2 Pasien Tewas Usai Disuntik di RS Siloam Karawaci
BPOM Gelar Penyelidikan
KARAWACI,SNOL Insiden medis yang berujung tewasnya dua orang pasien (laki-laki dan perempuan) terjadi di RS Siloam Karawaci Tangerang.
Dua pasien itu tewas pada Kamis pekan lalu (12/2) setelah disuntik Buvanest Spinal 0,5 % Heavy sehari sebelumnya (11/2). Buvanest Spinal 0,5 persen Heavy merupakan obat bius yang digunakan dalam bedah urologi dan dalam persalinan bedah sesar.
Pihak RS Siloam Karawaci Tangerang membenarkan kejadian kematian dua pasien setelah disuntik Buvanest itu. Direktur Medis RS Siloam Karawaci, dr. Jeffry Oeswadi, mengatakan jika kejadian itu benar-benar di luar kemampuan pihaknya. “Kami sudah melakukan sesuai dengan prosedur yang ada terhadap pasien,” kata Jeffry.
Ditanya lebih lanjut, Jeffry enggan berbagi data mengenai nama pasien beserta alamatnya. Namun, saat ditemui Jawa Pos (Grup Satelit News), Jeffry yang juga ditemani oleh salah satu staff medis di RS tersebut menjelaskan jika kronologi terjadi pada Rabu lalu (11/2).
“Kami memberi obat Buvanest kepada dua pasien berbeda itu, yaitu pasien urologi dan pasien melahirkan,”terang staf medis RS. Siloam Karawaci dr. Man-gantar Marpau.
Kedua pasien itu mendapatkan perawatan oleh dokter mulai pukul 15.00 WIB sampai 18.00 WIB oleh dokter masing-masing. Setelah mendapat perawatan, muncul gejala-gejala aneh. Seperti gatal-gatal lantas kejang-kejang.
Saat itu petugas kesehatan di RS Siloam Karawaci sempat panik. Kemudian rumah sakit langsung melapor kejadian tersebut ke pihak Kalbe. “Begitu ada indikasi tidak benar pada pasien, hari itu juga kami langsung melapor ke pihak Kalbe. Namun sayangnya, keesokan harinya (12/2) pasien sudah meninggal,” terang Mangantar.
Menurut Mangantar, ada indikasi di dalam proses anestesi, obat buvanest yang diberikan berisi Kalnex. Dia juga menuturkan pihak RS Siloam Karawaci juga melakukan investigasi internal atas kejadian ini.
Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Djuwita Farid Moloek belum bisa memberikan komentar panjang terkait insiden ini. Dia menuturkan masih menunggu hasil penelitian lebih lanjut oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). “Agar tidak simpang siur beritanya,” katanya kemarin (16/2).
Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza BPOM T. Bahdar J. Hamid menjelaskan, Senin malam (kemarin malam) mereka akan rapat untuk mengkaji hasil analisis sekaligus penelitian sepanjang hari kemarin. Hasil dari rapat itu, bisa berupa penjatuhan sanksi berat kepada Kalbe selaku produsen Buvanest Spinal.
Sanksi yang bakal diterima Kalbe bisa berupa pencabutan izin cara pembuatan obat yang baik (CPOB). Dengan pencabutan izin itu, Kalbe otomatis tidak boleh memproduksi semua obat-obatan jenis suntik atau injeksi. “Jadi tidak hanya untuk obat merek Buvanest saja. Tetapi untuk semua jenis obat suntik,” tandasnya di kantor BPOM.
Bahdar mengatakan sanksi itu dijatuhkan jika hasil rapat BPOM memutuskan bahwa Kalbe melanggar standar operasional prosedur (SOP) pembuatan obat. “Jadi kita belum sampai memutuskan siapa yang salah. Apakah itu rumah sakit, produsen obat, distributor atau dokter,” jelas dia.
Jika ingin mengetahui secara pasti pihak mana yang salah, butuh waktu lama. Bisa bertahun-tahun. Padahal nyawa pasien yang harus menjalani anestesi dan berpotensi menggunakan obat Buvanest di seluruh Indonesia menjadi taruhan.
“Untuk itu obat sudah kita hold (tahan, red) untuk tidak dipakai sejak Sabtu (14/2) dan kita recall (ditarik, red) pada Minggu (15/2),” urainya.
Atas kejadian ini Bahdar menyalakan sirine alert system sehingga seluruh jaringan BPOM di provinsi ikut mengamankan obat tadi di rumah sakit. Hingga kemarin Bahdar mengatakan belum menerima laporan dari daerah, sudah berapa banyak obat Buvanest ini digunakan di rumah sakit.
Selain itu BPOM juga menyebar surat pemberhentian penggunaan obat itu kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perhimpunan Dokter Anestesi dan Intensivis Indonesia (Perdatin), dan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi).
Terkait dengan penyebab obat Bunavest menjadi mematikan, padahal selama ini aman-aman saja, Bahdar mengatakan resminya menunggu uji laboratorium di BPOM. Tetapi dia tidak menampik bahwa ada dugaan terjadi salah campur atau tukar saat produksi.
Bahan obat Bunavest diduga tercampur atau tertukar dengan asam Tranexamic bahan pembuat obat merek Kalnex. Padahal seharusnya obat Bunavest dibuat dengan kandungan Bupivacaine HCL. Efek dari asam Tranexamic tentu akan berbahaya jika dimasukkan dalam obat Bunavest yang biasanya dipakai untuk anestesi. Efeknya bahkan bisa sampai berujung kematian, seperti yang dialami dua pasien RS Siloam Karawaci itu.
Jika benar terjadi salah campur saat pembuatan obat Bunavest itu, Kalbe telah melakukan kesalahan SOP yang fatal. Kesalahan pencampuran ini menurut dia, bisa terjadi di lini produksi line clearing. Pada lini produksi ini, peralatan yang habis dipakai untuk memproduksi obat tertentu, harus benar-benar dibersihkan ketika akan dipakai untuk memproduksi obat lainnya.
Ketua Perdatin Andi Wahyuningsih mengatakan, obat Buvanest ini sudah dipakai cukup lama oleh kalangan dokter spesialis anestesi. Tetapi dia mengakui bahwa kasus terkait obat itu baru terjadi Rabu pekan lalu. Obat ini biasanya dipakai untuk anestesi spinal atau regional dengan disuntikkan di bagian bawah punggung pasien. Tujuannya menghilangkan rasa nyeri di bagian pingang hingga kaki pasien.
“Saya sudah mengeluarkan surat juga supaya para dokter spesialis anestesi tidak menggunakan obat ini dulu. Sampai ada keputusan resmi dari BPOM atau Kemenkes,” ujarnya. Saat ini ada sekitar 1.300 dokter spesialis anestesi anggota Perdatin di seluruh Indonesia. (wan/dah/gen/gatot/jpnn/satelitnews)