Mencuat, Faktor Human Error Jatuhnya Sukhoi
JAKARTA, SNOL Reruntuhan pesawat Sukhoi Super Jet 100 dengan nomor registrasi penerbangan RA 36801 ditemukan di ketinggian 5.800 feet atau sekitar 1.760 meter di atas permukaan laut. Sukhoi naas tersebut ditemukan menabrak tebing yang masuk wilayah Kampung Batu Lapak, Kecamatan Cijeruk, Bogor, Jawa Barat.
Reruntuhan pesawat ditemukan Tim Search and Rescue (SAR) Pangkalan TNI Angkatan Udara Atang Sendjaja, Bogor, sekitar pukul 09.05 WIB. Dua pesawat helikopter Super Puma yang dikerahkan Lanud Atang Sendjaja dan satu helikopter Bolcow milik Basarnas menelusuri jalur penerbangan Sukhoi dari lokasi kontak terakhir di koordinat 06 derajat 43 menit 08 detik Lintang Selatan dan 106 derajat 43 menit 15 detik Bujur Timur ke arah Pelabuhan Ratu.
Tak jauh dari lokasi kontak terakhir Sukhoi, Mayor Penerbang Mayor Pnb Muhammad Riza Yudha Fahlefie dari Skadron Udara 6 yang menerbangkan Helikopter Super Puma nomor regristrasi H 3214 melihat reruntuhan pesawat dalam koordinat 06 derajat 42 menit 61,3 detik Lintang Selatan dan 106 derajat 44 menit 41,2 detik Bujur Timur.
“Koordinat lokasi sudah diketahui, namun situasi di darat belum terlihat dari udara karena lebatnya vegetasi,” ujar Mayor Ali Umri Lubis, Kepala Penerangan Lanud Atang Sendjaja, Bogor.
Komandan Korem Bogor Kolonel Infantri A.M. Putranto mengatakan, kondisi pesawat hancur. Meski demikian, Putranto berharap ada korban yang selamat. “Pesawat pecah. Kita berdoa saja penumpangnya selamat,” katanya.
Berdasarkan foto udara yang diambil Kopilot Letnan Satu Pnb Budiono pada pukul 09.10, terlihat reruntuhan berada di bawah tebing curam dengan ketinggian sekitar 2.500 kaki. Badan pesawat bagian depan hancur dan menyisakan bagian ekor pesawat yang berwarna biru dengan gambar logo segitiga khas Sukhoi. Diduga, pesawat menabrak tebing dengan kecepatan tinggi, sekitar 800 kilometer per jam, sehingga bagian depan pesawat hancur.
Lokasi jatuhnya pesawat hanya sekitar 2,5 kilometer dari Kawah Ratu atau tak jauh dari lokasi penemuan bangkai pesawat Cassa 212 milik TNI AU yang jatuh pada 2008 dan menewaskan 18 orang penumpangnya. Berdasarkan perhitungan Tim SAR, posisi penyelamatan paling dekat adalah Desa Cijeruk yang berada dalam jangkauan sekitar 1,7 Nautical Mile atau sekitar tiga kilometer dari desa terdekat.
Meski demikian, terdapat laporan bahwa masyarakat kampung Loji, Desa Cipelang, Bogor, juga menemukan serpihan kecil badan pesawat yang diduga milik Sukhoi naas tersebut. Karena itu, Basarnas memindahkan Posko Utama dari Cidahu di Sukabumi ke Balai Embrio Ternak di Cipelang, Bogor. Dari Posko tersebut, posisi terakhir Sukhoi diperkirakan hanya tiga kilometer.
Kemarin, petugas SAR telah membuat helipad di lapangan desa Cipelang yang rencananya akan digunakan untuk mengevakuasi korban setelah dibawa dengan jalur darat dari lokasi penemuan pesawat. Untuk keperluan evakuasi tersebut, Basarnas telah menyiapkan empat helikopter milik PMI di Sentul dan dua heli Super Puma milik TNI AU di Lanud Atang Sendjaja, Semplak, Bogor.
