Segera Tanggalkan Dikotomi Ritel Modern dan Tradisional
JAKARTA,SNOL Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) Pudjianto menyatakan, perekonomian yang membaik dalam 10 tahun terakhir, membuat posisi Indonesia menjadi incaran para investor asing.
Pemain ritel asing dari Eropa, Jepang, Tiongkok, beberapa kali melakukan penjajakan ke Indonesia. Peritel Tiongkok dan Jepang yang memiliki suku bunga rendah, siap menanggung rugi 10 tahun demi berinvestasi jangka panjang di Indonesia. Dari kawasan regional, Vietnam, Thailand, Malaysia dan Singapura pun sangat berminat untuk membuka bisnisnya di sini.
“Pasar di negara kita memang terbentang luas, apalagi wilayah Indonesia Timur. Kawasan tersebut sangat potensial dan daya beli masyarakat setempat tidak kalah dibandingkan masyarakat kota besar di Pulau Jawa, Bali dan Sumatera. Serta semakin terbuka lebar ketika pembenahan distribusi melalui program tol laut Pemerintah berhasil dijalankan,” kata Pudjianto di Jakarta hari ini (23/12/2014).
Menurut Pudjianto, secara nasional penetrasi ritel modern di Tanah Air paling rendah dibandingkan negara tetangga. Berdasarkan Fitch Ratings, tingkat penetrasi 14% Indonesia jauh tertinggal dibandingkan Filipina 25% atau Malaysia 53%. Data Nielsen menunjukkan ritel FMCG, termasuk rokok, masih mendominasi sebaran ritel modern di Indonesia yakni mencapai 25%.
“Aprindo mencatat hingga semester I tahun 2014 tercatat sekitar 24.000 gerai ritel modern yang tersebar di seluruh Tanah Air. Angka ini diprediksi akan terus tumbuh dengan perkiraan sebesar 10% di tahun depan,” ujarnya.
Sektor ritel modern memang tumbuh lebih cepat dibandingkan pedagang tradisional selama lima tahun terakhir. Tapi menurut Fitch Ratings kontribusi terhadap seluruh industri ritel hampir tidak beranjak, berada di kisaran 20%. Hal ini menyiratkan pasar ritel modern masih luas untuk berekspansi.
Nah, pasar Indonesia yang bakal menjadi sasaran empuk peritel dari luar itu, kalau tidak dilindungi, jaringan distribusinya akan dikuasai asing. Karena itu pemerintah selayaknya memberikan kebijakan yang pro pemain lokal dan selektif terhadap pemain asing yang akan masuk.
“Dikotomi modern dan tradisional sepantasnya segera ditanggalkan, untuk seiring sejalan menghadapi tantangan. Persaingan bukan diantara kita. Akankah kita bisa merebut kesempatan yang terbentang luas. Harapan kita ritel Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” kata Pudjianto.
Keberpihakan pemerintah mutlak dibutuhkan. Kebijakan di sektor ritel yang melempangkan jalan pertumbuhan (ekspansi) ritel modern lokal di Tanah Air merupakan faktor yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah baru. Karena bisnis ritel ini lebih mengutamakan pertumbuhan dengan berekspansi.
Presiden Joko Widodo, dalam kampanyenya acap kali menjajikan dukungannya terhadap pedagang tradisional (pasar rakyat). Dan memang telah terbukti baik ketika masih menjabat Walikota Solo maupun Gubernur DKI Jakarta.
Walau kebijakan Jokowi lebih memihak pedagang tradisional dibandingkan peritel modern, namun, tak sedikit harapan yang dilontarkan Presiden Jokowi, seperti pembenahan di birokasi dan perizinan, pembangunan logistik dan infrastruktur distribusi, serta komitmennya pada penataan regulasi.
Pemerataan pembangunan melalui pengembangan daerah pedesaan, dan mengurangi kesenjangan sosial. Maka tak salah bila peritel Indonesia berekspetasi, sektor ritel modern akan tetap berkembang dan didukung oleh kesempatan ekspansi di dalam negeri.
Peritel Indonesia mesti bersiap diri menghadapi serbuan pemain ritel asing dengan berbagai gemerlap yang bisa menarik minat konsumen. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk menjaga loyalitas konsumen, dan juga mengembangkan pasar yang luas.
“Peritel asing pun tidak sepenuhnya bisa head to head dengan pemain lokal, tanpa melibatkan peran pelaku ritel lokal yang sudah memahami dan menguasai pasar dalam negeri. Penetrasi ritel asing ini juga peluang untuk mengakomodasi keinginan mereka berinvestasi dan memulai bisnis di Indonesia, dengan menjalin kerja sama atau pola kemitraan,” pungkas Pudjianto.(*/san)