TPS Jadi Tempat Pesta, Nyoblos Pilpres di Mogi das Cruzes Brasil
PEMUNGUTAN suara pemilu presiden (pilpres) bagi warga Indonesia yang tinggal di Brasil berlangsung Minggu (6/7). Salah satu tempat pemungutan suara adalah Mogi das Cruzes.
SEJATINYA tidak ada tempat pemungutan suara (TPS) resmi di Mogi das Cruzes. Namun, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Brasilia harus membuat bilik suara dadakan untuk pelaksanaan coblosan itu. Yakni, memanfaatkan sudut di ruang serbaguna di Gereja Cristo Injili.
Lantaran dadakan, tentu saja bilik suara itu juga apa adanya. Tidak seperti bilik suara umumnya. Hanya ada sebuah papan putih yang seolah-olah menjadi semacam bilik suara.
Juga, tidak ada panitia pemungutan suara (PPS) maupun perangkat pencoblosan yang lain, termasuk tinta penanda bahwa warga telah menggunakan haknya. ’’PPS’’ dipercayakan kepada perwakilan KBRI, Ilah Fadilah. Dia membawa puluhan amplop besar yang masih disegel untuk diberikan kepada warga yang berhak memilih. Isinya adalah surat suara.
’’Kami harus turun menemui warga untuk memastikan surat-surat suara ini sampai di tangan warga yang berhak mencoblos. Sekaligus menerima kembali surat suara yang sudah dicoblos. Sebab, pada 8-9 Juli nanti ada pertandingan yang memungkinkan kantor pos tidak beroperasi penuh. Karena itu, daripada dikirim via pos dan mungkin telat, kami turun menjemput bola,’’ terang Ilah kepada Wartawan Jawa Pos DHIMAS GINANJAR yang sedang meliput Piala Dunia.
Memang, selama Piala Dunia, ada beberapa kebiasaan baru bagi perkantoran di Brasil. Terutama bila Selecao –julukan tim Samba– bertanding. Kantor-kantor pemerintahan hanya buka setengah hari.
Nah, pertandingan semifinal Brasil melawan Jerman pada Selasa atau Rabu dini hari waktu Indonesia pasti menyedot perhatian warga. Apalagi dalam pertandingan penting itu Brasil harus bermain tanpa penyerang terbaiknya, Neymar, dan sang kapten, Thiago Silva.
Dukungan total warga Brasil itu membuat KBRI tidak mau berjudi. Mereka menemui langsung warga (Indonesia) agar bisa memastikan surat suara yang telah dicoblos segera dikembalikan ke KBRI. ’’Ini sebetulnya via pos. Tapi, kami harus jemput bola supaya lebih cepat,’’ imbuhnya.
Lantaran mendadak itulah, pemungutan suara berlangsung cepat. Warga yang telah mendapat amplop surat suara masuk ke ’’bilik suara’’ untuk mencoblos pasangan capres-cawapres pilihan masing-masing. Setelah itu, surat suara dimasukkan ke amplop putih yang baru, ditutup rapat, dan diserahkan kembali kepada Ilah Fadilah.
Dengan cara begitu, suara warga dijamin tidak akan hilang atau ketlisut. Sebab, setelah amplop diserahkan, Ilah langsung memasukkannya ke dalam tas hitam yang tidak pernah lepas dari tangannya. Setelah semua selesai mencoblos, tas tersebut ditutup rapat dan digembok.
’’Oleh panitia (PPS di KBRI), saya diberi gembok untuk menyegel tas ini,’’ kata Ilah.
Di Brasil terdapat 317 warga Indonesia yang memiliki hak suara dalam pilpres kali ini. Namun, di kawasan Mogi das Cruzes, hanya 40 orang yang bisa mencoblos. Surat-surat suara yang sudah dicoblos kemudian dikumpulkan ke KBRI di Brasilia untuk dihitung. Pengumpulan surat suara ditunggu hingga 10 Juli.
Selain sistem pemungutan ’’jemput bola’’, pengumpulan surat suara bisa menggunakan pos. Karena itu, PPS Brasil masih menoleransi pengiriman surat suara maksimal hingga 13 Juli nanti.
’’Kalau sampainya tanggal 14 Juli, sudah pasti tidak masuk penghitungan yang datanya kami kirim ke Indonesia,’’ jelas Ilah.
