Nasib Janda 9 Anak di Gubuk Reyot

PANDEGLANG,SNOL Neneng Mu’inah (38) dan sembilan anaknya yaitu Riska (19), Yuni (17), Anis (15), Sugiri (13), Yudi (10), Haerudin (8), Sri Rahayu (7), Faisal (4), Irma (2), warga Kampung Babakan Ranca Piit Desa Kadumaneuh Kecamatan Banjar, terpaksa harus tinggal dan berteduh di sebuah rumah gubuk reyot, dengan atap bolong dan berlantaikan tanah.
Janda sembilan anak ini ditinggal mati suaminya Ahmad Rifa’i (45), beberapa tahun lalu. Sejak itu, ia ter­paksa banting tulang untuk membesarkan dan menghidupi anak-anaknya itu dengan men­jadi buruh serabutan kuli cuci di rumah orang lain.
Selain kerepotan mengu­rusi anak-anaknya, dia juga mendapatkan musibah yaitu atap rumah tepatnya di bagian ruangan tengah yang biasa digu­nakan kumpul keluarga, ambruk hingga tampak bolongan besar di atas. Dipastikan jika hujan turun, airnya mengguyur dan masuk ke dalam rumah melalui bolongan itu.
Ditambah lagi rumahnya berlantai tanah, sehingga licin dan membahayakan jika diin­jak. Perabot rumah tangga yang sangat sederhana dan peralatan dapur lainnya juga dipasti­kan basah terguyur air hujan. Akhirnya, keluarganya harus berkumpul semuanya di dalam sebuah kamar berukuran 3 x 4 meter untuk menghindari guyuran hujan.
Rumah bilik berukuran 6 x 5 itu juga terlihat sudah sangat rapuh. Bagian belakang dan depannya sebagian sudah di­sanggah (ditopang, Red) bambu dan kayu karena khawatir roboh. Tidak seperti masyarakat lainnya, setiap harinya mereka hanya makan satu kali nasi dan lauk-pauk seadanya.
Dinding rumah yang terbuat dari bilikpun sudah rapuh dan mengelupas. Sebagian jendela tanpa kaca dan lembab. Kayu serta sejumlah bagian rumah tampak berlumut namun tidak ada pilihan lain untuk pin­dah dari rumahnya tersebut. Ditambah lagi tak ada peng­hasilan lain selepas suaminya meninggal dunia.
“Saya hanya ingin anak-anak saya bisa tetap sekolah, tapi biayanya gak ada. Buat makan sehari-hari saja susah, paling dapat uang sehari Rp 5000 – Rp 7000 sebagai buruh cuci baju, anak saya sembilan,” kata Mu’inah, kepada wartawan, Senin (16/12).
Rumah yang ditempatinya selama berumah tangga hampir 20 tahun itu, kata ibu beram­but panjang ini, menjadi satu-satunya tempat mereka berteduh dan berlindung dari panasnya matahari dan hujan. Mirisnya lagi, rumah keluarga Mu’inah jauh dari tetangga.
Raut wajah pasrah terpancar dari ibu yang akrab disapa teh Inah. Sambil menggendong anaknya yang bungsu (paling ke­cil), ia memperlihatkan seluruh bagian rumahnya. Genting yang terpasang di atap rumahnya-pun tak lengkap. Pintu belakang juga sudah nyaris ambruk karena kusen pintunya sudah rapuh dimakan rayap.
Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Din­sosnakertrans) Anwar Fauzan mengatakan, pihaknya belum mengetahui betul kondisi rumah Mu’inah. Dengan demikian pihaknya belum bisa memastikan apakah layak atau tidak jika keluarga dengan sembilan anak itu untuk mendapatkan bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH).
“Kami akan terjunkan tim moni­tor dan survey ke lapangan, dan kami akan koordinasi dengan pi­hak Desa dan Kecamatan. Kalau­pun dianggap layak mendapatkan bantuan RTLH, maka harus menempuh prosedur yang berlaku,” ungkapnya. (mardiana/jarkasih)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.