Ke Prancis Bersepeda Mengikuti Rute dan Kehebohan Tour de France 2012 (4)

Pakai Jersey Batik, Kebut-kebutan di Jalan Pedesaan
Setelah hancur mendaki dua puncak tinggi, program Tour de France seharusnya dapat jadwal santai. Setelah asyik nonton start etape di Pau, kami sempat kebut-kebutan melawan matahari musim panas Prancis.
Dua hari, dua puncak tinggi telah dihadapi rombongan Jawa Pos Cycling di Prancis. Rabu lalu (18/7) seharusnya jadi hari santai. Program awal: menikmati suasana dan menonton start etape 16 Tour de France 2012. Lalu, makan siang dan bersepeda mengelilingi desa-desa di sekitar Kota Pau.
Setelah menjajal Col de Marie-Blanque (1.035 m) dan Col d’Aubisque (1.709 m), kami sudah meminta dengan amat sangat kepada pemandu-pemandu kami agar rute berikutnya santai dan flat (datar).
Francois Bernard, salah satu pemandu kami, bilang oke. “Total sekitar 40 km, hanya mendaki sekitar 500 meter. Kurang lebih seperempat kemarin (Col d’Aubisque, Red),” ucapnya.
Hari itu, sebelum bersepeda, kami lebih dulu dapat jadwal istimewa. Berangkat pukul 08.30 dari hotel, kami menuju pusat Kota Pau. Di sana kami bisa merasakan atmosfer start etape 16 Tour de France 2012.
Dan etape itu merupakan yang paling berat. Panjang totalnya 197 km. Melintasi empat puncak terberat. Yang pertama adalah Col d’Aubisque, yang sehari sebelumnya dijajal rombongan Jawa Pos Cycling. Lalu, puncak yang lebih tinggi lagi, Col du Tourmalet (2.115 m).
Setelah itu, Col d’Aspin (1.489 m) dan Col de Pyresourde (1.569 m). Sebelum akhirnya finis di Bagneres-de-Luchon.
Start dijadwalkan berlangsung pukul 11.00. Kami sudah tiba sekitar pukul 09.00. Begitu tiba, kami langsung heboh bingung sendiri. Antara ingin foto-foto atau menyerbu stan-stan merchandise yang ada. Apalagi, karena ikut program resmi Tour de France, kami dapat fasilitas diskon 25 persen. Lumayan!
Foto-foto memang menarik. Sebab, sebelum start, suasana tidak tenang. Pukul 09.20, terlebih dulu dimulai karnaval para sponsor. Setiap partner pendukung menurunkan mobil/caravan hebohnya dengan staf yang siap melempar-lempar suvenir kepada para penonton di pinggir jalan. Seperti pawai kereta bunga, tapi bukan bunga.
Hadiahnya lumayan-lumayan. Bukan hanya yang kecil-kecil seperti gantungan kunci, tapi juga topi atau kaus-kaus tim yang bermerek.
Fotografer Jawa Pos Boy Slamet sempat dapat hoki lumayan waktu memotret suasana finis etape 15 di Pau Senin lalu (16/7). Dia dapat kaus tim Movistar merek Santini.
Karena itu balap sepeda di jalanan kota, tidak ada tiket yang harus dibayar. Siapa saja boleh datang dan dulu-duluan berdiri menonton di pinggir jalan.
Stan merchandise resmi Tour de France menawarkan banyak macam produk. Yang paling populer adalah bidon (botol minum) berlogo event 2012. Harganya relatif murah, 5 euro per buah. Replika yellow jersey, green jersey, dan polkadot merek Le Coq Sportif “sponsor resmi” juga tersedia. Harganya 75 euro per lembar.
Tapi, yang diburu tentu stan yang menyediakan merchandise resmi tim-tim World Tour. Tentu saja semua asli dan banyak variasinya yang tidak bisa ditemukan di Indonesia. Walaupun di stan itu tidak ada fasilitas diskon, tetap saja membuat orang bernafsu memborong.
