Terlalu Rumit, MK Sarankan Akil Mochtar Pertajam Gugatan

JAKARTA,SNOL MK menyarankan Akil Mochtar lebih mempertajam alasan kerugian konstitusional yang ia peroleh atas pemberlakukan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Saran demikian disampaikan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adam dalam sidang uji materi UU TPPU, yang diajukan Akil, dengan mengagendakan pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang MK, Jakarta, Jumat (29/8).

“Ada beberapa hal yang ingin kami berikan masukan. Ini cukup tebal sampai 44 halaman permohonan. Fokuskan saja pada kerugian konstitusional, sehingga tidak terlalu rumit kita pelajari tali temali hal-hal yang disampaikan, sehingga menyita 20 halaman sendiri,” tegas Wahiduddin.

Wahiduddin juga menyarankan agar posita (dasar mengajukan gugatan) dalam permohonan itu perlu dipertajam pertentangan normanya.

“Di sini mungkin lebih banyak bawa uraian-uraian, jelaskan penerapan norma yang menurut pemohon merugikan diri pemohon, pertajam normanya karena yang akan kita uji itu normanya,” tegas Wahiduddin

Hakim MK juga menyarankan kepada Akil untuk menjelaskan frasa yang dimaksud pemohon, yang menyebut Pasal 76 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU bertentangan UUD 1945 secara bersyarat.

“Tapi tidak disebutkan sepanjang frasa mana, sehingga harus dinyatakan bagaimana dimintakan kepada MK, ini perlu diperjelas. Sebutkan apa yang dimaksud secara bersyarat upaya lebih tegas kita memahaminya Pasal 65 disebutkan. Hal-hal itu saya kira secara penting yang ingin saya sampaikan untuk perbaikan di dalam permohonan ini,” ujar Wahiduddin.

Sebagaimana diketahui, Akil mengaku mengalami kerugian konstitusional atas berlakunya UU TPPU. Seperti pada frasa ‘atau patut diduga’ dalam Pasal 2 Ayat (2) sesuatu yang sangat sulit ditemukan indikatornya secara pasti serta tidak mencerminkan keadilan secara proporsional dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Kemudian frasa ‘patut diduganya’ dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal Ayat (1) menyebabkan anggapan bahwa dengan terpenuhinya unsur ‘patut diduganya’ maka tidak diperlukan lagi proses pembuktian. Selain itu, frasa tersebut merupakan konsep yang tidak berakar dan bersumber dari Pancasila dan UUD 1945.

Menurut Akil, TPPU merupakan tindak pidana yang muncul dikarenakan tindak pidana asal. Namun dengan adanya ketentuan pasal tersebut, dia menilai KPK menjadi tidak memiliki kewajiban untuk membuktikan tindak pidana asal tersebut (predicate crime).

Selain itu, Akil berpendapat Pasal 76 Ayat (1) menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memberikan kejelasan tentang siapa yang dimaksud dengan ‘penuntut umum’, dalam hal ini KPK tak memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan perkara TPPU.

Akil juga menilai perbuatan KPK yang telah melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap dirinya dalam perkara TPPU berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 merupakan tindakan yang bertentangan dengan UUD 1945.(san/zul/rmol)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.