Setiap Hari Makan Mi, Sebagian Tidur di Makam
Nasib Pemulung Pasca Kebakaran TPA Rawa Kucing
Kebakaran Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Rawa Kucing, Kecamatan Neglasari Kota Tangerang, Sabtu (3/10) lalu, meninggalkan duka bagi para pemulung setempat.
UIS ADI DERMAWAN, Neglasari
Selain kehilangan tempat tinggal, sebagian pahlawan adipura itu juga harus merasakan tidur di makam dan makan mi instan setiap hari. Mereka mengungsi karena rumah semi permanen yang berada di pintu 3 hangus tak tersisa saat terjadi kebakaran.
Kemarin, pemulung yang biasanya mencari sampah untuk dijual kembali terlihat memilih menghabiskan waktunya di posko pengungsian yang tepat berada di seberang pintu 1 TPA Rawa Kucing.
Di lokasi terdapat satu mobil ambulans milik Puskesmas Kedaung Wetan. Para warga terlihat mengantre untuk mendapat pengobatan gratis dari petugas jaga. Satu per satu mereka mendapat pelayanan dari petugas jaga.
Sedikitnya ada 157 pemulung sudah memeriksakan kesehatannya terhitung Minggu hingga Rabu pukul 11 siang. Terbanyak pemulang menderita sakit Inpeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), namun belum ada yang dirujuk ke Rumah Sakit.
Selain posko kesehatan, di lokasi juga terdapat dua buah tenda ukuran besar. Kemudian 5 toilet, dua unit genset dan 1 tower berukuran besar. Para pengungsi lebih menghabiskan waktunya di tenda pengungsian. Sementara, anak-anak balita tampak ber-main dengan usia sebayanya.
Selama di pengungsian pemulung hanya makan mi instan setiap hari. Terlihat tumpukan kardus mi instan bagi pemulung yang ingin makan. Pemulung yang merasa kekurangan akhirnya berharap belas kasihan warga yang melintas dengan membuka sumbangan bagi korban kebakaran.
Salah seorang pemulung, Tarwan (51) mengatakan, dirinya sudah tinggal di TPA Rawa Kucing selama 20 tahun. Pria yang memiliki satu istri dan empat orang anak ini mengaku paling lama menjadi pemulung di TPA Rawa Kucing.
“Saya asalnya Cilacap. Awalnya saya merantau ke Jakarta, tapi hanya setengah tahun. Setelah itu baru ke Rawa Kucing sekitar tahun 1986,” kata Tarwan.
Tarwan mengungkapkan, dirinya satu keluarga memang mencari kehidupan dari sampah. Menurut dia, sampah sudah menjadi satu-satunya mata pencaharian bersama ratusan pemulung lainnya. Sedikitnya di Rawa Kucing terdapat 107 KK atau sekitar 500 orang.
“Saya berharap dapat diizinkan kembali mendirikan bangunan di TPA Rawa Kucing karena setelah terjadinya kebakaran kita tidak diijinkan untuk tinggal di situ lagi. Katanya udah gak dibolehin lagi karena Tanah Pemda. Saya mohon ada kebijaksanaan,” ujarnya.
Tarwan menjelaskan, kebakaran yang terjadi Sabtu (3/10) sekitar pukul 12.20 wib membuat semua gubuk pemulung hangus terbakar tanpa ada yang tersisa. Apabila tidak diijinkan, dia dan pemulung lainnya bingung tinggal dimana.
“Kalau tidak diperbolehkan di TPA, kami mohon bisa ditempatkan diluar, yang penting dekat dari TPA sehingga kami bisa mencari makan. Sampah dipungutin juga kan membantu pemerintah, karena sampah plastik bertahun-tahun juga tidak akan hilang bekasnya,” ungkapnya.
Telebih lagi, lanjut dia, kebakaran terjadi bukan dari gubuk tapi dari sampah. Tarwan menjelaskan, untuk kesehatan di posko ini memang terjamin. Makan dan minum sehari-hari juga mengandalkan bantuan dari yayasan/donatur. Pemulung kekurangan air untuk mandi, cuci dan kakus (MCK).
“Selain itu dua tenda juga tidak cukup, terpaksa ada yang tidur di makam cina. Ada yang di luar tenda hanya beralaskan terpal dan tikar,” tuturnya.
Hal yang sama dirasakan Udin (37). Pria asal Pandeglang ini sudah menjadi pemulung sekitar 15 tahun. Dia meminta ada perhatian dari pemerintah untuk diberikan tempat lagi di TPA karena disini satu-satunya mata pencaharian para pemulung.
“Waktu terjadi kebakaran tidak ada yang diselamatkan karena semua sedang mencari sampah,” katanya. Pria yang memiliki satu anak ini meminta untuk diijinkan kembali mendirikan gubuk di TPA.
“Permintaan kami tidak muluk-muluk, hanya minta diperbolehkan. Tapi kalau lebih dari itu saya sangat terima kasih. Karena kalau bukan tinggal disitu kami mau tinggal dimana lagi,” ujarnya. Dia menambahkan, selama menjadi pemulung penghasilannya tidak menentu, kalau lagi banyak dapat 50 ribu. Sampah sudah menjadi mata pencaharian pemulung disini, maka jangan sampai menambah pengangguran.(gatot/satelitnews)