Yang menarik, secara tidak resmi para penjaganya menjual sejumlah jersey yang ditandatangani pembalap. Ada yang terang-terangan, ada yang tidak.
Jersey asli (bukan replika) milik Frank Schleck dari tim RadioShack-Nissan dijual 600 euro (sekitar Rp 7 juta). Mahal karena ditandatangani sembilan pembalap tim. Termasuk Schleck, Fabian Cancellara, Jens Voigt, dan beberapa personel inti lain. Jersey replika RadioShack yang diteken Cancellara sendirian dijual 250 euro.
Yang dimaksud dijual diam-diam adalah di stan resmi Tour de France. Rupanya, ada petugasnya yang menyisihkan salah satu yellow jersey, lalu memburu tanda tangan beberapa bintang. Yang sempat ditawarkan kepada kami adalah yang ditandatangani para bintang tim Europcar.
Termasuk dua bintang utamanya, Thomas Voeckler dan Pierre Roland. Harga yang diminta? Sebesar 350 euro boleh ditawar.
Waktu itu kami agak kurang pengin, jadi tidak memburu. Eh, sore hari, ternyata jersey itu jadi menarik. Sebab, etape 16 itu dimenangi Voeckler!
Sebelum start, kami juga menonton proses sign in para pembalap. Kami jadi heboh sendiri ketika bintang-bintang utama naik ke panggung. Antara lain, Bradley Wiggins, Mark Cavendish, Cadel Evans, dan Peter Sagan.
Begitu etape dimulai, para penonton langsung berpulangan. Kami pun kembali ke parkiran van, bersiap untuk makan siang dan kemudian bersepeda lagi.
Makan siang kami lumayan seru. Bukan karena lokasinya di tepi danau indah, tapi karena kami makan pas saat televisi (Eurosport) menayangkan langsung etape 16 Tour de France 2012. Bahkan, pas saat para pembalap melintasi Col d’Aubisque, yang sehari sebelumnya telah menyiksa kami habis-habisan.
Kami jadi kagum terhadap para pembalap. Bayangkan, dalam waktu hanya satu jam, mereka sudah mencapai kaki Col d’Aubisque. Padahal, itu sekitar 50 km dari Pau!
Lebih kagum lagi ketika melihat mereka dengan mudah melahap dakian sepanjang 16 km menuju ketinggian 1.709 m tersebut.
Kami ingat bagaimana dakian itu sama sekali tidak memiliki permukaan datar. Selalu naik, rata-rata di atas 7 persen. Para pembalap mampu menuntaskannya dalam waktu tak sampai satu jam. Berarti, total tak sampai dua jam dari Pau. Kami Butuh waktu enam jam!
Saat menonton, kami heboh mengingat setiap tikungan yang mereka lewati.  “Kita disengat lebah di sana,” kata seorang anggota.
“Lho, itu spanduk yang kita lihat kemarin,” kata yang lain. “Di sana kita berhenti, istirahat,” sahut lainnya lagi.
Sepanjang 2 kilometer terakhir Col d’Aubisque, yang kami lintasi dengan kecepatan sangat rendah atau jalan kaki, justru dijadikan ajang adu sprint oleh para pembalap. “Edan. Masih bisa disprint. Mereka bukan manusia normal,” komentar Sony Hendarto, peserta dari Madiun. “Dari sini kita bisa menyimpulkan, kekuatan mereka itu sepuluh kali lebih hebat dari kita,” timpal Hengky ‘Dming’ Kantono dari Surabaya.
Kesimpulannya memang jelas: Para pembalap sepeda tingkat dunia itu memang manusia-manusia luar biasa. Benar bila salah satu majalah balap sepeda mengklaim sport itu sebagai yang paling berat di dunia!
Saya butuh 5 jam 53 menit untuk menempuh 50 km perjalanan menuju puncak Col d’Aubisque. Hari itu Thomas Voeckler hanya butuh 5 jam 35 menit untuk menyelesaikan etape sepanjang 197 km, yang terdiri atas empat gunung maut!
