Ada Empat Wanita Indonesia di Spa dan Salon Pijat di Kiev, Ukraina
Trauma Masuk Penjara Rusia, Merasa Nyaman di Kiev
Selain tiga chef (koki, juru masak) di Hotel Hyatt Regency Kiev, ada empat WNI lagi yang bekerja di kota Ukraina itu. Tiga berasal dari Bali, satu lagi dari Bojonegoro, Jawa Timur. Mereka bekerja di spa dan salon pijat di sana. Wartawan Satelit News Agung Pamujo sempat menemui empat wanita itu. Berikut laporannya.
Ada yang mencolok mata bagi warga Indonesia yang tengah berkunjung belakangan ini. Di beberapa peta dan dan majalah gratis untuk turis, ada gambar wanita berwajah Indonesia dengan pakaian adat Bali.
Gambar itu tercantum dalam iklan sebuah spa dan salon pijat, dan berada di antara deretan iklan spa dan tempat pijat lainnya. Ada kalimat dalam huruf latin selain huruf cyrilic (huruf yang biasa dipakai di Rusia/Ukraina). Tertulis Massage & Spa “7 Krassock”, diikuti alamat Destyatinna Street dan no telepon. Iklan itu menawarkan dua jenis pijat: Thai dan Bali massage.
Iklan spa Thai dan Bali itu saya jumpai lagi dalam bentuk spanduk di sebuah jalan dekat stasiun metro (kereta bawah tanah, Res) Poshtova Ploscha. Gambar yang dipasang tetap wanita Bali itu, namun tulisannya semua memakai huruf Cyrilic. Saya yakin itu iklan untuk salon yang sama, karena ada angka 7 di spanduk itu, menunjuk ke nama salon itu: “7 Krassock”
Di sela-sela liputan Euro 2012, saya pun menyempatkan datang ke salon itu. Cukup mudah ditemukan, karena di dinding depan tempat bangunan salon itu, kembali dipasang gambar wanita Bali itu.
Begitu masuk, diterima resepsionis, seorang wanita Ukraina. Saya pun menanyakan jenis terapinya. Wanita pirang itu lantas menjelaskan, ada ala Thai dan ala Bali. Karena memang ingin menjumpai WNI yang bekerja di sana, saya memilih ala Bali.
Setelah tandatangan beberapa dokumen, saya diajak masuk ke dalam. Di situlah saya melihat tiga wanita, semua berpakaian kebaya ala Bali. Mereka tersenyum, lalu salah satunya menyapa: “Dari Indonesia?”
Saya mengangguk. Lalu wanita yang kemudian saya tahu bernama Ni Luh Sudiasih itu langsung mengajak saya ke ruang pijat. Dia lah yang bertugas memijat saya saat itu.
Menyusuri lorong menuju kamar, suasana Bali sudah mulai kelihatan. Di dinding-dinding, terpasang hiasan-hiasan Bali.
Di kamar tempat pijat yang berupa kamar tertutup ukuran 3 x 3 dengan tempat tidur ukuran single, juga dipasang kipas Bali berukuran besar. “Aduh .. senang Pak ada orang Indonesia datang ke sini,” kata Sudi –begitu Ni Luh Sudiasih menyebut nama panggilannya–, begitu mulai memijat.
Wanita berusia 33 tahun itu lantas bercerita, selama 2 tahun bekerja di Kiev, baru sekali memijat orang Indonesia. Itu pun staf kedutaan. Pelanggannya selama ini kebanyakan ya orang Eropa. “Selain orang Ukraina, ada juga orang-orang bule lainnya dari negara lain,” tambahnya.
Dia mengaku sejauh ini merasa nyaman bekerja di Kiev. Selain gaji yang lumayan –gaji pokok 700 dolar AS, plus bonus-bonus bisa mencapai 1.000 dolar AS–, kota Kiev dianggap wanita yang mengaku asal Lovina, Singaraja itu, nyaman untuk ditinggali. “Di sini biaya hidup tidak mahal, selain itu polisinya juga tidak suka cari masalah,” paparnya.
