Din Syamsuddin: Hentikan Pembahasan RUU Ormas!

JAKARTA,SNOL rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan mengandung kerancuan nalar sehingga pembahasan aturan itu harus segera dihentikan.

Demikian disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Din Syamsuddin di sela konferensi pers di Gedung PP Muhammadiyah, Cikini, Jakarta, Kamis (28/3).

“Kami menilai RUU Ormas mengandung kerancuan nalar. Muhammadiyah mendesak DPR menghentikan seluruh proses pembuatan Undang-Undang Ormas karena berpotensi menimbulkan kegaduhan dan instabilitas politik,” kata Din, seperti dilansir Antara.

Din menjelaskan bahwa sejumlah pasal yang mengandung kerancuan nalar dan multitafsir, antara lain, Pasal 1 mengenai batasan ormas, hanya mengatur ormas yang didirikan sukarela oleh warga negara Indonesia dan ormas asing bersifat nirlaba yang didirikan warga asing dan melakukan kegiatan di Indonesia.

Dalam pasal itu Muhammadiyah menilai tampak ada kesan pembuat RUU menempatkan keberadaan ormas yang banyak di Indonesia dan merupakan bagian dari dinamika bertumbuhnya masyarakat sipil sebagai ancaman.

Din mengatakan bahwa Muhammadiyah juga menilai ketentuan asas pada Pasal 2 dalam draf RUU Ormas yang substansi dan semangatnya mengarah pada pengaturan ormas harus memiliki asas bersifat tunggal, yakni Pancasila, dan kalaupun dibolehkan adanya ciri tertentu asalkan tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Hal itu menurut Muhammadiyah berpotensi mengungkap persoalan lama dengan mempertentangkan Pancasila dan agama yang cenderung dianut oleh ormas keagamaan, seperti Muhammadiyah.

Selain itu, lanjut Din, wilayah ormas dalam Pasal 8 dan Pasal 23, 24, 25, 26, dan Pasal 27, diatur hanya meliputi nasional, provinsi dan kabupaten/kota, sehingga menyulitkan Muhammadiyah dan NU yang selama ini sudah melebarkan sayap ke luar negeri.

RUU Ormas juga mengatur sumbangan ormas dalam Pasal 61 Ayat (3), yakni melarang menerima sumbangan uang, barang, jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas jelas. Hal ini dinilai Din akan menyulitkan Muhammadiyah yang selama ini menerima sumbangan atau wakaf dari pihak yang enggan disebutkan namanya.

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa larangan menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham bertentangan dengan Pancasila yang tertuang dalam Pasal 61 Ayat (4), bisa bersifat multitafsir, sekalipun mungkin yang dimaksud adalah paham komunisme, maxisme, leninisme, kapitalisme, dan liberalisme. Akan tetapi, pada kenyataannya oleh penegak hukum bisa ditafsirkan lebih luas.

Din melanjutkan, dari struktur kelembagaan lembaga pemerintah paling bertanggung jawab, yakni menteri, gubernur, bupati/wali kota dalam pendaftaran, pengawasan, dan tindakan bersifat administratif juga bermasalah.

Undang-undang tersebut dinilai diagendakan dalam rangka menciptakan keamanan, ketertiban, dan stabilitas masyarakat dalam pola yang bersifat tunggal tanpa memikirkan dampaknya yang lebih luas berupa tidak berkembangnya masyarakat sipil sebagai kekuatan kelas menengah yang amat dibutuhkan sebagai pilar penyangga bangsa yang besar.

Oleh karena itu, menurut Din, Muhammadiyah mengeluarkan tiga pernyataan sikap terkait RUU Ormas.

Pertama, draf RUU Ormas yang dibahas DPR, potensial membatasi kebebasan berserikat, memperlemah kreativitas, dan perilaku represif dari aparatur pemerintah yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Kedua, Muhammadiyah mendesak DPR menghentikan seluruh proses pembuatan UU Ormas karena pembahasannya juga berpotensi menimbulkan kegaduhan dan instabilitas politik, terutama menjelang Pemilu 2014 yang memerlukan suasana kondusif, stabil, dan dinamis.

Ketiga, dalam rangka menjaga ketertiban dan kerukunan masyarakat, pemerintah hendaknya berusaha melaksanakan Undang-Undang Yayasan sebagaimana mestinya dan memprioritaskan penyelesaian RUU Perkumpulan. “Pembahasan RUU Ormas ini tidak urgen dan tidak diperlukan oleh masyarakat,” kata Din.(zul/rmol)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.