Reza Indragiri Amriel: Polisi Juga Punya Syahwat

BEREDAR foto-foto bugil yang diduga milik dua oknum polisi, Brigadir Polisi RS dan AKP MS dalam waktu yang hampir bersamaan menyita perhatian masyarakat. Kasus itu sekaligus menjadi tamparan bagi korps bhayangkara lantaran dinilai tak patut.

Misalnya kasus Brigpol RS. Foto tanpa busana sekretaris pribadi (Sespri) Kapolda Lampung Brigjenpol Heru Winarko, itu diunduh mantan pacar, Bayu, ke media facebook 27 Oktober 2013 lalu.
F-_reza_indragiri-NAUFAL W JPNNMenurut pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, Brigadir RS tak bisa dipidana. Berikut petikan wawancara wartawan JPNN.com, M Fathra Nazrul Islam dengan master psikologi forensik pertama Indonesia lulusan Universtas Melbourne Australia itu, Kamis (31/10) malam.
Untuk kasus AKP MS bagaimana analisanya Bang Reza, terlihat lokasi pengambilan foto seperti di kantor, dan oknum masih pakai seragam?
Sama saja. Kalau dia tidak menyebarkan, dia tidak bisa dikenai sanksi hukum. Penyebarnya yang bisa dihukum.
Apakah oknum polisi itu patut dikenai sanksi etis dari organisasi dan sanksi sosial dari publik?
Belum tentu patut. Bayangkan jika dia sebelumnya sedang ikut terapi seks. Lalu dokter meminta dia untuk memotret alat kelaminnya saat sedang ereksi, sebagai bukti bahwa proses terapi sudah berjalan baik.
Dalam situasi semacam itu, si polisi jelas tak pantas dikenai sanksi apa pun. Cari tahu motifnya dulu.
Kalau ternyata motifnya bukan itu, misalnya sekedar keisengan pribadi, gaya-gayaan. Apa masih wajar menerima sanksi, fotonya di kantor lagi?
Wajar. Hingga beberapa segi, setiap orang memiliki kebanggaan atau kesenangan terhadap tubuhnya sendiri. Menjadi tidak wajar karena terungkap ke publik.
Secara moral, apa wajar misalnya seorang oknum Kapolsek berperilaku seperti itu, memotret alat kelaminnya sendiri?
Kapolsek juga manusia. Punya syahwat seperti kita. Tak usah dikait-kaitkan ke jabatan atau seragamnya, maka kita sesungguhnya sedang menyoroti perilaku yang sangat manusiawi.
Bila melihat kasus Brigpol RS, AKP MS, lalu kasus perkosaan oleh oknum polisi terhadap pelajar di Gorontalo, kasus perkoraan pada tahanan di Papua, dan lainnya yang dilakukan oknum polisi, ada gejala apa ini bang?
Harus dibedakan dengan brutalitas, termasuk brutalitas dengan menjadikan seks sebagai alat pemaksa. Perilaku brutal dan korup adalah dua sub-kultur yang mewarnai hampir semua organisasi kepolisian. Itu jelas masalah. Bahkan pidana. Tidak cukup sanksi organisasi dan sanksi sosial.
Ada teori yang bilang bahwa perkosaan sebenarnya bukan unjuk vitalitas seks, melainkan unjuk kekuasaan. Kenikmatan seks menjadi sesuatu yang sekunder. Kepuasan lebih bersumber dari keberhasilan menguasai/menaklukkan korban.
Selain faktor terapi seks tadi, atau iseng, kira-kira faktor apa lagi yang bisa membuat seorang aparat berperilaku ‘kurang patut’ hingga tak patut sepert perkosaan misalnya?
Jadi, walau sama-sama mengandung unsur seks, tapi pengkutubannya ekstrim satu sama lain. Di sudut kiri (foto bugil) adalah kesenangan untuk diri sendiri, betapapun kurang patut. Di sudut kanan (kasus asusila) adalah pidana.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.