Ini Alasan Lengkap MA Tetap Menghukum dr Ayu Cs

JAKARTA,SNOL dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, 35, atau dr Ayu beserta dua rekannya, dr Hendry Simanjuntak dan dr Hendy Siagian, dinyatakan bersalah karena tidak memiliki Surat Ijin Praktik (SIP) saat melakukan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban, Julia Fransiska Makatey yang menyebabkan Siska meninggal dunia.
Pertimbangan majelis hakim yang menangani kasasi dr Ayu tersebut disampaikan oleh pihak Mahkamah Agung (MA) usai didemo oleh ratusan dokter simpatisan dr Ayu cs, Rabu (27/11).
Kabiro Hukum dan Humas MA Ridwan Masykur menyatakan bahwa pertimbangan putusan vonis 10 bulan kurungan terhadap 3 dokter Rumah Sakit Umum (RSU) Prof Dr R. D. Kandouw Malalayang, Manado tersebut sudah dapat diakses masyarakat di direktori putusan MA.
Dalam  putusan Nomor 365 K/Pid/2012 tersebut, dr Ayu cs dinyatakan tidak mempunyai SIP dan juga tidak memiliki pelimpahan atau persetujuan untuk melakukan suatu tindakan kedokteran secara tertulis dari dokter spesialis. Namun mereka hanya memiliki sertifikat kompetensi saat menangani proses persalinan Siska.
“Sedangkan untuk melakukan tindakan praktir kedokteran termasuk operasi Cito, harus memiliki SIP kedokteran,” kata Ketua Majelis Artidjo Alkostar dalam lampiran putusan tersebut.
Tidak hanya itu, MA juga membeberkan pertimbangan hukum terkait adanya tindak pemalsuan dokumen dalam surat persetujuan tindakan khusus dan pembedahan yang dilakukan dr Ayu cs. Berdasarkan laporan yang diterima MA dari Laboratorium Forensik Cabang Makassar dan Laboraturium Kriminalistik pada 9 Juni 2010 lalu, telah ditemukan tanda tangan Sisca di dalam surat tersebut yang ternyata berbeda dengan tanda tangan yang tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik Siska.
“Menyatakan bahwa tanda tangan itu adalah tanda tangan karangan (spurious signature),” ungkap Artidjo.
Selain itu, MA juga menyatakan bahwa ketiganya terbukti kuat tidak menyampaikan informasi dan persetujuan kepada pihak keluarga Siska sebelum melakukan operasi tersebut pada 10 April 2010 silam.
“Para terdakwa tanpa menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan yang dapat terjadi terhadap diri korban,” ujar Artidjo dalam petikan amar putusan tersebut.
Tindakan penanganan yang dilakukan dr Ayu cs juga dianggap sebagai sebab meninggalnya Siska. Menurut pertimbangan majelis hakim, perbuatan mereka melakukan operasi terhadap Siska menyebabkan timbulnya emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung.
Dari sana kemudian menyebabkan terhambatnya aliran darah masuk ke paru-paru. Sehingga akhirnya dapat dipastikan terjadi kegagalan fungsi organ paru sekaligus fungsi jantung.
Informasi tersebut sesuai dengan keterangan yang diserahkan oleh pihak RSU Prof Dr R. D. Kandou Manado Nomor 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010 tanggal 26 April 2010. “Perbuatan para terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan meninggalnya Siska,” ucap dia.
Dengan berbagai macam tuduhan tersebut, MA menyoimpulkan bahwa dr Ayu cs telah melakuakan tindak pidana “perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain”. “Dengan pidana penjara masin-masing 10 bulan,” putusnya.
Vonis yang terbilang ringan tersebut dijatuhkan karena majelis hakim menimbang dua hal yang meringankan ketiganya, yaitu diketahui ternyata ketiganya masih menempuh pendidikan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis di Universitas Sam Ratulangi, Manado.
“Kedua, ketiganya belum pernah dihukum sebelumnya,” kata Artidjo.
Sementara itu, ditemui di ruang kerjanya, Artidjo mengatakan bahwa dr Ayu cs dipersilahkan untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) apabila keberatan dengan keputusan yang dibuat oleh MA. “Silakan mengajukan PK,” ujar hakim asal Situbondo tersebut.
Perlu diketahui, bahwa pihak dr Ayu cs telah mengajukan PK ke MA dengan identitas permohonan 79 PK/ PID/2013. Namun saat diminta konfirmasi terkait PK tersebut, Artidjo mengaku belum menerima berkas PK tersebut.
“Saya belum terima,” kata dia.
Masih terkait dengan prokontra putusan MA tersebut, Artidjo juga mengatakan bahwa semua profesi semisal dokter dan sebagainya wajib untuk menghormati hukum yang telah ditetapkan. “Jangankan dokter hakim pun tidak boleh, ada di atas hukum. Kok mau-maunya merasa di atas hukum,” ujar Artidjo.
Selain itu, dia juga melarang adanya arogansi terhadap profesi dalam menjalani kehidupan bernegara. “Oligarki namanya. Tidak ada konstitusi yang membenarkan itu. Kalau sudah memenuhi putusan ya tetap seperti itu,” tutupnya. (dod/jpnn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.