Wali Murid dan Sekolah Saling Lapor

Dugaan Kekerasan Anak di Gading Serpong

GADINGSERPONG,SNOL Dugaan kekerasan antar pelajar terjadi di SD Tunas Mulia Montessori, Gading Serpong, Kabupaten Tangerang. Wali murid korban penganiayaan terlibat saling lapor dengan pihak sekolah.

Kemarin (19/10), Wakil Kepala Sekolah SD Tunas Mulia Montessori, Junita Manurung menjelaskan kronologis kasus kekerasan yang ramai diberitakan media massa nasional dan media sosial.

Junita menegaskan, tuduhan kekerasan antar siswa yang disebutkan menyebabkan siswa harus mendapatkan perawatan tidak ada dan tidak pernah terjadi.

“Kami dari pihak sekolah memastikan tuduhan kekerasan tidak pernah terjadi dan tidak pernah ada. Kami sebagai lembaga yang dipercaya mendidik dan menjaga siswa telah melakukan investigasi di bawah arahan instansi pendidikan dasar dan KPAI,” tegas Junita saat menggelar konferensi pers di salahsatu rumah makan di Tangerang, kemarin siang.

Junita mengatakan, peristiwa ini bermula ketika orangtua siswa A datang ke sekolah melaporkan adanya dugaan kekerasan yang menimpa anaknya, Jumat 18 September 2015.

Kepada pihak sekolah, orangtua A melaporkan kejadian yang dituduhkan dilakukan siswa M terhadap A terjadi pada Jumat 11 September 2015, tepatnya pada saat persiapan ekstrakurikuler Taekwondo.

“Kami langsung melakukan cek ke wali kelas apakah benar siswa A ditendang oleh siswa M? Setelah dicek dari catatan buku penghubung dan buku absen pada tanggal 11 September 2015, siswa M yang dituduhkan itu sebenarnya tidak masuk. Jadi tidak ada kekerasan itu,” katanya.

Wali kelas kedua siswa pada 18 September 2015 juga menanyakan kepada M terkait peristiwa tersebut. M menjawab tidak tahu. Di tanggal yang sama pada siang hari sekolah memanggil orangtua M dan mengungkapkan ada laporan siswa M menendang A. Orangtua M pun mengaku tidak tahu ada kejadian yang diduga dilakukan oleh anaknya.

“Pada hari Senin 21 September 2015, keluarga A kembali mendatangi pihak sekolah meminta siswa M yang dituduh sebagai pelaku kekerasan untuk dikeluarkan dari sekolah. Mereka mengultimatum sekolah apabila M tidak dikeluarkan paling lambat Jumat 25 September 2015, keluarga akan melapor ke Dinas Pendidikan, KPAI dan Polres,” tuturnya.

Menurut Junita, sekolah mempunyai aturan dan prosedur untuk mengeluarkan siswa dari sekolah. Sekolah juga tidak boleh sembarangan mengeluarkan siswa karena semua mempunyai hak masing-masing untuk memperoleh pendidikan.

“Makanya pada saat itu dilakukan pencarian alat bukti dari catatan buku penghubung dan buku absen. Ternyata M yang dituduhkan orangtua A melakukan kekerasan pada 11 September 2015 itu tidak masuk sekolah,” papar Junita.

Kemudian, dari rekaman CCTV, siswa A juga terlihat masih dalam keadaan sehat dan terlihat berlari-larian dengan teman sebayanya. Di sekolah tersebut terdapat 20 unit CCTV yang kondisinya aktif setiap hari. Bahkan setiap pagi dewan guru menyambut siswa dengan ucapan selamat datang.

“Setelah kejadian itu, tanggal 22 September 2015 siswa A sempat datang ke sekolah untuk ujian. Tapi hari berikutnya tidak datang lagi. Informasi yang kami terima siswa A sakit. Sekolah mencoba menelepon orangtua A beberapa kali tapi ditolak,” jelasnya.

