Goyong, Hanya Ingin Tehyan Lestari

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, inilah kiranya pribahasa yang tepat menggambarkan kehidupan Goyong (60) sebagai seorang seniman Tehyan. Lelaki yang memiliki nama asli Oen Sin Yang ini meneruskan jejak sang ayah Oen Hoek sebagai seniman tehyan, alat musik gesek Tionghoa. 

Pada awalnya Goyong tidak berpikir untuk menjadi seorang seniman. Ia pun tidak secara khusus menyempatkan waktu untuk menimba ilmu dari Oen Hoek yang pada masa hidupnya telah melanglang buana bersama grup gambang kromong, Irama Bersatu.

“Saya mah gak pernah belajar. Ngeliat-liatin aja, sehari-hari di rumah. Kalo dulu mukul gambang aja saya diomelin, Ibu saya galak. Paling bapak saya kalo liat saya maenin alat-alat yang ada, dia bilang coba pukul lagi, bapak liat,” kenang Goyong akan masa kecilnya.

Laki-laki asli kelahiran Tangerang yang sejak lahir hingga kini menetap di rumah warisan orangtuanya di kelurahan Mekarsari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang mengaku mulai menekuni tehyan secara serius justru setelah ayahnya meninggal dunia.

“Waktu muda saya pemalu. Gak pernah mau kalo diajak manggung. Saya mulai tampil di pentas justru setelah bapak almarhum di tahun 1987,”ujarnya.

Awal karir Goyong dapat dibilang banyak terbantu nama besar sang ayah. Orang-orang yang biasa menikmati alunan musik tehyan dari kelompok besutan Oen Hoek merasa kehilangan sosok sang seniman, hingga akhirnya muncullah orang-orang yang mengusulkan Oen Sin Yang sebagai penerus ayahnya.

“Dulu mah orang-orang aja yang pada ngomong. Tuh anaknya juga bisa, suruh aja dia. Saya juga gak tahu. Kenapa pas bapak saya meninggal, saya jadi bisa aja gitu kayaknya. Kayak diwarisin ke saya ilmunya, ya namanya begituan kan gak keliatan,” tutur Goyong mengenai awal kemunculannya sebagai pemain tehyan, dilengkapi cerita berbau mistis yang ia percayai.

Duapuluh lima tahun bertahan memainkan tehyan, tidak selalu mulus dalam perjalanannya. Di satu sisi Goyong sebagai seniman, di sisi lain ia juga seorang suami dan ayah yang harus  bertanggungjawab atas kehidupan anak istrinya. Tidak setiap hari Goyong dapat menggesek tehyan.

“Namanya ginian kan (pementasan tehyan) gak pernah pasti. Kadang satu bulan, dua bulan baru ada orang yang manggil, kalo gak ada saya njaring ikan di pintu air 10 kerjaannya,” tutur Goyong.

Goyong hanya tampil bila ada undangan. Biasanya di acara pernikahan, Goyong membawakan lagu-lagu riang gembira yang dalam bahasa Cina dikenal dengan nama Cio Taw,  seperti sirih kuning, kicir-kicir, ayam jago, dayung sampan. Sedangkan pada upacara kematian, ia membawakan lagu-lagu sendu atau Pat In.

Untuk terus bertahan hidup ia juga membuat alat musik tehyan. Hanya saja pemasarannya masih terbatas. Tapi ia mengaku semakin hari, dengan banyak informasi mengenai dirinya dan semenjak terdaftar sebagai seniman oleh pemerintah Kota Tangerang arus usahnya semakin lancar.

“Tehyan saya bikin buat pake sendiri buat dijual. Orang dari mana aja nyampe. Dari Surabaya ada kemaren dateng kesini. Saya gak tau gimana mereka bisa tahu,” ujar Goyong.

Sama halnya dengan menampilkan tehyan menjual tehyan juga tak kalah pelik. Selain membuatnya yang susah penjualannya tidak selalu ada setiap hari.

Kali pintu air sepuluhlah yang menjadi sandaran Goyong, ia menebar jala setiap harinya disana. Menjual hasil tangkapannya untuk membiayai kebutuhan sehari-hari.

 

Mengenang Sang Ayah

Ketika ditemui di rumahnya, Kamis (9/11), Goyong dengan ramah memperkenalkan anggota kelurganya pada Satelit News, mulai dari anak, istri hingga nenek serta kedua orang tuanya. Tapi tidak semua anggota keluarga dapat berbalas senyum dengan Satelit News. Beberapa anggota keluarga bisa kami kenal melalui foto dan dihidupkan oleh cerita Goyong. Sebagian karena telah meninggal dan sebagian terpisah jarak. Termasuk Sang ayah Oen Hoek.

