Ini Mengapa Tarif Interkoneksi Harus Turun
JAKARTA,SNOL Pemerintah telah memutuskan tarif interkoneksi turun rata-rata sebesar 26 persen berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8/2006 tentang Interkoneksi.
Pengamat telekomunikasi, Bambang P Adiwiyoto menilai positif keputusan tersebut mengingat tarif yang berlaku saat ini sudah terlalu tinggi.
“Tarif yang tinggi menyebabkan perpindahan surplus konsumer ke surplus produser,” kata Bambang yang pernah menjabat Komisioner BRTI periode 2006-2009 di Jakarta, (Selasa, 9/8).
Dia menjelaskan, pada dasarnya penetapan suatu tarif bukan isu bisnis (tidak mempergunakan ilmu bisnis), tetapi isu ilmu ekonomi.
“Jadi penetapan tarif tidak dapat dikaitkan dengan biaya produksi operator,” terangnya.
Pada dasarnya, lanjut dia, perhitungan biaya telekomunikasi dapat mempergunakan salah satu metode, yaitu historical-cost approach, forward-looking approach, atau pendekatan biaya interkoneksi. Regulator di Indonesia telah menetapkan forward-looking approach sebagai cara untuk menghitung biaya.
Pendekatan dengan cara ini mempergunakan model ekonomi – teknik yang memperhitungkan biaya elemen jaringan sehingga menghasilkan jasa dengan mempergunakan elemen tersebut.
Model ini menghitung biaya untuk membangun kembali elemen jaringan spesifik dengan mempergunakan teknologi yang ada, mengasumsikan bahwa biaya operasi dan modal dimanfaatkan secara efisien. Model pendekatan ini termasuk (1) long run incremental cost (LRIC), (2) total service long run incremental cost (TSLRIC), dan (3) total element long run incremental cost (TELRIC).
Berdasarkan kesepakatan bersama dipilih long run incremental cost (LRIC). Biasanya LRIC dihitung dengan memperkirakan biaya yang menggunakan teknologi saat ini dan standar kinerja terbaik yang ada.
Selain itu LRIC juga memperhitungkan prediksi kenaikan permintaan di masa mendatang, sehingga tercipta kondisi penawaran dan permintaan (supply dandemand) yang menetapkan tarif.
Bambang menambahkan, keberadaan joint atau common cost mengakibatkan jumlah LRIC seluruh jasa operator akan lebih kecil dari pada biaya total operator. Dengan demikian, operator tidak dapat menutup seluruh biaya.
Regulator dapat memberikan mark up yang ditambahkan ke LRIC atau biaya tipe LRIC operator untuk membantu operator menutup seluruh biaya.
Dia menilai hal yang menjadi kelemahan metode ini adalah dapat mengakomodasikan ketidakefisienan operasi atau teknologi yang dimiliki operator incumbent yang lantas dilimpahkan kepada operator yang mendapat interkoneksi. Ini kemudian menyebabkan tarif jasa yang diberikan kemungkinan dapat lebih rendah apabila operator mempergunakan teknologi atau praktik manajemen yang efisien.
“Sampai tahun 2015, PT Telkomsel ditetapkan sebagai acuan karena dianggap operator STBS paling efisien. Namun berdasarkan perhitungan terakhir, yang telah disampaikan dan diketahui oleh regulator, ada operator STBS lain yang dinyatakan paling efisien, di mana memiliki tarif interkoneksi paling rendah, bahkan jauh lebih rendah daripada Telkomsel,” urai Bambang yang juga pernah menjadi Komisioner KPPU 2000-2006.
Dalam pendekatan LRIC, salah satu faktor utama adalah prediksi kenaikan permintaan (demand) trafik dan weighted average cost of capital (WACC). Dengan mempergunakan pendekatan LRIC permintaan trafik yang meningkat mengakibatkan tarif telekomunikasi berpotensi turun.
Dalam perhitungan dan disampaikan kepada regulator, tarif interkoneksi Telkomsel sebesar Rp204. Angka ini jauh lebih besar daripada angka yang dimiliki salah satu operator STBS. Hal ini menyebabkan tarif telekomunikasi menjadi mahal sekali,” jelasnya.
Dia menilai apabila regulator tetap mempergunakan angka perhitungan Telkomsel sebagai acuan yang mengakibatkan sangat tingginya tarif telekomunikasi, maka konsumen berhak menuntut regulator dan Telkomsel karena menzalimi dan bertentangan dengan ayat (3) Pasal 33 UUD, yang berbunyi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Untuk tidak membuat keadaan semakin silang pendapat dan argumen, serta mencegah regulator dituduh ikut menyakiti hati rakyat consumer, Bambang menegaskan, seyogyanya regulator segera melakukan perhitungan ulang tarif interkoneksi dengan mengacu kondisi operator yang paling efisien.
Tarif interkoneksi yang ditetapkan regulator seharusnya tarif batas atas, bukan tarif batas bawah.
“Masing-masing operator akan menetapkan tarif pungut berdasarkan kondisi setempat (specific location), tarif pungut tidak dapat one fits size for all,” katanya.
Dengan skenario ini, operator yang memiliki tarif interkoneksi lebih rendah dibandingkan dengan operator lain akan tetap bertahan. Namun adalah salah satu tugas regulator agar tidak terjadi persaingan usaha saling mematikan.(wid/rmol)