Menanti Hasil Rintisan Damai Israel-Palestina

Israel yang Tetap Berstandar Ganda
SEBUAH babak baru perundingan damai Palestina-Israel baru saja dimulai. Bab pertama dari negosiasi tersebut begitu meyakinkan. Israel memutuskan untuk membebaskan 26 tahanan Palestina pada 13 Agustus atau sehari menjelang negosiasi damai di Kota Jerusalem.
Banyak pengamat yang berharap negosiasi damai kali ini bisa menjadi pintu gerbang terwujudnya solusi dua negara atau two-state solution. Profesor Lenore G. Martin, seorang ahli Israel-Palestina dan penulis pembantu buku Israel dan Palestina: Dua Negara untuk Rakyat Dua Negara Jika Tidak Sekarang, Kapan Lagi?, menyatakan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu justru melemahkan optimisme tersebut.
Masalah utama adalah sikap standar ganda pemerintah Israel dalam negosiasi itu. Di satu sisi, Tel Aviv menyambut baik kembalinya Palestina ke meja perundingan. Namun, di sisi lain, pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur terus dilanjutkan. Padahal, masalah pembangunan permukiman itulah yang menciptakan kebuntuan negosiasi dalam tiga tahun terakhir.
Setelah kembali menjabat presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama dengan cepat memulai upaya proses damai Israel-Palestina pada Mei 2009. Namun, dialog tersebut macet pada September 2010 ketika negosiator AS gagal meyakinkan pemerintah koalisi Netanyahu untuk menghentikan pembangunan permukiman Yahudi di wilayah pendudukan. Padahal, penghentian pembangunan permukiman itulah yang diajukan Palestina sebagai prasyarat untuk kembali berunding.
Saat Obama kembali mendorong kedua pihak untuk bernegosiasi, aktivitas pembangunan permukiman Yahudi, sekali lagi, menjadi aral. Kabinet Israel menyetujui pembangunan 1.187 permukiman baru di Yerusalem Timur dan Tepi Barat selang tiga hari sebelum kedua pihak bertemu di Yerusalem dalam meja perundingan.
Keputusan kabinet Israel tersebut ditindaklanjuti saat malam menjelang pertemuan Yerusalem (14/8). Pada 13 Agustus, otoritas Israel mengumumkan bahwa pembangunan 942 permukiman baru di Yerusalem Timur telah dimulai. Sebelumnya, Minggu (11/8) Kementerian Perumahan Israel mengumumkan proses tender pembangunan 793 permukiman baru di Yerusalem Timur dan 394 lainnya di Tepi Barat.
Efrat Orbach, juru bicara Kementerian Dalam Negeri Israel, membenarkan bahwa pembangunan itu akan memperluas permukiman di Distrik Gilo. Konsekuensinya, perbatasan wilayah dengan perkampungan Palestina bakal semakin maju.
Kepada Kantor Berita Anadolu, Martin, yang meyakini solusi dua negara sebagai jalan terbaik, menunjuk permukiman Yahudi tersebut sebagai hal penghambat terwujudnya two-state solution. “Netanyahu menyatakan kepada AS bahwa dirinya ingin bernegosiasi. Tapi, pada waktu yang sama, dia tidak menghiraukan seruan Deplu AS untuk menghentikan pembangunan permukiman,” ujarnya.
Pendapat lain diutarakan Noam Chomsky, profesor linguistik dan filsafat di Massachusetts Institute of Technology. Menurut dia, selain solusi dua negara, ada peluang munculnya kesepakatan lain yang lebih realistis. Israel akan memaksakan kebijakan terbarunya dengan dukungan penuh ekonomi, militer, dan diplomatik dari AS diikuti sedikit penolakan ringan pada sejumlah elemen.
Kebijakan itu sangat jelas. Akarnya berasal dari perang 1967 dan kemudian ditindaklanjuti dalam Perjanjian Oslo (Oslo Accords) pada September 1993. Oslo Accords tersebut menentukan bahwa Gaza dan Tepi Barat adalah wilayah yang tidak terpisahkan. Namun, Israel dan AS satu suara untuk memisahkan dua wilayah itu. Artinya, otonomi Palestina yang bakal menguasai Tepi Barat tidak akan memiliki akses langsung ke dunia luar.
Langkah kedua adalah pembentukan Yerusalem Raya, yang menyatu dengan wilayah Israel, sebagai ibu kotanya. Itu merupakan pelanggaran langsung terhadap keputusan Dewan Keamanan dan pukulan telak bagi harapan terciptanya entitas Palestina.
Sebuah koridor di timur dari Yerusalem Raya kemudian menjadi satu bagian dari Kota Ma’leh Adumim yang pertama kali didirikan pada 1970, tapi secara besar-besaran baru dibangun pasca-Oslo Accords. Wilayahnya hampir membelah Tepi Barat menjadi dua bagian.
Pengadilan Internasional, International Court of Justice, telah menyatakan bahwa peta “negara Israel” tersebut ilegal. Selain itu, Dewan Keamanan PBB tidak menyebut semua permukiman Yahudi di wilayah pendudukan juga ilegal. Amerika Serikat bersama dunia internasional menerima keputusan itu pada tahun-tahun awal pendudukan. Namun, di bawah pemerintahan Ronald Reagan, posisinya berubah hingga mengganggu proses perdamaian. Chomsky menambahkan, Barack Obama sama sekali tidak membantu. Obama justru memperburuk proses perdamaian tersebut.
Tetapi, banyak pihak yang skeptis negosiasi damai itu akan mencapai konklusi dalam waktu dekat. Sebab, saat ini Israel tengah wait and see dalam konteks revolusi Arab. Dalam sejarahnya, Israel tidak akan mudah bersikap jika sedang merasa tidak aman. (jpnn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.