Ribuan Warga Ikuti Kirab, Rayakan HUT Mahabodhi ke 182
TANGERANG,SNOL Di hari ulang tahun ke-182, kelenteng Hok Tek Tjeng Sin atau Wihara Mahabodhi, menggelar kirab budaya, Minggu (30/9). Sebanyak 16 tandu berisi dewa-dewi diusung berkeliling melewati Jalan Sewan, Lebak Wangi sampai Jalan Rawa Kucing, Kecamatan Negelasari, Kota Tangerang. Prosesi kirab juga dimeriahkan dengan kehadiran atraksi barongsai dari 10 perkumpulan barongsai se-Jabodetabek serta tabuhan tambur, simbal dan gong.
Ong Akiang ketua pelaksana mengatakan kirab ini layaknya budaya ruwat di daerah Jawa, yang memiliki tujuan tersendiri. Sebelum dilaksanakan proses kirab, terlebih dahulu dilakukan upacara sembahyang. ”Tujuan kirab ini untuk meminta agar alam ini seimbang dan nyaman serta untuk menyetarakan unsur kosmos (yin) dan mikrokosmos (yan). Jadi kita terhindar dari bencana semacam banjir, gempa bumi dan bencana-bencana lainnya,” ungkap Akiang saat ditemui wartawan usai acara.
Meski demikian, Kirab ini tidak seperti pada acara ruwatan yang menghadirkan tumpeng bersi persembahan hasil bumi. Agar lebih teratur, panita pelaksana menggantinya dengan pemberian bantuan beras bagi warga sekitar. Total sebanyak 2500 kantong beras, masing-masing berisi 5 liter dibagikan 1 bulan sebelum acara.
Pantauan Satelit News, pukul 11.00 WIB setelah proses sembahyang selesai, panitia mulai melaksanakan upacara serah terima dewa-dewi kepada para pembawa tandu. Beberapa diantara dewa-dewi yang diusung antara lain dewa bumi (Hok Tek Tjeng Sin), dewa pengobatan (Tjo Soe Kong), Jaksa Bao (Kwaan Tee Kong), Dewi Welas Asih (Ma Kwan Im Phosat).
Sebelum berkeliling pukul 13.49 WIB panita dan umat serta para pengunjung yang hadir bersama menyanyikan lagu Indonesia Raya. Aktifitas menabuh aneka alat musik pun dihentikan. Beberapa saat kemudian rombongan ibu-ibu berjajar membawa bendera merah putih dan lambang Pancasila, mengikuti arak-arakan naga yang keluar pertama kali membuka jalannya kirab.
Tahapan berikutnya barulah tandu berisi patung para dewa-dewi keluar menyusuri jalan di Sewan, salah satu daerah pecinaan di Tangerang. Wangi dupa merah yang dibakar menyeruak dari depan tempat para dewa didudukkan. Setiap tandu diusung oleh empat orang laki-laki. Mereka berjalan oleng kekanan dan kekiri. Gerakan ini bukan lantaran beratnya tandu, akan tetapi sebuah gerakan yang merefleksikan gambaran kehidupan seperti yang diungkapkan Akiang, “Jalan seperti itu sudah bagian dari tradis. Ada maknanya, yaitu sebelum mencapai tingkat kedewaan, para dewa sebelumnya juga melewati proses kehidupan ada yang sebgai menteri, raja atau lainnya, pada porese itu kehidupankan tidak selamnya lurus,” terang Akiang.
Jalan penuh dengan para peserta Kirab sedangkan dipinggir jalan warga ramai menyaksikan. Sejumlah warga tampak mengatupkan kedua tangan lambang berdoa sambil memandang kearah iringan tandu. Begitu rombongan kirab melewati wihara Tjo Subio di daerah Rawa Kucing, tandu para dewa dimasukkan ke dalam wihara. Tujuannya tak lain untuk menghormati para dewa yang ada di dalam wihara tersebut.
Didalam kelenteng, tempat dupa yang tadinya hanya berisi sebatang dupa merah, ditambah sebatang dupa berwarna hitam yang memiliki wangi jauh lebih tajam dibanding dupa merah. “Dupa hitam ini memberikan pelajaran bagi manusia agar sebaiknya senatiasa wangi, karena sesorang yang wangi maka orang lainpun tidak ragu untuk mendekat dan membuka peluang untuk mendaptkan rejeki juga kan, ketimbang orang yang bau, orang juga pasti gak mau mendekat,” terang Akiang. Pukul 15.33 Wib rombongan kirab mulai kembali memasuki wihara. (mg-1/jarkasih)