Tergerak Mengentas Buta Aksara setelah Melihat Banyak Anak Telantar
Perjuangan Tirta Nursari Dirikan TBM Warung Pasinaon
Keuletan dan perjuangan Tirta Nursari dengan taman bacaan masyarakat (TBM) Warung Pasinaon akhirnya membuahkan hasil. Dia mendapat penghargaan apresiasi Peduli Pendidikan 2012 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
M. HILMI SETIAWAN, Jakarta
Tak terkira rasa bangga yang dirasakan Tirta Nursari. Sebab, penghargaan yang diserahkan pada pengujung 2012 itu diberikan oleh dua orang ’’besar’’ yang selama ini dia kagumi. Yakni, mantan Presiden B.J. Habibie dan Mendikbud Mohammad Nuh. “Terbayang ketemubeliau pun tidak terlintas di pikiran. Lha, ini malah berjabat tangan,” ujar Tirta ketika ditemui Sabtu (5/1).
Perempuan kelahiran Brebes, Jateng, 7 Maret 1973, itu mengaku sangat tersanjung karena ada yang memperhatikan dan memberikan penghargaan atas jerih payahnya selama ini. Karena itu, semangat Tirta untuk lebih memajukan TBM Warung Pasinaon-nya pun makin menyala-nyala.
Dengan penghargaan tersebut, TBM yang didirikan Tirta kini disandingkan dengan kegiatan serupa yang digagas tokoh-tokoh kaliber nasional. Misalnya, Kandang Jurang Doank yang didirikan artis Dik Doank atau Rumah Dunia yang dimotori Heri Hendrayana Harris atau yang ngetop dengan nama pena Gol A Gong (dulu ditulis Gola Gong), pengarang novel serial Balada Si Roy. “Saya bertekad untuk terus meng-upgrade TBM saya supaya terus berkualitas dan tidak tertinggal,” tegasnya.
TBM yang bermarkas di Kelurahan Bergas Lor, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang, tersebut muncul dari kegelisahannya mengamati perkembangan sosial setempat. Gagasan untuk membuat TBM di benak Tirta muncul pada 2007.
Dia menghadapi kenyataan bahwa sangat banyak anak “telantar” di kampungnya. Anak-anak itu tak terawat bukan karena tidak memiliki rumah dan tidak diasuh orang tuanya. Tapi, mereka kehilangan sentuhan seorang ibu. “Kebanyakan ibu mereka menjadi buruh di pabrik garmen di dekat situ,” jelasnya.
Lantaran para ibu harus mencari nafkah mulai pagi sampai petang, anak-anak mereka kurang terurus. Peran ibu diambil alih para suami. Akibatnya, anak-anak kurang mendapat sentuhan lembut ibu mereka. Terutama di bidang pendidikan.
Ujung-ujungnya, jumlah anak yang lambat membaca dan menulis terus menumpuk. “Saya tidak ingin kondisi itu berlarut-larut. Sebab, bisa menimbulkan masalah sosial di kemudian hari,” papar istri Hermawan Budi Sentosa itu.
Dari situlah Tirta mulai bergerak menjadi “ibu” bagi anak-anakyang sudah lama kehilangan sentuhan seorang ibu tersebut. Meski bukan ibu biologis, Tirta yakin dirinya bisa menjadi “ibu” saat mendampingi anak-anaknya belajar.
Tekadnya yang kuat membuat langkah Tirta pun ringan. Dalam sekejap dia berhasil mengumpulkan 14 anak-anak telantar. Jumlah itu sudah cukup untuk meramaikan TBM Warung Pasinoan yang didirikan.
Pada awalnya, kondisi TBM masih serba-terbatas. Misalnya, untuk tempat belajar, Tirta meminjam musala kampung. Meski begitu, koleksi buku bacaannya suda cukup banyak, sekitar 150 judul. Sebulan kemudian, minat warga menitipkan anaknya di TBM Warung Pasinaon bertambah banyak. Jumlah murid yang belajar menjadi 50-an anak. Maka, Tirta lalu mencarikan lokasi yang lebih besar. Dia kembali meminjam garasi mobil milik tetangga. “Beruntung diizinkan.”
Dengan telaten Tirta menangani sendiri anak-anak seusia SD yang selama ini kesulitan membaca dan menulis itu. Pelan tapi pasti, ikhtiarnya tersebut mulai membuahkan hasil konkret. Anak-anak merasa senang belajar dan membaca di warung ilmu itu. Kendati begitu, Tirta tidak ingin murid-muridnya tergantung pada TBM. Dia kembali harus mencari jalan keluar agar proses belajarmengajar di TBM bisa berlanjut di rumah. “Saya akhirnya berinisiatif mengajak orang tua mereka untuk ikut belajar di TBM,” papar Tirta.
Menurut analisis Tirta, sebenarnya para orang tua itu tidak buta aksara seratus persen. Namun, lantaran tidak pernah diasah lagi, mereka jadi lupa membaca dan menulis. Tirta pun lantas bergerilya mengajak para orang tua untuk masuk ke TBM Warung Pasinaon. Dia mengakui awalnya begitu sulit mengajak orang tua untuk belajar membaca dan menulis. Alasannya mulai tidak ada waktu, sibuk bekerja, hingga malu pada tetangga.
Tetapi dengan kegigihannya, Tirta perlahan-lahan berhasil mengajak mereka untuk belajar di TBM. Pada gelombang pertama, dia bisa mengajak sekitar 40 warga sekelurahan yang gagap membaca dan menulis. Agar proses belajar-mengajarnya berlangsung menarik, Tirta menggunakan media majalah yang diterbitkannya setiap bulan. Majalah yang diberi nama Warung Pasinoan itu dicetak seribu eksemplar per bulan. Hebatnya, selain untuk kepentingan belajar “para murid”, majalah itu juga dijual umum. “Pelanggannya ada yang dari luar Jawa lho,” terang Tirta.
Supaya majalah ini tetap terbit, seluruh awak redaksi merupakan warga yang ikut dalam program TBM Warung Pasinaon. “Wartawannya ya warga di sini semua.”
Isi majalah itu tidak hanya reportase, tapi juga ada puisi dan cerpen. “Bahkan ada yang membuat wawancara dengan tukang sayur. Pokoknya lucu-lucu,” kata Tirta lantas tertawa. Meskipun awalnya tulisan para “wartawan” itu belepotan,
Tirta tidak mempersoalkannya. “Kita dandani bareng-bareng (perbaiki bersama-sama, Red),” tandas peraih juara manajemen TBM se-Jawa Tengah 2009 itu.
Saking semangatnya para murid TBM Warung Pasinoan dalam belajar, tak jarang Tirta menemukan warga yang membawa majalah Warung Pasinaon sampai ke sawah. (*/ari)