“Korban selamat dirujuk ke Rumah Sakit Salak dan RS PMI di Bogor. Untuk yang meninggal dunia akan langsung diterbangkan ke Bandara Halim Perdana Kusumah untuk diotopsi di Rumah Sakit Kramatjati di Jakarta,” terang Putranto.
Human Error
Penyebab joy flight SSJ100 menjadi deadly flight mulai terungkap. Terutama, kenapa penerbangan kedua tersebut mengambil rute Bandara Halim Perdana Kusuma-Gunung Salak-Pelabuhan Ratu. Padahal, rute tersebut ternyata jauh berbeda dengan penerbangan pertama.
Memang, penerbangan berdurasi sekitar 30-an menit tersebut untuk melintasi Pelabuhan Ratu. Pilot Alexander Yablontsev diberi keleluasaan untuk menentukan jalur mana yang akan diambil. “Karena dia dari pihak manufacturing, diberi kebebasan untuk pilih jalur,” ujar Consultant and Business Development PT Trimarga Rekatama Sunaryo.
Penerbangan pertama Sukhoi yang mendarat kembali di Halim sekitar pukul 13.00 WIB hanya berputar di langit Jakarta. Sunaryo tidak tahu kenapa di penerbangan kedua Alexander memilih untuk mampir ke gunung salak. Selanjutnya, seperti diketahui peristiwa mengenaskan itu terjadi.
Karena itu, Sunaryo menegaskan keputusan melewati rute Gunung Salak murni keputusan pilot Alexandr Yablontsev dan Kopilot Alexandr Kochetkov. Termasuk kalau selama penerbangan ada manuver-manuver yang dianggap perlu oleh pilot. Kenapa? Karena tema penerbangan kemarin adalah demo kepada calon pembeli. “Namanya saja demo flight, jadi terserah mereka,” imbuhnya.
Sunaryo mengakui, kalau peristiwa nahas itu tidak terjadi, pihaknya berencana menggelar joy flight ketiga di malam hari. Setelah peristiwa mengerikan itu terjadi pihaknya membatalkan penerbangan malam.
Karena terkait dengan keputusan pilot, Sunaryo tidak mau berkomentar banyak tentang kebijakan pilot untuk menurunkan ketinggian pesawat dari 10 ribu kaki ke 6 ribu kaki. Meski demikian, dia meyakinkan kalau pilot tersebut paham dengan risiko melintasi Gunung Salak, meski baru pertama menerbangkan pesawat di Indonesia.
Saat disinggung sepaham apa pilot tersebut, dia mengatakan Alexandr sudah memperlajari peta. Apalagi, Sunaryo beralasan di pesawat itu ada orang dari PT Trimarga yang sudah hafal trayek ke Gunung Salak.
Pria yang sudah 35 tahun ngurusi pesawat itu menampik kalau Sukhoi disebut tidak cocok untuk Indonesia. Dia menegaskan kalau pesawat tersebut sangat handal dan dibuktikan oleh sertifikat layak terbang oleh Eropa. “Tapi tetap, keputusan untuk menurunkan ketinggian ke 6 ribu kaki belum diketahui alasannya,” tambahnya.
Dia berharap KNKT dan tim dari Rusia bisa segera menemukan fakta kenapa peristiwa tragis itu bisa terjadi. Dia tetap yakin, Alexander Yablontsev adalah pilot terbaik dari negeri Beruang Merah. Potofolionya sangat meyakinkan, dia yang membawa burung besi itu dari Rusia ke Kazakstan, Pakistan, dan Myanmar.
Rencananya, dia juga yang akan mengkomandoi SSJ100 untuk joy flight di dua negara lagi yakni Laos dan Vietnam. Itulah kenapa, Sunaryo sulit menemukan alasan kalau Alexander dinilai kurang bisa menaklukkan langit Nusantara. “Dia tidak pernah mengeluhkan kondisi pesawatnya selama ini,” tuturnya.
Kahumas Basarnas Gagah Prakoso di Terminal Kedatangan Bandara Halim menjelaskan kalau SSJ100 tidak mengirim sinyal emergency sebelum hilang kontak. Makin menguatkan kalau pesawat tersebut mengalami benturan di Gunung Salak secara tiba-tiba.
