Inpres SBY Tentang Keamanan Dalam Negeri Tak Sentuh Substansi
JAKARTA,SNOL Instruksi Presiden (Inpres) 2/2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri membuka peluang campur tangan militer terhadap kehidupan civil society.
Demikian dikatakan Ketua Badan Pengurus (PB) Setara Institute, Hendardi, menyikapi peluncuran Inpres tersebut pada 28 Januari lalu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Seperti membuka luka lama karena Inpres itu membuka peluang bagi campur tangan militer dalam kehidupan civil society. Keterlibatan aparatur keamanan dari tubuh Polri dan TNI sangat berpotensi memicu terjadinya praktik pelanggaran HAM,” kata Hendardi, dalam siaran pers tertulis, (Selasa, 12/2).
Dia menambahkan data rekam jejak dua institusi bersenjata itu dalam penanganan konflik sosial. Berdasarkan data yang terdokumentasikan Komnas HAM yang diadukan masyarakat sepanjang 2012, aparat kepolisian dan TNI dilaporkan melakukan penyimpangan sebanyak 1.635 kasus.
Setara Institute menengarai Inpres itu diterbitkan pemerintah karena menjamurnya konflik sosial dan terorisme di sejumlah daerah. Dua persoalan utama itu, menurut Hendardi, diduga kuat mendorong presiden mengeluarkan pranata hukum potong kompas.
Padahal UU 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah mengaturnya. Pengaturan itu, jelas dia lagi, mubazir karena telah ada UU 2/2002 tentang Kepolisian RI.
Pada bagian lain, Hendardi mengatakan, meningkatnya intensitas konflik sosial bersifat horizontal dan vertikal tiga tahun terakhir, memposisikan penyelenggara pemerintahan dalam situasi sulit.
Kelemahan pemerintah dalam menangani kasus konflik sosial menjadi celah institusi sosial yang diperankan tokoh-tokoh radikal menggantikan fungsi dan peran pemerintah, akibatnya konflik sosial semakin merata penyebarannya.
“Jadi Inpres itu hanya sekadar meredam konflik tanpa mengurai akar permaslahan. Ada tiga substansi persoalan yang masih membutuhkan penanganan serius pemerintah,” kata dia.
Pertama, penyelenggara negara harus memastikan jalannya proses hukum tidak terkesan mengikuti desakan tirani mayoritas. Kondisi ini akibatnya menimbulkan hilangnya rasa keadilan masyarakat.
Kedua, supremasi hukum yang mengedepankan kepastian hukum dalam setiap penindakan aktor pelaku konflik sosial. Sehingga kepastian hukum bukan lagi menjadi “barang langka”.
Ketiga, faktor pemicu konflik sosial yang paling krusial harus segera diselesaikan, seperti jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan dan juga perlindungan kepemilikan tanah ulayat.(ald/rmol.co)