Sepenggal Kisah Pilu Budi Waseso

Budi_Waseso_BNN

MASA-MASA suram pernah dialami Budi Waseso alias Buwas yang kini menjabat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN). Dia secara terbuka mau berbagi sepenggal kisah pilunya itu.

DANI TRI WAHYUDI

Jika tukang bubur naik haji itu terjadi di dalam film layar kaca. Tetapi tukang ojek menjadi jenderal bintang tiga itu terjadi di dunia nyata. Dialah Budi Waseso, sosok yang sempat dianggap kontroversial ketika menjabat sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri.

Belum genap sebulang kini ’Sang Jenderal’ mengomandani sebuah lembaga negara yang memimpin sektor penanggulangan narkotika di Tanah Air. Pencapaiannya itu benar-benar ditempuh dengan penuh perjuangan, menguras peluh, dan tak kenal gengsi.

”Saya pernah mengojek menggunakan motor Vespa tahun 70-an milik saya,” ungkap jenderal kelahiran Pati, Jawa Tengah, 19 Februari 1961 itu. Meski saat itu menyandang pangkat perwira, mengojek terpaksa dilakukan untuk menutupi kebutuhan hidup. Karena saat itu gaji Polri masih sangat minim.

Buwas mengojek selepas tugas ketika dirinya berdinas di Direktorat Pendidikan Polri. Tak banyak pundi-pundi yang diraih tapi cukup membantu menopang kebutuhan.

Dirinya bisa mendapatkan uang Rp 2 ribu dalam satu hari dari hasil mengojek. Uang tersebut hanya cukup untuk membeli makan siang dan membeli bahan bakar untuk kebutuhan dinas.

Saat itu, dia bertugas mengajar di lingkungan Pendidikan Polri dari satu tempat ke tempat lainnya.

Tidak hanya mengojek, Buwas ternyata juga sempat menjadi sopir taksi tembak. Selepas dinas, dia menarik taksi hanya hingga pukul 20.00. Di balik ceritanya itu Buwas rupanya ingin menanamkan nilai kejujuran dan tanggung jawab pada seluruh jajarannya.

Sebab baru-baru ini seorang oknum penyidik BNN berbuat hal yang memalukan. Yakni, tertangkap tangan petugas Polres Metro Tangerang dalam suatu kasus jaringan peredaran sabu-sabu. Dia mencontohkan dirinya sendiri sebagai aparat tak malu mencari rezeki tambahan dengan menjadi tukang ojek maupun sopir taksi tembak.

Asalkan rezeki yang didapatkannya halal dan caranya tidak menyimpang dari aturan yang mengikat sebagai aparat penegak hukum. Karena itulah, ketika disinggung mengenai adanya oknum aparat yang melindungi bisnis narkoba, dia dengan tegas mengatakan siapapun oknum yang berada di balik kejahatan narkoba harus ditindak dengan tegas.

”Jika dibiarkan akan jadi bencana. Peredaran narkoba semakin leluasa dijalankan para bandar,” ungkap lulusan Akademi Kepolisian tahun 1984 tersebut.

Buwas mengaku, setiap menjalankan tugas yang diemban tak pernah melakukan tindakan yang didasari pesanan atau tekanan. Semua yang dilakukan murni karena komitmen untuk menegakkan hukum.

”Perlu digarisbawahi, penegakkan hukum itu tak boleh tebang pilih alias pilih-pilih,” tegas mantan Kepala Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi Polri itu.

Terkait implementasi Undang-Undang Narkotika, dia memiliki tekad untuk melakukan evaluasi untuk menghitung kebijakan mana yang efektif mana yang tidak. Dirinya selalu mempertimbangkan, penegakkan hukum itu bisa membuat efek jera dan bisa merubah perilaku menjadi lebih baik.

”Semua hal harus dievaluasi agar langkah-langkah ke depan itu tepat. Jangan sampai ada aturan yang disalahgunakan. Jangan sampai ada bandar yang merangkap pengguna, nantinya berlindung seolah-olah di itu korban sehingga dapat rehabilitasi,” ujar juga mantan Kapolda Gorontalo itu lagi.

Kembali dengan kenangan masa lalu, kepemimpinan Buwas rupanya terinspirasi oleh sang ibunda tercinta. Dia mengingat betul, bagaimana perjuangan yang dilakukan oleh seorang ibu untuk membesarkan ketujuh buah hatinya.

Saat kecil, dia bersama dengan enam saudara kandung lainnya sering ditinggal tugas oleh sang ayah yang berprofesi sebagai tentara. Saat itulah ibu berperan besar dalam membina dan mendidik anak.

Tugas ibu untuk mendidik anak memang termasuk tugas yang tidak mudah. ”Enam di antaranya adalah anak laki-laki dan semuanya nakal,” ungkapnya mengenang.

Satu kenangan yang tak pernah terlupakan, ketika Buwas dan saudara kandungnya menyampaikan keinginan pada sang ibu untuk mencicipi sate. Karena saat itu tidak ada uang, sang ibu terpaksa menjual baju seragam cadangan tentara milik sang ayah untuk dibelikan tiga tusuk sate.

Sang ibu berusaha untuk membaginya dengan adil. Dari tiga tusuk sate yang hanya terdiri dari beberapa butir daging harus dibagi untuk ketujuh anaknya.

”Di tengah keprihatinan kami saat itu, ibu saya selalu berusaha sebisa mungkin untuk memenuhi kebutuhan putera-puterinya,” ujar Buwas sembari meneteskan air mata.(jpnn/*)

Tinggalkan Balasan

Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *