Giliran Bos Dinkes Banten Diperiksa
Kasus Dugaan Korupsi Alkes
JAKARTA, SN— Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengembangkan kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (Alkes) di Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Tangerang Selatan (Tangsel) dan Banten. Hingga saat ini, sudah 9 pejabat yang diperiksa lembaga antirusah terkait dugaan korupsi tahun anggaran 2010-2012 itu.
Kemarin (8/11), lembaga yang dipimpin Abraham Samad ini meminta keterangan empat pejabat di Dinas Kesehatan Banten. Yakni, Kepala Dinas Kesehatan Banten Djadja Budi Suhardja, Kasubag Program Evaluasi dan Perencanaan pada Dinkes Banten, Ferga Andriana, serta pegawai Dinas Kesehatan Banten yakni Indra, dan Ridwan Arif. “Benar, mereka dimintai keterangan seputar penyelidikan kasus Alkes,” ujar Juru Bicara KPK, Johan Budi saat dikonfirmasi kemarin.
KPK kini telah membuka penyelidikan baru terkait dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (Alkes) di Tangerang Selatan dan Dinas Kesehatan Provinsi Banten tahun anggaran 2010-2012.
Sebelumnya, KPK juga telah meminta keterangan Kepala Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, Dadang M.Epid, dan empat pegawainya yakni Wawan Dermawan, Mamak, Ridwan, dan Tulis Mulyadi.
Selain itu, KPK juga sudah memeriksa dua pihak swasta terkait penyelidikan proyek pengadaan alat kesehatan (alkes) di Banten tahun anggaran 2010-2012, pada Kamis (7/11). Kedua orang yang dimintai keterangan tim penyelidik KPK tersebut adalah Lukman dan Dodo Mulyadi. “Lukman dan Dodo Mulyadi, dari pihak swasta dari Serang, Banten,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta.
Sementara itu, saat dihubungi Satelit News, ponsel Kepala Dinkes Banten Djadja Budi Suhardja tidak dalam kondisi aktif. Begitu saat di sms, hingga berita ini diturunkan, yang bersangkutan tidak juga menjawab.
Kasus Lebak
Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Djohermansyah Djohan membantah menerima uang Rp 2 miliar terkait penanganan sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang ditangani Mahkamah Konstitusi.
Hal itu dikemukakan Djohermansyah usai menjalani pemeriksaaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait penyidikan kasus suap Pilkada Lebak, Banten, Jumat (8/11). “Saya bantah (penerimaan uang),” kata Djohermansyah sebelum meninggalkan kantor KPK, Jakarta.
Djohermansyah lantas sesumbar berani sumpah pocong atas bantahan penerimaan uang tersebut yang berdasarkan informasi dihimpun hal itu berdasarkan laporan hasil pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK). “Sumpah pocong boleh,” katanya.
Dalam jadwal yang dirilis Humas KPK, Djohermansyah diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Susi Tur Andayani dan adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan yang telah ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan suap sengketa Pilkada Lebak.
Informasi terima, nama Djohermansyah muncul setelah KPK melakukan penggeledahan di beberapa tempat, termasuk ruang kerja Akil di MK. Dari penggeledahan itu ditemukan data dan dokumen yang diduga tertuang nama Djohermansyah Djohan.
Akil diduga mengirimkan surat Kemendagri untuk menunda pelantikan salah satu kepala daerah di Provinsi Sumatera Selatan. Padahal sang calon kepala daerah itu memenangkan sidang sengketa pilkadanya di MK.
Setelah surat MK yang ditandangani Akil dikirim ke Kemendagri, orang suruhan Akil melobi oknum pejabat Kemendagri. Diduga ada uang Rp 5 miliar akan dialirkan ke oknum tersebut untuk memuluskan aksi Akil.
Orang suruhan Akil itu diduga turut melobi Djohermansyah dan menjanjikan akan memberikan Rp 2 miliar agar pelantikan kepala daerah ditunda oleh Kemendagri.
Ditanyai lebih jauh, Djohermansyah yang merupakan Doktor Universitas Padjajaran itu memang tak memungkiri kemungkinan Direktorat Jenderal (Ditjen) Otonomi Daerah (Otda) yang dipimpinnya berkaitan dengan sengketa Pilkada.
Namun dia mengklaim tidak mengetahui soal sengketa Pilkada Lebak, Banten. Sebab, menurut Djohermansyah, dirinya tidak mengenal pengacara bernama Susi Tur Andayani dan adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardhana dan mantan Ketua MK, Akil Mochtar yang sudah ditetapkan tersangka dalam kasus itu.
“Ditjen Otda mungkin ada kaitannya, apakah tahu dalam Pilkada lebak, yang jelas saya kenal aja enggak, tahu juga enggak dan tidak pernah ketemu,” kata Djohermansyah.
Djohermansyah kembali menegaskan tidak mengetahui perihal sengketa Pilkada Lebak. Mengingat tambah dia, Direktorat Jenderal Otda belum menerima dokumen menyoal Pilkada di daerah itu.
“Dokumen saja belum sampai ke kami yang Pilkada lebak, kan masih bermasalah gugatan di MK, jadi belum sampai ke Kemendagri,” ujarnya. (ali/ism/jpnn)