Florentina, Dokter Indonesia Pertama Peraih Sertifikat Terapi Bunga
Metode pengobatan phytobiophysic atau terapi bunga masih asing di telinga masyarakat. Di Indonesia, dr Florentina Riana Wahjuni merupakan orang pertama yang menerima sertifikat langsung dari sang empu phytobiophysic Diana Mossop.
UMA NADHIF KHOLIFATIN, Jakarta
Saat ditemui di ruang kerjanya, RS Meilia Cibubur, Depok, Jawa Barat, Jumat (22/3) dua pekan lalu, dr Florentina R. Wahyuni tampak sedang bersantai. Siang itu perempuan 45 tahun tersebut mengenakan kaus hitam motif garis-garis yang dipadu celana jins. Tak terlihat atribut dokter yang menempel di tubuhnya. Bahkan, tak satu pun peralatan kedokteran dan obat-obatan ada di ruang berukuran 3 x 2,5 meter itu. Perabot yang mengisi ruangan juga cukup simpel. Hanya seperangkat meja kursi, rak kecil di sudut ruang, serta sebuah troli untuk pasien.
Spesialisasi dr Floren, begitu dia biasa disapa, memang berbeda dengan dokter yang lain. Dia menganalisis dan mengobati pasien dengan injeksi, infus, tes darah, dan magnetic resonance angiography (MRA) atau teknologi konvensional kedokteran biasanya. Untuk itu, dia memanfaatkan banyak bunga sebagai bahan terapi. Tapi, bukan bunga tujuh rupa seperti yang biasa dipakai paranormal atau dukun.
“Tak ada unsur mistik dalam terapi ini. Saya juga tidak menggunakan sari akar, batang, daun, atau kelopak bunga. Yang saya pakai adalah gelombang elektromagnetik bunga yang dihasilkan dari proses fotosintesis,” terang alumnus Ilmu Kedokteran Universitas Atmajaya Jakarta itu. Itulah yang disebut terapi bunga atau dalam kedokteran dinamai metode phytobiophysic.
Phytobiophysic dikembangkan oleh dr Dianna Mossop asal Amerika. Dia melakukan riset bertahun-tahun sebelum mematenkan temuannya itu.
Di Asia metode ini dinamakan harmonizer formula (HF), sedangkan di Eropa bernama flower formula. Di Indonesia sendiri Floren mengenalkannya dengan nama quantum flower healing.
Terapi ini didasarkan pada teori bahwa tubuh manusia memiliki gelombang elektromagnetik. Setiap organ mempunyai tingkat elektromagnetik dengan warna-warna yang berbeda, seperti halnya warna yang terkandung dalam bunga. Bunga memiliki warna gelombang yang berbeda-beda. Bunga bertugas menyikronkan gelombang elektromagnetik agar terjadi keseimbangan.
Misalnya, bunga camelia warna merah muda yang menghasilkan energi 380 nanometer. Gelombang elektromagnetik bunga itu terbukti bisa menyembuhkan migrain, sakit tengkuk, dan depresi. Bunga lili hijau yang memiliki kekuatan 520 nanometer diidentifikasi bisa menyembuhkan sakit jantung, hipertensi, dan menormalkan denyut jantung. Fungsi bunga ini menyeimbangkan gelombang elektromagnetik pada organ yang lemah atau sebaliknya, yang terlalu kuat.
“Lebih gampangnya, tubuh manusia itu seperti ponsel. Baterainya bisa lemah, bisa lemot, bisa ngehang. Untuk me-recharge kembali diperlukan gelombang elektromagnetik. Tapi, jenis charger-nya berbeda-beda sesuai dengan jenis ponselnya,” terangnya.
Floren merupakan dokter pertama Indonesia yang memperoleh sertifikat ilmu tersebut. Dia menggeluti ilmu terapi bunga sejak 2004 di Malaysia. Floren mengenal metode terapi unik ini secara tidak sengaja. Awalnya dia menangani ayahnya yang sakit kanker. Mendengar keluhan sang ayah, tak ada yang bisa dia perbuat kecuali menginjeksikan penahan rasa sakit. Namun, takdir berkata lain. Sang ayah kemudian meninggal dunia. “Dengan injeksi itu sebenarnya saya ingin mengobati ayah tanpa rasa sakit. Tapi, keburu…,” terangnya.
Dari situ Floren lalu mulai mempelajari ilmu pengobatan herbal. Hingga suatu hari dia menemukan satu jurnal mengenai phytobiophysic. Dia pun tertarik untuk mempelajarinya di Malaysia. Pasalnya, di negeri jiran itu metode terapi bunga sudah cukup maju.
Tapi, di tengah perjalanan, ibu tiga anak tersebut sempat ragu dengan ilmu yang dipelajari. Sebab, ternyata, metode pengobatannya tidak melalui diagnosis konvensional seperti yang dia pelajari. Namun, metodenya dengan penyaluran energi yang ada di bunga.
Untuk menghapus kegalauan hatinya itu dia berkonsultasi pada pendetanya di gereja dan kepada empat pemuka agama lain. Bahkan, dia juga pernah mencari pembenaran kepada tokoh kepercayaan Shinto yang dia temui di Malaysia. Hasilnya, para pemuka agama tersebut mendukung semua ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia.
Floren pun akhirnya mampu menyelesaikan pendidikan ilmu terapi bunga tersebut. Hanya, dia kembali bingung ketika akan menyosialisasikan ke masyarakat luas di Indonesia. Maka, Floren kemudian membuat uji coba terapi dengan mempraktikkan kepada saudara, teman, dan para tetangga.
Setelah itu, dari mulut ke mulut informasi terapi bunga Floren menyebar ke mana-mana. Dia lantas membuka praktik di rumah. Kapan saja tetangga membutuhkan pengobatan, dia membuka pintu. Bahkan, tengah malam sekalipun. “Pasien saya terus bertambah banyak. Tapi, dari situ muncul gunjingan bahwa saya seorang dukun. Ada yang mengira saya mentransferkan energi ke dalam tubuh pasien. Padahal, tidak sama sekali,” jelasnya.
Menurut Floren, sebagian orang Indonesia sangat skeptik saat mendengar kata energi. Mereka selalu mengira itu sebagai kekuatan magis. Padahal, itu tidak benar. Sebab, semua orang bisa mempelajari metode phytobiophysic. Meski begitu, gunjingan tersebut sempat membuat Floren down dan tidak ingin melanjutkan pengembangan ilmunya. Tapi, dia tersadar bahwa sejak awal dirinya bertekad membantu orang dengan metode tanpa rasa sakit. Dia lalu bangkit kembali. (*/c2/ari)