Boleh Bahas UU, DPD Merasa Terima Kado dari Mahfud
JAKARTA,SNOL Pengacara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Todung Mulya Lubis mengatakan putusan MK yang menyejajarkan DPD, DPR dan Presiden dalam proses pembuatan undang-undang, bukanlah sesuatu yang baru.
“Putusan MK itu bukan hal baru. Dari semula saya yakin MK akan kabulkan gugatan DPD terkait dengan penerapan Pasal 22D UUD 45 oleh DPR,” kata Tudung Mulya Lubis, di gedung DPD, Senayan Jakarta, Rabu (27/3).
Kalau selama ini hak-hak konstitusi DPD di dikebiri oleh DPR, dengan adanya Putusan MK hari ini, lanjut Todung, maka MK telah memulihkan hak-hak konstitusi DPD hingga setara dengan DPR dan Presiden dalam membuat UU.
“Tapi peristiwa ini merupakan sejarah baru bagi bangsa dan negara Ini karena DPD punya hak membahas semua RUU yang mencakup kewenangan DPD, termasuk membuat tim dalam membahas RUU,” tegasnya.
Selaku warga negara, lanjutnya, Tudong juga menyebut putusan MK yang menyejajarkan DPD, DPR dan Presiden RI dalam membuat UU menyadarkan publik bahwa selama ini telah terjadi kekeliruan kita dalam menjalanakan perintah kontitusi.
“Saya dan kita semua telah disadarkan oleh Majelis Hakim MK bahwa selama ini kita keliru dalam menjalankan konstitusi,” imbuhnya.
Selain itu lanjutnya, MK juga memerintahkan semua pihak terkait dengan proses program legislasi nasional (Prolegnas) harus terbuka terhadap DPD.
“DPD bukan subordinat DPR atau lembaga negara lainnya dan ini barangkali adalah kado terakhir dari Ketua MK, Mahfud MD (sebelum berakhir masa jabatannya, red),” kata Todung.
Perkuat Kewenangan DPD
Seperti diketahui, MK mengabulkan permohonan uji materi Undang-undang (UU) Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) dan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundangan yang diajukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam putusan yang dibacakan Rabu (27/3), MK menguatkan posisi DPD dalam pembahasan rancangan undang-undang.
Gugatan uji materi UU MD3 yang dikabulkan sebagian itu diajukan oleh pimpinan DPD, yakni Ketua DPD Irman Gusman dan dua wakilnya yaitu La Ode Ida dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Mahfud MD saat membacakan putusan di dalam ruang sidang, Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (27/3).
Berdasarkan putusan itu maka MK memberikan kewenangan bagi DPD untuk ikut serta dalam mengajukan dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menyangkut daerah.
Selain itu, DPD juga memiliki hak untuk menyusun program legislasi nasional (Prolegnas), karena lembaga itu dianggap setara dengan Presiden dan DPR. “Pembahasan RUU harus dibahas dalam Prolegnas dengan dikoordinasi oleh DPR menggunakan badan kelengkapan yang terkait,” lanjut Mahfuz.
Meski diikutsertakan dalam setiap pembahasan RUU dengan DPR, namun DPD tidak bisa ikut serta dalam proses pengambilan keputusan.
“Kedudukan DPD dalam proses pembahasan rancangan undang-undang tersebut sampai tingkat pertama dan tidak turut serta dalam proses pengambilan keputusan,” tegas Mahfud.
Anggota majelis, Akil Mochtar mengatakan bahwa seluruh ketentuan yang mereduksi kewenangan DPD bertentangan dengan UUD 1945.
“Lagipula wewenang lembaga yang cukup besar dengan anggaran yang besar tidak sesuai dengan UU dimaksud. Oleh sebab itu harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945,” kata dia.
Sebelumnya diberitakan, beberapa uji materi yang diajukan DPD adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3), dan kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Todung Mulya Lubis, selaku kuasa hukum DPD RI di Jakarta, mengatakan, pada 14 September 2012, DPD telah mendaftarkan permohonan uji materi atas kedua UU tersebut, guna mempertegas kewenangan legislasi DPD sebagaimana ketentuan Pasal 22 D Ayat (1) dan Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945. DPD RI meminta tafsiran MK atas tiga substansi. Pertama, terkait keikutsertaan DPD dalam pembahasan program legislasi nasional (prolegnas).
Kedua, RUU usulan DPD hingga kini tanpa tindak lanjut namun Baleg DPD melakukan harmonisasi konsepsi RUU yang diajukan DPD. Ketiga, tidak mengikutsertakan DPD dalam pembahasan RUU di bidang tertentu. (flo/jpnn)