Bagi yang heran lihat tayangan balap sepeda di televisi, memang sulit untuk memberikan apresiasi terhadap kehebatan para atlet tersebut. Baru setelah merasakan sendiri rute dan membandingkannya dengan para bintang dunia, kita belajar untuk memberikan apresiasi yang jauh lebih tinggi kepada para atlet balap sepeda.
Selesai makan siang, jam sudah menunjukkan pukul 14.00. Kami butuh sekitar 30 menit lagi untuk menyiapkan sepeda dan lain-lain, untuk kembali putar-putar di kawasan Pyrenees. Khusus untuk hari “santai” itu, kami kompak pakai jersey bercorak batik. Rencananya ya itu tadi. Hanya sekitar 40 km dengan ketinggian maksimal 500 m.
Kenyataannya, recovery ride itu menjadi ajang penyiksaan lanjutan tur VIP Tour de France. Karena sudah siang menuju sore, matahari sedang terik-teriknya. Temperatur menunjukkan angka di atas 40 derajat Celsius. Angin pun terasa panas karena kami tidak di pegunungan.
Karena memang datang untuk bersepeda, kami dengan mantap menjalaninya. Rutenya menuju selatan Pau, lalu berputar ke barat sebelum kembali ke hotel di kota. Melewati jalan-jalan pedesaan yang bisa memberikan pemandangan indah.
Francois Bernard memandu kami sambil bersepeda. Martin Caujolle mengikuti dari belakang dengan naik van, siap memberikan support air minum atau mengangkut peserta yang menyerah.
Karena suhu sedang panas-panasnya, rute itu dijalani dengan amat berat. Apalagi, ternyata ada dua tanjakan cukup panjang yang harus kami lalui. “Aduh, tanjakan terus. Dibohongi kita ini,” celetuk seorang peserta.
Meski tanjakannya kembali bikin aduh-aduh, rute itu juga menyediakan jalan-jalan panjang datar dan turunan-turunan (descent) mengasyikkan. Setelah dua hari merambat pelan, senang juga bisa kebut-kebutan lagi.
Hanya, Bernard dan Caujolle sempat teriak-teriak keras karena beberapa peserta berkali-kali melanggar garis pemisah jalan. Itu sangat berbahaya. Sebab, bisa saja mobil dari arah berlawanan tidak melihat dan menabrak.
Beberapa kali peserta memang lupa bahwa di Prancis itu jalurnya ada di kanan (setir kiri). Jadi, ketika lupa, kami malah bersepeda di jalur kiri dan melawan arus.
Di turunan atau trek lurus, para peserta melaju sangat cepat. Kalau turun, banyak yang berani lewati angka 60 km/jam. Ketika lurus, angka 40 km/jam juga sering dilalui. Tidak ada “damai” di rute kemarin. Juga, semakin cepat kita melaju, semakin keras juga angin yang menerpa dan mendinginkan badan.
Sampai di hotel sekitar pukul 17.00, kami tak sempat menonton finis akhir etape 16 Tour de France. Tapi, kami mendapat kabar (dan kemudian bisa menonton tayangan ulangnya di televisi) bahwa Thomas Voeckler jadi pemenang.
Setelah itu, sebelum makan malam, kami duduk-duduk dulu, nongkrong di depan hotel. Terus, membicarakan betapa perjalanan tersebut benar-benar menyiksa!. Tapi, mengasyikkan!
Malamnya, rombongan pecah dua. Ada yang cari makanan Asia setelah berhari-hari dapat makanan Eropa. Saya dan beberapa orang memilih bersepeda lagi ke tengah kota, cari makan di sana. Sekalian keliling downtown, termasuk melintasi sirkuit jalanan tempat digelarnya balap Formula 3 setiap tahun.
Dan malam itu kami harus benar-benar beristirahat. Sebab, hari selanjutnya (Kamis, 19 Juli), punya tanda-tanda kembali jadi hari penyiksaan. Aduh, aduh, ke puncak gunung!. Tinggi, tinggi sekali!. (azrul ananda-bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.