Inilah Modus Akil Mengeruk Harta dari Sebuah Perkara
Gagal Dapatkan Rp10 M, Tunda Pelantikan Bupati Banyuasin
SNOL. Lembaga peradilan negara sedang dihempas tsunami korupsi. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dibekuk KPK. Radar Bogor (Grup JPNN) berhasil mendapatkan kisah bagaimana modus Akil memainkan perkara sengketa Pemilukada Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel). Seperti apa permainannya?
———
Laporan: Tegar Bagja Anugrah/jpnn
———
Ba’da Magrib, sekitar pukul 18:20, di pekan pertama Juli (8/7). Teriakan gembira kubu Yan Anton Ferdian-SA Supriono, bupati terpilih Banyuasin, pecah di ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI. Mereka senang betul dengan keputusan Ketua MK, Akil Mochtar yang menolak permohonan pilkada ulang yang diajukan lima seterunya yakni, Agus Saputra-Sugeng; Hazuar Badui-Agus Sutikno; Arkoni-Nurmala Dewi; Askolani-Idasril; Slamet-Syamsuri.
Keputusan itu membuat Yan Anton Ferdian memimpin Banyuasin dalam lima tahun ke depan. Putusan sengketa Pilkada Banyuasin ini merupakan rangkaian akhir sidang perselisihan hasil pilkada yang dilaksanakan sejak pukul 16:16
Rangkaian sidang pengucapan putusan itu dimulai dari sengketa Pilkada Kabupaten Lumajang, berlanjut Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Empat Lawang.
Lepas sidang, kuasa hukum Yan Anton belum bisa bernapas lega. Mereka masih menimbun gelisah setelah mendapat ancaman dari seseorang yang mengaku orang dekat Akil. Ancaman itu kurang lebih berisi; “Meski menang di MK, Yan dijamin tak akan dilantik.”
“Jauh sebelum sidang dimulai, ada salah seorang yang mengaku orang dekat Ketua MK menelepon kuasa hukum termohon (Yan Anton). Dia meminta uang Rp10 miliar jika mau permintaan pilkada ulang ditolak,” ujar salah seorang advokat yang sudah malang melintang di MK kepada Radar Bogor, kemarin.
Advokat yang meminta namanya tidak disiarkan ke publik ini menjelaskan, si peminta uang ke pengacara Anton tersebut diduga berinisial ME. Dia bukan staf ataupun hakim MK. Namun, ME kerap terlihat ‘mengorbit’ di seputaran gedung MK. Sebagian orang mengenalnya dekat dengan Akil. Namun, menurut sumber Radar Bogor, ME sudah lama berperan sebagai perantara Akil. Dia sering menghubungi pihak-pihak yang sedang beperkara di MK.
Sejak mendapatkan tawaran dari ME, tim pengacara Anton tidak memberikan Rp10 miliar yang diminta. Mereka kira, ME hanyalah seorang penipu biasa. Ancamannya pun dilupakan begitu saja. Namun, sepekan setelah sidang putusan Anton dikejutkan dengan surat resmi MK kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Gubernur Sumsel, yang isinya meminta penundaan pelantikan. Surat berisi hal penetapan kepala daerah itu berkop Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor 137/PAN/MK/7/2013 tertanggal 16 Juni 2013.
“Tiba-tiba ada surat dari MK yang ditujukan kepada Gubernur Sumsel agar tidak dilantik terlebih dahulu karena masih ada masalah administratif. Sementara Gubernur Sumatera Selatan saat itu juga sebagai pemenang pilkada yang sedang digugat di MK,” paparnya. Suasana Banyuasin sempat panas dengan adanya permintaan penundaan pelantikan yang dilayangkan MK.
Orang yang berada dalam posisi dilema kala itu tiada lain; Gubernur Sumsel, Alex Noerdin. Sebagai kader Golkar, tidak semestinya Alex mendukung kebijakan MK untuk menunda pelantikan bupati yang notabene Ketua DPD Golkar Banyuasin tersebut.
“Nah, Alex sempat diancam perkaranya akan dikalahkan di MK kalau berani melantik bupati terpilih Banyuasin. Karena mendukung melantik, perkara Alex diputus dengan diulang beberapa wilayah. Walau akhirnya Alex menang dengan pemungutan suara ulang,” papar sumber.
Ketika dikonfirmasi via telepon, Bupati Yan Anton belum mau berkomentar soal hal ini. Namun, via SMS dia mengaku mengapresiasi aksi penangkapan Akil yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Semoga dengan kejadian ini MK dapat memperbaiki kinerjanya,” singkat Anton. Sedangkan Wakilnya, SA Supriono tak mau menjawab telepon dan SMS yang dikirimkan Radar Bogor.
Di lain pihak, Hakim Konstitusi Harjono mengakui adanya surat permintaan penundaan pelantikan Bupati Banyuasin. Namun, hakim yang juga sedang memimpin sengketa Pilkada Kabupaten Bogor ini menyatakan surat itu keluar secara ilegal. Sebab, surat tersebut keluar tanpa melalui rapat permusyawaratan hakim (RPH).
“(Surat itu) Tanpa dibawa ke rapat RPH. Yang mengirim surat adalah panitera, yang memerintahkan Pak Akil karena menurut Pak Akil ada beberapa persyaratan yang belum lengkap. Tidak dijelaskan apa,” ujar Harjono.
Atas surat ini, masyarakat lalu memberitahu MK. Secepat kilat, MK lalu menggelar rapat terbatas pada awal September 2013. “Dari rapat itu dikeluarkan surat pencabutan. Surat pencabutan itu untuk menanggapi surat yang dikirim Pak Akil,” tambah Harjono.
Dengan keluarnya surat pencabutan dari surat yang diterbitkan ‘sendiri’ oleh Akil, akhirnya Yan Anton Ferdian dan Suman Asra Supriono Anton-Suman pada 9 September 2013. Jauh sebelum ditangkap tangan KPK, kepada wartawan Sumatera Ekspres (Grup JPNN), Akil sempat memberikan konfirmasi atas kebijakannya mengeluarkan surat penundaan pelantikan Anton.
“Ini hanya urusan MK. Karena perkara tersebut kurang lengkap administrasinya,” ujar Akil beberapa waktu lalu. Entah apa arti kalimat ‘kurang lengkap administrasi’ yang dimaksud Akil saat itu. Mungkinkah uang sogokan Rp10 miliar yang belum sampai ke tangannya” Hanya Akil yang tahu…(*)