Gagah menjelaskan, pilot tersebut turun dari ketinggian 10 ribu kaki ke 6 ribu kaki untuk mengindari awan. Seperti diketahui, pesawat tidak ramah dengan awan karena bisa menyebabkan goncangan alias turbulensi. Kemungkinan besar, Alexsander Yablontsev ingin menghindari awan yang terlampau banyak.
Memang, masih banyak kemungkinan kenapa burung besi seharga USD 35 juta itu bisa jatuh. Tapi, melihat kondisi pesawat yang hancur diduga kecepatan pesawat saat itu sekitar 600-700 km per jam. Jadi, begitu turun untuk menghindari awan, SSJ100 langsung menabrak gunung. “Itu inisiatif pilot,” kata Gagah.
Yang pasti, kata Gagah, berdasarkan rekaman percakapan antara pesawat dengan ATC Bandara Soekarno-Hatta, saat pilot melaporkan pesawat bakal menurunkan ketinggian dari 10 ribu meter menuju enam ribu meter, belum ada respon dari Air Traffic Control (ATC). Saat itulah diketahui kalau pesawat buatan Rusia itu hilang kontak.
Gagah mengakui setelah lost contact, SSJ100 tidak mengirim sinyal darurat ke otoritas penerbangan Indonesia. Setelah di cross chek ke ATC Bandara Changi dan ATC Australia, mereka juga tidak menerima sinyal darurat tanda pesawat jatuh. Padahal, pesawat yang jatuh biasanya mengirimkan sinyal location beacon-aircraft (ELBA) atau emergency locator transmitter (ELT).
“Kemungkinannya, impact benturan terlalu besar sehingga alatnya rusak. Kalau habis baterei tidak mungkin, karena baterei ELT dan ELBA biasanya tahan selama seminggu. Karena itu agak aneh mengapa tidak ada sinyal darurat setelah jatuh,” terangnya.
Meski demikian, Gagah enggan berspekulasi lebih jauh. Menurutnya, ada baiknya menunggu hasil penyelidikan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Sebab, dari hasil investigasi institusi itulah akan diketahui dengan pasti kenapa pesawat tersebut jatuh. “Apakah pesawat itu punya ELT atau tidak, itu tergantung investigasi KNKT. Namun, semua pesawat komersial seharusnya punya alat itu,” terangnya.
Kejanggalan lain adalah rute penerbangan. Pengamat penerbangan Gerry Soejatman menilai keputusan joy flight kea rah Pelabuhan Ratu tidak lazim. Karena daerah di selatan Jakarta yang berkontur gunung-gunung, lebih berawan, dan lebih berangin kencang dibandingkan jalur utara Jakarta tidak tepat bila digunakan untuk penerbangan demo.
“Kalau pilotnya hafal rute penerbangan di Indonesia, mereka pasti akan mengarahkan rute joy flight ke Krakatau atau Indramayu yang relatif lebih ringan,” terangnya.
Ketinggian pesawat ketika terbang di atas gunung Salak juga menjadi perhatian. Menurut Gerry, pilot Indonesia akan mengambil jarak aman 11 ribu meter di atas permukaan air laut di atas Gunung Salak, sesuai ketentuan MOCA (minimum obstacle clearance altitude).
Pertama untuk menghindari kabut dan risiko harus mengurangi ketinggian karena cuaca masih relatif aman. Selain itu, menghindari risiko benturan dengan tebing karena ketinggian puncak Gunung Salak sekitar enam ribu kaki. Karena itu, pilot Indonesia biasanya akan mengambil ketinggian yang aman di atas Gunung Salak sekitar sembilan ribu feet.
“Awan di Gunung Salak juga biasa bertumpuk-tumpuk kalau sore. Kalau penerbangan di atas 20 ribu kaki mungkin tidak ada masalah, namun kalau hanya enam ribu feet tentu risiko gangguan cuaca lebih besar,” terangnya. (dim/ken/kuh/ken/jpnn)