiban terjadi, setelah tiga kali mencambuk pria kebal tersebut, bekas lukanya mengeluarkan darah. Maka, Sarundajang pun dielu-elukan sebagai tokoh yang layak memimpin Maluku.
Menurut Sarundajang, untuk menangani sebuah konflik sosial di suatu daerah perlu pendekatan yang mengedepankan kearifan lokal dan dialog yang didasarkan pada hati nurani. ’’Saya bikin kegiatan outbond untuk para pemuda di sana. Supaya mereka bisa saling mengenal dan akrab,’’ ungkap bapak lima anak itu.
Dalam pidato ilmiahnya, Sarundajang menyatakan bahwa faktor penyebab banyaknya konflik sosial di Indonesia adalah ketidakadilan, ketidakmerataan, serta ketimpangan ekonomi. ’’Konflik di Maluku Utara dan Maluku itu bukan konflik agama. Hanya provokator saja yang membungkusnya dengan isu agama,’’ ujar alumnus Lemhannas KSA angkatan VIII (2000) tersebut.
Dia menegaskan, tak sedikit pemimpin daerah yang malah menjadi bagian dari konflik. ’’Kegagalan para pemimpin dalam merawat dan mengelola kemajemukan atau keberagaman hampir dipastikan akan menjadi malapetaka bagi masyarakat yang dipimpinnya,’’ tandas tokoh yang juga pernah menerima gelar Dr HC dari Universitas Gadah Mada tersebut.(can/ari/jpnn)