Aturan Tak Jelas, Menteri Saling Lempar Tanggung Jawab

JAKARTA,SNOL Ketidakjelasan siapa menteri yang bertanggung jawab melaksanakan tugas di bidang pangan mengakibatkan kerugian konstitusional bagi produsen pangan.

Khususnya kerugian bagi para petani dan pelaku usaha kecil. Karena menimbulkan ketidakpastian jaminan hukum, siapa yang bertanggungjawab dan siapa yang bisa digugat.

Kondisi ketidakpastian ini menurut Ketua Indonesian Human Rights Committe for Social Justice (IHCS) Gunawan dapat dilihat ketika masih ada perdebatan tentang rekomendasi impor pangan antara Menteri Pertanian dengan Menteri Perdagangan, kontainer yang membawa bawang impor justru tiba di tanah air.

“Inilah penimbunan yang memengaruhi harga. Fenomena ini persis dengan impor beras. Ketika masih dibahas, beras impornya sudah mendarat,” katanya di Jakarta, Minggu (17/3).

Gunawan mempertanyakan Pasal 36 (3) Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2012, tentang Pangan. Dimana disebutkan, kecukupan produksi pangan pokok dalam negeri dan cadangan pangan pemerintah ditetapkan oleh menteri atau lembaga pemerintah yang memunyai tugas melaksanqkan tugas pemerintahan di bidang pangan.

“Pasal ini  tidak jelas menyebut menteri apa yang bertanggungjawab. Di ketentuan umum maupun di penjelasan undang-undang juga tidak ditemukan keterangannya,” katanya.

Akibatnya, Gunawan tidak heran jika selama ini melihat menteri pertanian dan menteri perdagangan saling lempar tanggung jawab terkait kebijakan impor pangan.

“Ketidakjelasan ini mungkin disengaja, untuk memisahkan menteri penanggungjawab produksi dengan menteri yang mengatur perdagangan pangan,” duganya.

Pria ini mengungkapkan hal tersebut karena UU Pangan memang mensyaratkan impor pangan diperbolehkan jika produksi dan cadangan pangan kurang, tidak bisa diproduksi di nasional, dan tidak boleh merugikan produsen pangan.

“Tapi faktanya tidak peduli apakah butuh impor atau tidak, pemerintah khususnya Kemendag pasti akan membuka pintu impor dengan alasan adanya perjanjian internasional (WTO/World Trade Organization) maupun perjanjian bilateral, yang pada intinya meliberalkan pangan,” katanya. (gir/jpnn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.