Sang Railwayman Penyuka Kehidupan Lapangan
« Heru Kuswanto, Dirut PT Railink »
TIGA nasihat Ki Hajar Dewantara, Menteri Pendidikan Pertama Republik Indonesia selalu membekas di pikiran Direktur Utama PT Railink Heru Kuswanto. Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.
Tiga kalimat sakti itulah yang selalu menjadi pegangan Heru ketika memimpin perusahaan patungan dua BUMN tersebut.
Perjalanan karier Heru di dunia perkeretaapian Indonesia cukup panjang. Dia memulainya dari titik terbawah. Ia menceritakan bahwa karirnya berawal ketika masuk PT Kereta Api Indonesia (KAI) sejak tahun 1992, lalu menjalani tugas belajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) hingga tahun 1999 dan baru mulai efektif bekerja penuh sejak tahun 2000.
“Kebanyakan perjalanan karir saya habis dalam penugasan di lapangan,” ungkap pria yang pernah menjadi Kepala Stasiun Besar itu.
Heru menjelaskan alasan dirinya banyak mendapatkan tugas di lapangan. Ketika teman-teman seangkatannya banyak memilih bertugas di kantor, ia meminta diijinkan kepada pimpinan saat itu untuk diperbolehkan berburu pengalaman di lapangan dengan bertugas menjadi pegawai front liner. Seperti train dispacher, kondektur, petugas loket, juru langsir dan lain.
“Ternyata pilihan saya tidak salah, di kemudian hari semua pengalaman lapangan tersebut sangat membantu saya dalam menjalankan amanah perusahaan untuk memimpin di berbagai posisi. Saya suka kehidupan di lapangan dan kalau boleh meminjam istilah Pak Jokowi, sebenarnya sejak dulu saya ini suka blusukan,” ungkap pria yang mengaku dirinya adalah hanya seorang seorang railwayman (petugas kereta api) ini. Bahkan saking cintanya akan tugas di lapangan, dirinya akan siap jika harus mendapatkan tugas dari perusahaan saat sedang libur.
Bekal di lapangan, coba diterapkan saat menjadi seorang pemimpin di PT Railink sejak 3 Februari 2015. Dengan bekal tersebut kini ia bisa memandang karyawan dari berpakai sudut pandang, mulai aspek manusiawi yang harus dipahami dan memaklumi hingga aspek pro-fesionalisme yang terkadang tak kenal toleransi bila terjadi failure atau kegagalan. Kuncinya pada keseimbangan dalam bersikap.
Seorang pemimpin di samping harus tahu, juga harus mau berbuat dan berani mengambil keputusan. Karena menurut Heru, seorang pemimpin harus berorientasi pada solusi meski kadang pahit dan tak populis. Pemimpin juga harus berani menanggung risiko meski tetap harus memitigasi risiko untuk mereduksi potensi kejadian negatif.
“Pemimpin juga harus berani tak disukai anak buah dan berani mengikuti nurani meski kadang dimarahi atasan lebih tinggi. Satu lagi persyaratan yang amat sulit namun kita harus terus mengupayakannya bahwa memimpin itu harus memberi leading by example (keteladanan),” paparnya.
Dalam menjalankan perusahaan tentunya tidak lepas dari permasalahan. Terlebih ketika menghadapi karyawan yang mempunyai latar belakang beragam. Untuk itu yang pertama harus dilakukan adalah mampu mencegah terjadinya human error. Karena menurutnya mencegah selalu akan lebih baik daripada mengobati. Bahkan bisa dikatakan tak ada pengobatan yang memiliki efek recovery benar-benar 100 persen
“Kita sebagai pemimpin harus memiliki kemampuan membaca karakter anggota tim kita. Kemampuan ini bisa kita peroleh dari belajar dari pengala-man, membaca track record anak buah maupun dari intuisi. Ini penting, dengan mengetahui karakter anak buah lebih awal maka kejadian negatif oleh karena human error bisa kita hindarkan/reduksi,” jelasnya.
Kedua, kalau sudah terjadi masalah maka harus di-manage dengan baik agar masalah tersebut bisa diatasi sebaik-baiknya dalam kondisi yang ada dan dicegah jangan sampai kejadian serupa.
“Saya pribadi lebih senang menerapkan punishment secara terukur dan seimbang. Kita bisa memulai dari pembinaan awal, ditingkatkan pada pengawasan, ditingkatkan dengan marah yang terarah dan ditingkatkan lagi menjadi memberikan hukuman yang membina,”terangnya.
Heru menyatakan, di tengah arus teori kepemimpinan yang banyak berdatangan dari luar negeri, dirinya malah terinspirasi teori kepemimpinan lokal dari Ki Hajar Dewantoro dengan istilah ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa dan tur wuri handayani.
Ia juga menerapkan teori “Mandi Kuda”. Bahwasanya pemimpin itu ibarat tukang memandikan kuda di sungai, bukan tukang memandikan kerbau atau pun tukang angon bebek. Menurutnya, kuda tidak akan turun ke sungai kalau pemiliknya juga tidak turun. Berbeda dengan kerbau atau tukang angon bebek yang hanya menyuruh saja.
Heru menuturkan, belum bisa bicara tentang capaian terbesar di PT Railink karena sedang berproses. Saat ini yang terlihat adalah menggiring perjanjian kerjasama Induk yang kondusif bagi tumbuh kembang Railink ke depan, menghadirkan training Neuro Linguistic Programming (NLP) bagi seluruh pegawai front liner dan efisiensi.
Saat ini Heru mempunyai obsesi jangka pendek sebagai orang Railink adalah mewujudkan Kereta Api Bandara Soekarno-Hatta Tangerang (BSH). Itu ibarat mimpi jadi kenyataan dan membuka kesempatan besar bagi PT Railink untuk tumbuh kembang menjadi besar. Sedangkan obsesi jangka panjangnya sebagai railwayman adalah mewujudkan perkeretaapian menjadi tulang punggung transportasi nasional.
Keberhasilan Heru memimpin perusahaan ini juga tidak lepas dari sosok yang paling berpengaruh terhadap karirnya. Sosok-sosok yang paling berpengaruh dalam mensikapi hidup adalah kedua orang tuanya. Dia bisa belajar bersyukur dan menjalani hidup dari kedua orang tuanya tersebut.
“Kalau sosok paling berpengaruh dalam berkorporasi adalah Pak Ignasius Jonan. Beliau adalah perpaduan antara kecerdasan (logika), nurani (hati), networking, keberanian, dan ketegasan,” pungkasnya. (uis/hendra/satelitnews)
Tinggalkan Balasan