Selama 67 Tahun tak Pernah Absen Berdoa di Makam Daan Mogot
67 tahun sudah Mayor Daan Mogot gugur dalam Peristiwa Lengkong 25 Januari 1946. Selama itu pula, Fietjeh Mogot, adik ke enam pahlawan bagi Tangerang itu tak pernah absen dalam menaburkan bunga mawar di atas pusaran makam kakaknya di TMP Taruna, Kota Tangerang.
PRAMITATRISTIAWATI, Tangerang
RAUT sedih sekaligus bangga masih tersirat di wajah tua wanita 80 tahun itu. Seperti menyapa ‘sayang’ kepada sang kakak, tangan renta tuanya berkali kali mengambil tumpukan kelopak mawar merah dan putih untuk kemudian ditaburkannya lembut di atas pusara kakak keempatnya itu.
Saat taburan bunga jatuh di atas helm besi bekas perang Daan Mogot, tangan rentanya berhenti sejenak di situ. Mengelus lembut, kemudian bergerak menuju pusa-ranya yang tertulis damai disana ‘Daan Mogot Lahir 28 Desember 1928 Wafat 25 Januari 1946’. “Kau wafat muda dengan tenang sebagai pahlawan bang,” gum-amnya dalam bahasa Belanda.
Fietjeh yang ditemani anak dan keponakannya sempat terdiam sejenak, larut dalam doa, mendoakan kakak kesayangannya yang sudah beristirahat tenang sebagai pahlawan Indonesia. “Selama saya masih hidup, saya akan selalu menjenguknya ke sini,” ucapnya setelah doa.
Memang, semenjak wafat, Fietjeh tidak pernah absen menghadiri peringatan Peristiwa Lengkong. Tidak hanya saat peringatan saja, jika rindu terhadap sang kakak tidak bisa dibendungnya, dia akan mengajak keluarga lainnya mengunjungi Taman Makam Pahlawan (TMP) Taruna.
“Dia anak ke empat, sedangkan saya anak keenam. Kami tujuh bersaudara, ada satu kakak saya lagi, dia saat ini menetap di Amerika,” jelasnya, sembari duduk di samping pusara sang kakak. Dalam kenangan, tahun dimana sang kakak meninggal, saat itu Fietjeh masih berusia 13 tahun, sedangkan Daan Mogot berusia 18 tahun.
Sosok Daan bagi Fietjeh merupakan kakak yang baik, mengayomi adik-adiknya, dan satu hal yang pasti, jiwa pejuang tertanam di dalam diri Daan sejak dia remaja. “Bayangkan, saat seusia pemuda lain memilih belajar agar jadi orang pintar, dia memilih untuk jadi pejuang, dan mati muda sebagai pahlawan,” tutur nenek yang membawa tongkat ke pemaka-man kakaknya.
Fietjeh dan keluarga mengaku bangga dan mendukung penuh langkah sang kakak yang menginginkan jadi pejuang tangguh membela negara, dengan restu itulah pada November 1945, Daan Mogot masuk dan menjadi pendiri sekaligus Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang (MAT) dalam usia 17 tahun.
Walaupun kabar duka wafatnya Daan Mogot bisa diterima keluarga tiap waktu, Fietjeh mengaku terpukul saat dikabarkan saat kakaknya tewas dalam pertempuran di Hutan Leng-kong, 67 tahun lalu. “Memang masih remaja usia saya, tapi perasaan terpukul sekaligus bangga karena memiliki kakak yang gugur dalam perjuangan membela negara, masih terasa sampai sekarang,” tutur Fietjeh lembut. “Dia kebanggaan kami, cucu saya ini akan menjadi penerus sifat dan sikap pejuangnya. Saya akan pastikan itu,” pungkasnya. (*)