UU ‘Air’ Dicabut, Sekda Kab. Tangerang Kelabakan
TIGARAKSA,SNOL—Keputusan Mahkamah Konstitusi mencabut UU Sumber Daya Air (SDA) tahun 2004 membuat pejabat teras Kabupaten Tangerang terkejut. Pemerintah Kabupaten Tangerang kelabakan menyikapi putusan MK menjadi dasar hukum untuk melarang pengelolaan air oleh swasta.
Sekretaris Daerah Kabupaten Tangerang, Iskandar Mirsad mengaku kabar pembatalan undang-undang sumber daya air jelas membuat Pemkab Tangerang kelabakan. Saat ini Pemkab Tangerang sedang menjalin kerjasama dengan PT Aetra Air Tangerang (AAT), melalui program kerjasama pemerintah dan swasta untuk pengadaan air minum (KPS air minum).
Menurutnya, dalam kontrak kerjasama yang ditandatangani pada 4 Agustus 2008, Aetra memperoleh masa konsesi selama 25 tahun, terhitung sejak 2009 hingga 2034. Kemudian AAT mendapat mandat untuk mendistribusikan air bersih di delapan kecamatan dengan kapasitas 900 liter per detik. Ke delapan kecamatan itu meliputi Sepatan, Pasar Kemis, Cikupa, Balaraja, Jayanti, Sepatan Timur, Sukamulya dan Sindang Jaya. Pola kerjasama yang dibangun antara Aetra dengan Pemkab Tangerang adalah pola bangun guna serah atau lazim disebut Built Operate Transfer (BOT).
“Saat ini investasi yang sudah ditanamkan oleh PT AAT mencapai Rp680 miliar atau setengah triliun lebih. Kalau dihapuskan, jelas payung hukum Peraturan Daerah (Perda) tentang kerjasama penyediaan air ini batal demi hukum. Artinya Pemkab Tangerang Tangerang harus membayar Rp680 miliar ke PT AAT. Jelas ini sangat berat buat kami. Untuk itu kami akan mencari salinan hukum terkait keputusan itu,”ujar Iskandar belum lama ini.
Iskandar Mirsyad mengaku tanpa bantuan swasta, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Tangerang yakni PDAM Tirta Kerta Raharja akan kesulitan melayani air bersih ke seluruh masyarakat. Saat ini, PDAM TKR baru melayani 23 persen dari total jumlah penduduk Kabupaten Tangerang yang nyaris mencapai tiga juta jiwa.
“Sementara Aetra sudah mampu melayani air bersih 10 persen. Masalah ini akan kami sampaikan ke Bupati Tangerang untuk pembahasan lebih lanjut. Sekaligus menunggu arahan dari Kementerian PU dan Perumahan Rakyat, menyikapi kerjasama Pemda dengan swasta yang sudah terjalin,” tegasnya.
Iskandar menambahkan, jikalau Pemkab Tangerang harus membayar investasi awal yang sudah dikeluarkan Aetra maka bisa jadi akan dilakukan penghematan. “Ya mau tidak mau, anggaran untuk pembangunan infrastruktur seperti sekolah dan lainnya dikurangi untuk membayar biaya investasi yang sudah dikeluarkan. Itupun sifatnya dicicil melihat kemampuan anggaran yang ada,” imbuhnya.
Terpisah, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tangerang, Dedi Sutardi mengaku kaget dengan adanya aturan tersebut. Menurutnya, di satu sisi putusan MK harus diikuti sedangkan di sisi lain implikasinya terhadap pelayanan publik dan alokasi anggaran juga besar.
“Bayangkan kalau Pemkab harus mencicil biaya investasi yang sudah dikeluarkan. Nah, sebaiknya masalah ini segera disikapi, Pemkab Tangerang harus jemput bola ke Kementerian PU terkait arahan pasca pembatalan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air,” tukasnya, seraya mengaku belum mendapatkan informasi detail terkait masalah ini.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Sumber Daya Air (SDA). Sebelum ada UU baru, maka UU 11/1974 tentang Pengairan diberlakukan kembali. Dalam putusannya, MK menyebutkan 6 pokok pikiran terkait pengusahaan air di Indonesia. Diantaranya, setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air; negara harus memenuhi hak rakyat atas air; harus mengingat kelestarian lingkungan hidup; Pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak; Prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD dan apabila semua pembatasan diatas sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.
Direktur Eksekutif Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) Subekti mengungkapkan keputusan MK justru akan membuat kerugian bagi pemerintah dalam jangka waktu panjang dan tidak merugikan swasta. Perusahaan air swasta yang sudah memiliki perjanjian dengan pemerintah tidak akan kehilangan haknya karena keputusan MK tidak berlaku surut.
“Kerugian tidak berada pada pihak perusahaan air swasta mengingat peraturan yang ditetapkan tersebut tidak berlaku surut. Sehingga mereka masih tetap bisa melakukan usahanya seperti biasa sesuai perjanjian yang telah dibuat dengan pemerintah daerah,” jelasnya. Keputusan tersebut mengakibatkan pemeritah kesulitan dalam merealisasikan target Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) terkait penyediaan air bersih bagi warganya. Tanpa adanya peran swasta akan terjadi penurunan realisasi penyediaan air bersih hampir 20 persen, baik untuk penyediaan via pipanisasi maupun non pipanisasi.
“Tanpa adanya peran swasta, tentunya target penyediaan air bersih bagi masyarakat akan sulit diwujudkan,”ujar Mantan Direktur Umum PDAM Tirta Kerta Raharja Kabupaten Tangerang itu. Menurut Subekti, terminologi perusahaan swasta yang disematkan untuk perusahaan air minum dirasakan kurang tepat. Mengingat dalam kepemilikannya usaha penyediaan air dibatasi oleh waktu. Berbeda dengan usaha lainnya yang dimiliki tanpa batas. Selain itu, dalam pengelolaannya masih ada keterlibatan pemerintah termasuk dalam penentuan harga. (aditya/hendra/gatot)