RUU Ormas Mengancam Komunitas Minoritas
JAKARTA,SNOL RUU Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) yang masih digodok Panitia Khusus (Pansus) DPR RI dinilai mengancam dan mengekang keberadaan komunitas keagamaan yang tumbuh di Tanah Air seperti majelis taklim, paroki, pengurus mushala, masjid, gereja, wihara dan sebagainya.
Organisasi-organisasi keagamaan yang umumnya memiliki struktur sederhana, namun tak berbadan hukum tersebut akan diatur dan dikontrol negara melalui RUU Ormas.
“Ini sebagai bentuk kontrol negara untuk mengawasi organisasi kemasyarakatan di Indonesia,” kata Direktur The Wahid Institute, Zannuba Arifah Chafshoh atau Yenny Wahid, di Jakarta, Kamis (28/2).
Pernyataan itu disampaikannya bersama Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia (KAMSI) yang digelar di gedung Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jakarta. Kegiatan ini dihadiri sejumlah pemimpin organisasi kemasyarakatan lintas agama sepeti Al-Washliyah, Syarikat Islam, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan sejumlah NGO yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Berserikat (KBB).
Kontrol pemerintah tersebut, lanjut Yenny, dilakukan sampai ke tingkat desa, ormas yang tidak berbadan hukum juga diwajibkan memberitahukan keberadaannya secara tertulis dengan menyertakan nama dan alamat organisasi, nama pendiri, tujuan dan kegiatan, nama pengurus.
Selain itu, mereka juga harus mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar. Aturan itu disebut dalam pasal 18 ayat 1 dan 2 dalam draf Panja Ormas DPR 5 Desember 2012.
Masyarakat juga harus melaporkan kepada pemerintah terkait dana dan bantuan yang diterima. Sebab, ada aturan di mana ormas dilarang menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas.
RUU Ormas membagi ormas dalam dua kategori. Pertama, ormas berbadan hukum terdiri dari Yayasan dan Perkumpulan, dan kedua, ormas tak berbadan hukum.
Ormas tak berbadan hukum diwajibkan pula memperoleh Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari pemerintah. Untuk mendapatkan itu, ormas harus memenuhi persyaratan administasi mulai dari AD/ART atau akta pendirian yang dikeluarkan notaris, program kerja, kepengurusan, Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama ormas, dan kesanggupan melaporkan kegiatan.
RUU Ormas juga mengancam pelaksanaan hak warga negara untuk menjalankan agama dan keyakinannya, khususnya kelompok minoritas. Misalnya, larangan “melakukan penyalahgunaan, penistaan, dan/atau penodaan terhadap agama yang diakui di Indonesia” di Pasal 61 ayat 2 poin d. Kalimat ‘agama yang diakui di Indonesia’ bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Uji Materi UU PNPS 1965.
“Pasal dalam RUU itu justru mengancam komunitas minoritas di Indonesia,” pungkas Yenny.(ald/rmol)