Soal polisi, Sudi mengaku punya pengalaman buruk saat bekerja di negara lain, yakni Rusia. Saat itu, wanita yang pernah bekerja di sebuah spa di hotel ternama di Bali itu baru saja datang ke Moskow. Waktu itu, 2008, dia baru mengikat kontrak untuk bekerja di spa di ibu kota Rusia itu.
Belum segenap bekerja di sana, dia ditangkap polisi setempat. “Waktu itu saya lagi jalan menuju salon, bersama seorang teman. Kami bertemu polisi, lalu disuruh berhenti. Kami ditanya-tanya, tapi tidak mengerti bahasanya, langsung kami disuruh naik ke mobil mereka, terus dibawa ke kantor polisi,” tuturnya.
Di kantor polisi itu, Sudi langsung dimasukkan tahanan. “Saya menangis, tidak tahu harus berbuat apa. Untung teman tadi ada yang bisa menelepon orang kedutaan. Kami lantas dibantu, dan bisa keluar. Sempat satu jam dalam penjara,” ujarnya.
Meski hanya satu jam, tapi pengalaman dipenjara itu membuat Sudi trauma. Apalagi, setelah itu beberapa kali dia dimintai uang oleh oknum polisi Rusia. “Saya jadi tidak kerasan di Moskow. Meski banyak teman Bali juga bekerja di spa di sana,” katanya.
Karena itu, saat bos pemilik spa –disebutnya namanya Mr Arkadev–, menawari pindah ke Kiev, Sudi langsung mau. “Mr Arkadev mau buka cabang di Kiev. Saya dan dua teman Indonesia dan tiga pemijat Thailand yang jadi perintis membuka salon di sini (Kiev, Red),” jelasnya.
Di Kiev, wanita itu merasa lebih nyaman. “Kalau di jalan ketemu polisi, asal menunjukkan dokumen, ya tidak ada masalah,” katanya. Dia lebih senang lagi, saat datang tambahan satu wanita pemijat dari Bali. Sehingga, ada empat WNI, yakni Sudi sendiri, Astiarni, Komang yang baru datang, dan Tinarsih atau Titin, satu-satunya yang non Bali, dan berasal dari Bojonegoro, Jawa Timur.
Selain itu, dia juga tidak pernah mendapat masalah dengan tamu selama bekerja di Kiev. Sudi mengaku, pengunjung salon 7 Krassock, memang ada yang mencoba mengganggu. Antara lain meminta layanan “lain” atau mengajak kencan.
Tapi, salon yang pusat utamanya di Moskow itu –ada 15 salon di Moskow dengan sekitar 200 pemijat WNI—menurut Sudi memang untuk terapi. “Di setiap kamar ada kamera (video). Kalau ada tamu yang mau nakal, bisa dilaporkan petugas salon yang memantau video itu ke polisi. Saya selalu bilang ke tamu yang mencoba nakal, dengan bilang ada kamera di kamar ini,” kata Sudi.
Dia mengaku pernah ditawari kenalannya orang Ukraina yang juga bekerja di sebuah salon pijat, untuk bekerja di salon lain itu saat hari libur. Tapi, ternyata salon itu adalah salon pijat erotis. “Saya langsung pergi. Saya tidak mau kena masalah, karena sebenarnya pijat erotis itu tidak boleh di sini. Bisa ditangkap polisi,” katanya.
Menurut dia, fokusnya adalah mencari uang dengan cara yang benar, meski di luar negeri. Dia sangat takut mendapat masalah, sehingga usahanya mengumpulkan uang dengan pengorbangan harus berpisah dari suami dan anaknya, jadi sia-sia.
Meski merasa nyaman di Kiev, Sudi mengaku tidak mau terlalu lama bekerja di sana. Dia ingin kembali berkumpul sama keluarganya setiap hari. Terutama, karena anak satu-satunya makin besar, kini sudah SMP. “Tahun ini kontrak saya habis. Saya ingin pulang dulu, istirahat enam bulan. Tapi, setelah itu mau balik kerja di sini lagi untuk dua tahun. Baru, setelah itu mau di Bali terus aja,” jelas wanita yang logat Bali-nya masih medok itu. (*)