Sabu asal China Banjiri Jakarta
JAKARTA,SNOL Bukan hanya bus produk China yang banyak di Jakarta. Tetapi narkoba juga, terutama jenis sabu. Narkoba asal Negeri Tirai Bambu itu diduga mulai mendominasi pasaran barang haram di Indonesia, khususnya di Jakarta.
Badan Narkotika Nasional (BNN), kemarin (17/2), mengungkap salah satu sindikat asal Aceh yang menyelundupkan sabu sabu produk Guangzhou, China. “Sabu sabu asal Ghuangzhou memang lagi digemari. Menurut mereka (pemakai/pecandu narkoba) efeknya lebih hebat, lebih tahan lama, dan tidak membuat pusing,” ungkap Deputi Pemberantasan BNN Deddy Fauzi Elhakim.
Padahal sabu sabu asal Goangzhou harganya tiga kali lipat, lebih mahal di pasaran dibandingkan dengan sabu sabu biasa yang kebanyakan berasal dari Iran atau Afrika Barat. Sabu sabu asal Guangzhou juga terungkap dalam kasus penyelundupan sabu-sabu berjumlah besar oleh pihak Bea Cukai dan Polri.
Hal itu menunjukkan betapa gencarnya sabu sabu asal China itu masuk ke Indonesia. “Barang bukti yang kami sita tepatnya sebanyak 5.074,1 gram Jakarta memang tujuan utama daerah pemasaran sindikat asal Aceh ini. Selebihnya, ke kota-kota besar di Indonesia,” papar deddy.
Ia menjelaskan, kasus itu berdasarkan laporan mengenai penyelundupan narkoba dari Malaysia ke Aceh. Pihaknya pun bergerak cepat dengan membentuk tim untuk penyelidikan mendalam. Petugas BNN langsung berkoordinasi dengan pihak Dirjen Bea dan Cukai Medan. Pihak Kanwil DJBC Medan kata Deddy menyediakan kapal untuk BNN sebagai transportasi patroli terselubung di laut.
“Tim BNN mendapatkan informasi adanya rencana transaksi narkoba di sebuah kawasan Aceh Timur. Tim BNN langsung melakukan pantauan dan berhasil mengintai dua mobil yang sedang berhenti dan saling berhadap-hadapan di pinggir jalan kawasan Darul Aman Aceh,” ungkap Deddy.
Deddy mengatakan, seseorang dari mobil Mitsubishi Lancer (MS) menyerahkan tas kepada seorang pria yang berada di mobil Suzuki Swift. Petugas BNN yang telah mengintai segera mendekati kedua mobil tersebut. Saat itulah mobil disergap.
Karena panik, pria dari mobil Suzuki Swift (SB) melemparkan sebuah tas dan mengemudikan mobil dengan kencang, sementara pengemudi Lancer telah lebih dahulu melarikan diri. Aksi kejar-kejaran pun tidak terelakkan untuk menghentukan kedua mobil tersebut.
“Kedua pengendara mobil berhasil di bekuk dan tas yang dilempar berisi 5.0741,1 gram sabu sabu,” beber dia.
Selain SB dan MS petugas BNN juga mengamankan dua orang lainnya yang terlibat dalam sindikat narkoba Malaysia – Aceh yakni pria berinisial BA dan NA. NA merupakan orang yang ditugaskan mengambil narkoba dari Malaysia, sedangkan yang menyetorkan uang untuk membeli narkoba tersebut.
“Keempatnya merupakan Warga Negara Indonesia,” ujarnya. Dalam penyidikan lebih lanjut, jaringan asal Aceh tersebut dikendalikan oleh terpidana kasus narkoba di salah satu lapas di Indonesia.
Deddy enggan menyebut baik nama bos narkoba maupun nama lapas tersebut sebab masih dalam tahap pengembangan kasus. Namun dia merupakan sosok bandar narkoba kawakan, dan pemain lama. “Dari sini saja saya sudah bisa tahu bahwa sabu sabu ini berasal dari Guangzhou,” paparnya.
Sebab sang bandar narkoba yang masih dirahasiakan itu pernah terlibat langsung dalam sindikat narkoba Guangzhou, China. Kasus itulah yang akhirnya terbongkar oleh petugas. “Hasil pengembangan kasus dia tahun 2013 lalu kami informasikan ke polisi China. Ternyata polisi sana berhasil mengungkap kasus tiga ton sabu sabu yang diproduksi oleh clandestine industries (pabrik sabu sabu) di Guangzhou,” ujarnya.
Deddy mengakui, sindikat di Goangzhou memang memproduksi sabu-sabu besar-besaran. Kini Indonesia menjadi salah satu pasar utama untuk menjual barang haram tersebut karena tingginya permintaan. Seperti diketahui, prevalensi pengguna narkoba di Indonesia sekitar 4,2 juta.
Sebagai sasaran utama pasar penjualan narkoba, banyak modus yang dilakukan oleh para bandar besar untuk mengirimkan barang haram itu ke tanah air. Mulai dari menyamarkan lewat paket, ataupun yang harus menelan narkoba. “Sistem pengiriman narkoba saat ini bandar tidak mau banyak-banyak memasok barang ke Indonesia. Karena saat ini risiko tertangkapnya lebih besar,” kata Deddy.
Deddy menambahkan, dulu para bandar berani mengirimkan narkoba di atas 10 kilo gram. Tapi saat ini para bandar paling banyak mengirimkan 10 kilogram. “Tapi pengiriman itu disebar-sebar, jadi kalau tertangkap kerugian mereka tidak besar karena masih ada kemungkinan pengiriman yang lolos,” tuturnya.
Dengan sistem pengiriman yang sporadis tersebut membuat BNN harus lebih detail memantau peredaran narkoba. Pasalnya, dengan disebarnya pengiriman narkoba membutuhkan biaya yang tak sedikit. “Pengiriman dengan penyebaran itu menyita biaya kita,” tukas Deddy.(dni/jpnn)