Kemudian pada hari Jumat 25 September 2015, pihak sekolah juga mendapat informasi bahwa siswa A sakit dan dirawat di ru-mah sakit. Sekolah berinisiatif datang untuk menjenguk. Namun demikian, itikad baik sekolah ditolak. Pihak rumah sakit tidak mengizinkan atas permintaan orangtua siswa A.

“Pada hari Rabu 30 September 2015 kami didatangi pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang untuk konfirmasi kejadian tersebut,” ujarnya.

Pada hari Rabu 7 Oktober 2015, sekolah diundang atas laporan siswa A ke Dinas Pendidikan. Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang melalui bagian pendidikan dasar menyarankan sekolah harus melakukan mediasi karena itu terjadi antara anak dengan anak.

“Hari berikutnya Kamis (8/10), kami juga dipanggil KPAI dan KPAI menyatakan sekolah harus menjadi mediator. Atas dasar itu sekolah melakukan mediasi pada hari Senin (12/10) mengundang dinas, KPAI dan perwakilan keluarga A serta keluarga M,” ungkap Junita.

Namun demikian, pihak sekolah menyayangkan pihak keluarga tidak hadir langsung dan hanya diwakili oleh kuasa hukum sebanyak dua orang.

“Sampai saat ini kami semua turut prihatin. Rasa aman dan nyaman proses belajar mengajar cukup terganggu. Kami sebagai guru hanya mendidik, hanya bisa melakukan musyawarah dan mediasi saja. tetapi kami tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga A sehingga masalah ini belum bisa dipecahkan,” tukasnya.

Salah seorang guru yang juga konseler di SD Tunas Mulia, Isti menambahkan, tindakan bullying yang dikatakan itu tidak terjadi. “Sekolah kami ada monitoring dan pengawasan yang kami rasa cukup baik. Kami menyambut siswa saat datang ke sekolah. Pada jam istirahat, guru kami juga menyebar bermain sama anak-anak. Setelah pulang juga sama demikian. Kalau ada kejadian itu pasti terlihat,” kata Isti.

Kuasa hukum SD Tuna Mulia, Bastian mengatakan, pihak sekolah sangat prihatin terhadap isu yang muncul, begitu juga orangtua. Sekolah juga melakukan pelaporan, karena di medsos orangtua mempublikasikan kejelekan sekolah dengan cara dan niatnya.

“Akhirnya kami kuasa hukum membuat laporan. Kami juga tidak langsung counter penyataan orangtua siswa A ka rena lebih menunggu saran dari KPAI dan Dinas, eh yang datang malah pengacara,” jelasnya.

Bastian mengungkapkan, postingan orangtua siswa A telah dikomentari sebanyak 5000 orang lebih. Dia menegaskan, laporan terhadap orantua siswa A bertujuan untuk memberikan efek agar tidak lagi memposting. Tetapi orangtua A terus membuat lagi statemen mengatakan dibully dan lain-lain. “Yang media sosial sudah dilaporkan pada 9 Oktober 2015,” jelasnya.

Sementara itu, orangtua A sudah berencana memindahkan anaknya. Wakil Kepala Sekolah SD Tunas Mulia Montessori, Junita mengatakan pada 7 Oktober 2015 keluarga A datang meminta surat pindah. Surat itu selanjutnya diproses dan baru keluar di tanggal 8 Oktober.

“Tapi orangtua A tidak kembali lagi dan sampai sekarang berkasya tidak diambil,” ujarnya

Kepala UPT Pendidikan Kecamatan Kelapa Dua, Usup mengatakan kaget ada dugaan kekerasan yang dilaporkan salahsatu murid terjadi diwilayahnya. Setelah dicek ternyata ada di sekolah dasar Tunas Mulia.

Diketahui, orangtua A, Yessi Caroline sempat menuliskan curhatannya melalui media sosial facebook yang ditunjukan kepada Presiden Joko Widodo. Dia mencari keadilan untuk anaknya yang baru berusia 6 tahun. Yessy sudah melaporkan kasus itu ke Komnas Anak.(uis/gatot/satelitnews)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.