Mesin Harapan Petani Made in Mlilir

HOPE2SAYA sampai harus belajar dari buaya. Itu kata Agus Zamroni, pengusaha kecil dari Desa Mlilir, Ponorogo. Dia seorang sarjana hukum. Bukan sarjana teknik. Juga bukan sarjana pertanian. Tapi, kegigihannya menciptakan mesin pemanen padi tidak ada duanya.

Sebagai orang desa, Agus hidup dari pertanian. Khususnya padi. Sebagai petani besar, Agus merasakan sulitnya mencari tenaga untuk panen. Kian tahun kian sangat sulitnya. Kesulitan yang sama sebenarnya juga dialami petani tebu: kian sulit cari tenaga penebang tebu.

Sebagai generasi muda, Agus terus mempelajari mesin-mesin panen buatan Jepang dan http://intravenous.net/impotence-viagra Tiongkok. “Masak bikin begini saja tidak bisa,” pikirnya. Agus terus mencoba dan mencoba. Saya menyemangatinya dengan iming-iming bahwa mesinnya itu, kalau sudah jadi, akan dibeli BUMN. Saya yakin dia sangat serius. Usaha taninya serius. Usahanya sebagai penyalur pupuk juga serius. Orang yang sudah membuktikan bisa serius dalam menangani satu bidang juga akan serius di link for you bidang berikutnya. Karena itu, saya percaya dia tidak main-main.

Dan ternyata benar. Agus berhasil. Lahirlah mesin panen generasi pertama. Dia beri merek Zaaga (diambil dari namanya).

Mesin itu benar-benar bisa digunakan. Tentu masih banyak kekurangan. Masih banyak gabah yang berceceran di luar karung penampung.

Tapi, Agus tidak menyerah. Penyempurnaan terus dilakukan. Saya terus menjanjikan bahwa BUMN akan membeli hasilnya. Lahirlah generasi kedua. Sudah bisa dibilang sangat baik. BUMN membelinya. Dihadiahkan kepada kelompok tani.

Hasilnya bagus. Banyak yang tertarik. Agus sendiri kian percaya diri. Agus berani mengundang saya untuk melihat penggunaan mesin Zaaga generasi kedua itu.

Maka, pada musim panen yang lalu saya memenuhi permintaannya untuk pergi ke Mlilir. Saya berdebar-debar. Ngeri-ngeri sedap, istilah politisinya. Benarkah mesin panen ciptaan anak bangsa itu bisa berfungsi di lapangan.

Ternyata benar-benar berhasil!

Tentu saya sangat senang. Kelompok-kelompok tani juga mulai percaya. Mesin itu terjual laris. Sehari Agus bisa memproduksi dua unit. Luar biasa. Pabriknya yang berada di Mlilir menjadi sangat sibuk.

Sampailah pada suatu pagi yang mengagetkan Agus kedatangan tamu yang membawa beking. Tamu itu marah-marah berat. Agus akan dihajar. Agus dianggap menipu. Mesin panen itu, katanya, tidak bisa digunakan.

Setelah terjadi dialog, diketahuilah bahwa panen itu dilakukan di sawah yang berlumpur dalam. Mesinnya tidak bisa jalan. Rodanya ambles.

Agus merasa kiamat. Setiap menceritakan itu, Agus berlinang air mata. Dia merasa terpukul. Dia sanggupi mengganti uang sang tamu.

Tapi, kegalauannya bukan di soal ganti rugi. Melainkan di kegagalannya itu sendiri. Saat berlinang air mata itulah pikirannya tiba-tiba melayang ke buaya. Kok tangan buaya tidak tenggelam saat merayap di usefull link medan berlumpur.

Agus lantas pergi ke berbagai tempat yang ada buayanya. Dia amati. Sebagai orang yang bukan berlatar teknik mesin (tapi dia pernah kursus teknik di bengkel Mercedes-Benz), Agus mendapat ide dari buaya itu.

Maka, dia rancang roda yang berbeda. Yang jarak antargigi lebih lebar. Berhasil. Inilah mesin panen generasi ketiga made in Mlilir.

Minggu lalu saya pergi ke sana lagi. Melihat pabriknya. Juga melihat roda untuk Zaaga generasi baru itu. Teknologi panen sudah bisa dikuasai anak negeri sendiri. Tentu saya juga berharap produsen lainnya, seperti Futata, terus mengembangkan diri.

Saya masih titip satu misi lagi untuk Agus: ciptakan mesin tanam padi. Pesan yang sama juga saya sampaikan saat berdialog dengan mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang Sabtu lalu.

“Siapa yang berkeinginan menciptakan mesin tanam?” tanya saya di depan sekitar seribu mahasiswa.

Mesin tanam sangat penting karena saat ini mencari buruh tanam juga amat sulit. Jadwal tanam bisa mundur sampai satu minggu gara-gara belum mendapat buruh tanam. Itu sangat mengganggu produksi beras.

Lima mahasiswa angkat tangan. Cukup banyak. Satu per satu saya minta untuk menceritakan gagasan masing-masing.

Seorang mahasiswi menceritakannya sambil menahan tangis. “Saya sangat ingin menciptakannya demi bapak saya,” katanya.

“Bapak saya tiap hari dihina nenek saya karena bapak saya hanya bisa bertani,” katanya. Air matanya tak terbendung lagi. Satu ruangan besar ikut terharu.

Tentu mereka akan bisa. Agus yang pendidikan dasarnya madrasah ibtidaiyah dan pendidikan tingginya di Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun saja bisa. Asal mau, kita bisa!(*)