Suasana hari pemungutan suara di ruang serbaguna Gereja Cristo Injili, Minggu siang itu, berlangsung meriah. Maklum, warga Indonesia dari berbagai penjuru Mogi das Cruzes berdatangan. Pertemuan itu seolah menjadi ajang reuni bagi warga. Apalagi yang datang bukan hanya warga yang punya hak pilih, tapi juga keluarga masing-masing. Di Mogi das Cruzes, banyak warga Indonesia yang menikah dengan orang lokal Brasil.
Karena itu, tak heran bila kemudian ruangan tersebut berubah menjadi ruang pesta. Ada sejumlah makanan khas Indonesia yang disajikan sebagai jamuan. Mulai sup perkedel, goreng-gorengan, hingga nasi uduk. Aneka makanan itu boleh disantap sebelum atau sesudah mencoblos.
Suasana ala Indonesia pun sangat terasa. Apalagi pembicaraan menggunakan bahasa Indonesia. Selain kabar dan pekerjaan, mereka menanyakan kans masing-masing capres yang tampil. Tak tertinggal berita Piala Dunia. Pokoknya, siang itu yang tampak bukan pemungutan suara, melainkan pertemuan reuni keluarga.
Pastor Suadi Adiwardana yang memimpin Gereja Cristo Injili menyatakan, setiap ada pertemuan, warga Indonesia memang menggunakan bahasa Indonesia. Itu penting supaya mereka yang tinggal di Mogi das Cruzes tidak lupa asal mereka.
’’Jangan sampai lupa (bahasa Indonesia). Di sini juga ada pelayanan dalam bahasa Indonesia,’’ ujar pastor yang sudah 40 tahun tinggal di Brasil itu.
Suadi merupakan salah satu contoh warga Indonesia yang tidak memiliki hak suara. Rohaniwan asal Bogor itu kehilangan haknya karena sudah lama menjadi warga negara Brasil. Meski demikian, dia tetap memiliki harapan terhadap pemilihan umum presiden Indonesia kali ini.
’’Saya tidak terlalu mengikuti perkembangan di Indonesia. Biasanya hanya dari internet. Saya harap perkembangan tentang demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia bisa jadi lebih baik setelah ini,’’ katanya.
Titip pesan kepada presiden terpilih juga disampaikan Nyoman Budhiyasa. Pria 26 tahun yang sudah 14 tahun menetap di Brasil itu yakin pilpres kali ini bisa memberikan perubahan bagi Indonesia. Karena itu, setelah absen dalam pilpres sebelumnya, dia sekarang memutuskan untuk memberikan suara.
Sebagai generasi muda, Nyoman tidak mau asal memberikan suara. Melalui teman-temannya di Indonesia, dia berusaha mendalami latar belakang kedua pasangan calon. Dia pun yakin presiden pilihannya bakal menang.
’’Kalau menang, semoga dia bisa memberikan fasilitas kesehatan bagi rakyat. Yang nggak punya bisa mendapat perawatan juga,’’ tuturnya.
Berbeda halnya dengan Kim To, warga Indonesia yang sejak 2000 membuka usaha toko material bangunan di Brasil. Bagi dia, pilpres kali ini merupakan pemilu ketiga yang diikutinya di negeri orang. Dia berharap presiden baru nanti benar-benar bisa menjaga perbedaan di Indonesia.
’’Tidak boleh ada rasisme lagi. Tidak ada pilih kasih. Perbedaan agama, warna kulit, tidak boleh ada masalah. Sama seperti di Brasil, di sini sangat bagus untuk menjaga keragaman. Menghina sedikit sudah bisa masuk polisi,’’ ungkapnya.
Sementara itu, Deni Sutopo menyadari, meski dirinya ikut memberikan suara, kebijakan yang berdampak langsung kepada warga negara Indonesia di Brasil bisa jadi tidak terasa. Pria yang mengadu nasib di Brasil pasca kerusuhan 1998 itu mengaku senang kalau warga di Indonesia bisa lebih baik.
’’Harapannya, presiden baru nanti bisa bersih. Benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat. Layanan kesehatan gratis, demokrasi bisa jadi lebih baik,’’ ujar lulusan Universitas Bina Nusantara, Jakarta, itu. (*/c5/ari)