Apotek Markup Harga Obat Hingga 37 Persen

Seharusnya Diberlakukan Harga Jual sesuai Harga Netto
JAKARTA,SNOL Harga jual obat-obatan di apotek dicap sangat mahal. Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menyebut bahwa harga jual obat-obatan di apotek sudah digelembungkan atau mark up hingga 37 persen dari harga netto yang dikeluarkan pabrik.
Presiden IAI M. Dani Pratomo mengatakan, kondisi ini tidak biasa dibiarkan. “Apotek saat ini tidak menjalankan fungsi luhurnya, yakni fungsi kefarmasian. Tetapi dominan fungsi jual beli,” kata Dani dalam Kongres Kesehatan Rakyat Indonesia di Jakarta kemarin (19/8). Dari kecenderungan ini, dia menyebut pihak konsumen sangat dirugikan.
Dani menuturkan secara detail perjalanan penetapan harga obat sejak dari pabrik hingga di tangan konsumen. Dia menuturkan, pabrik menetapkan harga netto pabrik untuk produksi obat. Selanjutnya dari harga tersebut, keluar harga netto apotek. Harga ini adalah harga yang harus dikeluarkan oleh apotek untuk menebus obat dari produsen.
Nah setelah di apotek, harga obat dimainkan seenaknya sendiri. “Penggelembungan harga obat dari harga netto apotek ke harga jual konsumen umum, mencapai 37,5 persen,” tandasnya.
Dia mencontohkan untuk paket obat yang harganya Rp 1 juta, apotek mendapatkan keuntungan hingga Rp 375 ribu. Masyarakat atau konsumen obat tidak bisa berkutik, karena mereka membutuhkannya.
Dani mengatakan pihak apotek bisa mendapatkan keuntungan lebih gede lagi karena sering mendapatkan diskon untuk harga netto apotek. “Misalnya obat A, apotek harusnya membeli Rp 100 ribu dari pabrik. Tetapi karena persaingan bisnis obat, apotek dapat diskon dan dikenai harga Rp 75 ribu,” tandasnya.
Apotek yang nakal tidak menurunkan harga jual ke konsumen, meskipun dia mendapatkan diskon dari produsen atau pabrik obat. Kecenderungan apotek yang menggelembungkan harga obat setinggi-tingginya ini tidak hanya ada di apotek umum. Tetapi juga ada di apotek milik rumah sakit.
Dia menjelaskan bahwa pemerintah harus menjalankan regulasi yang sehat dan ketat untuk urusan penjualan obat di apotek. Dani mengatakan saat ini IAI sedang mengadvokasi penerbitan aturan baru untuk penjualan obat di apotek. Dia mengatakan idealnya apotek harus menjual obat ke masyarakat sesuai dengan harga netto apotek.
“Apotek tidak boleh mengeruk untung dari jual beli obat,” tandasnya. Meskipun begitu Dani mengatakan apotek tetap harus mendapatkan pemasukan uang karena mereka telah mengeluarkan uang investasi.
Sebagai gantinya, apotek melalui apoteker dibolehkan menarik jasa kefarmasian kepada masyarakat pembeli obat. Dia menghitung jasa kefarmasian yang wajar adalah Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu per transaksi obat-obatan. Dengan sistem ini, berapapun besarnya harga obat yang dibeli masyarakat, harganya riil sesuai dengan harga netto apotek.
“Meskipun obatnya memang mahal, tarif jasa farmasinya antara Rp 20 ribu dan Rp 30 ribu tadi,” katanya.
Gebrakan yang diusulkan oleh IAI ini mendapat respons positif dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ketua Umum Pengurus Besar IDI Zaenal Abidin menuturkan, harga obat sebagai komponen dari penanganan medis harus terjangkau.
“Harganya tidak boleh dimainkan,” tandasnya. Zaenal juga menuturkan pemerintah harus mengontrol harga obat, apalagi menjelang pemberlakuan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) per 1 Januari 2014 nanti. (wan/agm/jpnn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.