Oen Hoek tidak mewarisi darah seniman dari kedua orang tuanya. Garis keturunan sebelumnya pun tidak ada yang bergelut dalam dunia seni.  Ia mengenal seni justru dari istrinya Masnah.

“Bapak saya kenal gambang kromong dari pertunjukan lenong. Dulu di Tangerang sering ada pertunjukan lenong. Bapak saya kan kerjaanya jual es lilin keliling, pake termos naek sepeda. Jualannya ditempat orang nanggap lenong soalnya rame, laku. Dari situ kenal sama ibu saya. Ibu saya kan penyanyinya. Jadi ceritanya bapak saya kegila-gila ama Ibu saya, sampe akhirnya nikah. Dari situ dia kenal gambang kromong,” terang Goyong dengan logat Betawi yang kental.

Perempuan yang akhirnya menikah dengan Oen Hoek tak lain adalah Masnah Penyanyi di kelompok musik Gambang Kromong yang bersama Oen Hoek meraih puncak kesuksesan. Masnah adalah ibu tiri Goyong. Goyong lahir dari pernikahan pertama Oen Hoek. Dari pernikahan itu lahir Goyong dan kakak perempuannya. Ketika usia Goyong empat tahun Oen Hoek dan Ibu kandung Goyong bercerai. Hingga ia akhirnya dirawat dan dibesarkan bersama sang ayah dan ibu tiri.

“Saya tahunya pas udah gede aja. Dari cerita orang tua saya. Kalo ibu kandung saya mah orang biasa bukan seniman. Ibu tiri saya yang penyanyi,” kenang Goyong.

Dahulu kedua orang tuanya banyak menghabiskan waktu untuk tampil di berbagai pementasan. Namun hanya sedikit peninggalan orangtuanya yang merekam kegiatan tersebut.

“Mereka banyak tampil, sampe ke Belanda, ke Jepang, ke Amerika, banyakan di sana malah rekamannya. Saya nyimpen beberapa rekamannya, tapi udah gak begitu bagus pitanya,” ujar Goyong sambil memperlihatkan sebuah foto berupa sampul album milik sang ayah, berlebel Rounder Record, Camp Street Cambridge, Massuchsetts, USA.

Bersebelahan dengan foto Oen Hoek, terdapat juga foto sang Ibu, Masnah yang lebel atasnya bertulis “Smithsonian Folkways Recordings”. Membuktikan ucapan Goyong tentang sepak terjang bermusik kedua orangtuanya.

 

Meretas Jalan Berharap Lestari

Sejak tahun 1987, setelah Oen Hoek berpulang, goyong mulai membentuk kelompok musik  sendiri dengan nama baru Irama Masa, sedikit menggubah kelompok terdahulu milik sang ayah. Panggung demi panggung ia jalani bersama-sama rekan Irama Masa yang kini berjumlah lima orang. Usaha Goyong tidak hanya menampilkan kesenian tehyan, tetapi ia juga merangkap sebagai pendidik mengingat generasi tua penggiat tehyan yang telah meninggal.  Mulai dari kelurga ia rangkul untuk melestraikan kesenian, mengajak mereka yang mau belajar dan  bergabung dalam pementasan Irama masa.

“Saya juga ngajarin, orang yang pada maen kan udah pada kaga ada sekarang. Ini tantangannya, gak semua orang bisa. Dia kan (tehyan-red) gak kayak gitar yang ada bukunya, ada kuncinya. Ini lebih ke perasaan aja. Ada yang cepet, ada yang udah diajarin juga gak bisa-bisa. Keluarga juga saya ajarin semua anak maen bisa, cuma yang serius dan mau tampil dua doang. Anak saya yang kelas 6 SD, sama yang umur 21,” papar Goyong, yang  kini total memiliki 8 anak.

Seperempat abad sudah Goyong habiskan untuk menekuni tehyan. Dedikasi dan keberadaanya telah diakui berbagai pihak, sejumlah penghargaan berhasil diraihnya. Dalam Puncak Peringatan Sumpah Pemuda tahun 2012 Goyong diberi penghargaan sebagai seniman yang memajukan seni dan budaya Kota Tangerang Oleh Walikota Tangerang, setelah sebelumnya pada tahun 2010 diberikan penghargaan sebagai praktisi seni dan budaya tingkat Provinsi Banten oleh Gubernur Banten.

Namun ketika ditanya mengenai harapan kedepan. Bukan harapan untuk dirinyalah yang muncul sebagai jawaban. Bukan penghargaan tingkat nasional atau rekaman luar negeri seperti sang ayah yang ia inginkan. Ia justru ingin ada ruang untuk mengajarkan seni ini pada anak muda agar lestari. (mg1/gatot)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.