Bagi Rendy Ahmad dan rekan-rekannya di Simponi, cara paling efektif memberantas korupsi adalah dengan menanamkan semangat antikorupsi di kalangan anak-anak muda. Rendy juga tak segan berorasi langsung di KPK.
“We are making a movement
We are not a silent generation
Share your wild imagination
We are building a revolution”
Rangkain kalimat di atas adalah penggalan lagu berjudul Vonis karya Rendy Ahmad dan grup Sindikat Musik Penghuni Bumi (Simponi). Itulah lagu yang mengantarkan Rendy dan Simponi menuju prestasi membanggakan pada 2 September lalu: runner-up di ajang kompetisi “Fair Play 2012: Anti Corruption Music Competition” di Belgia.
Membanggakan karena kompetisi itu diikuti 75 musisi dari 35 negara. Vonis hanya kalah oleh Youssra El Hawary, musisi asal Mesir. Posisi ketiga ditempati S3, musisi asal Kongo.
“Kemenangan Vonis adalah kemenangan kita bersama. Suatu saat nanti kita juga pasti menang melawan korupsi,” ujar Rendy ketika ditemui Jawa Pos di base camp Simponi, di Depok, Jawa Barat, Selasa lalu (11/9).
Rendy yang dilahirkan di Belitung, 24 Desember 1992, barangkali, mewakili kegelisahan dan kemuakan anak-anak muda melihat maraknya praktik korupsi di negeri ini. Sebuah kemuakan yang wajar.
Sebagai gambaran, berdasar indeks negara gagal yang dirilis Fund for Peace Juni lalu, Indonesia berada di posisi ke-63 dari 182 negara yang disurvei. Salah satu indikatornya adalah persepsi korupsi.
Itu artinya, tugas Indonesia masih sangat berat untuk memberantas kejahatan yang menjadi pemicu berbagai kemudaratan tersebut. Sebab, dalam bahasa Rendy, korupsi tak ubahnya jamur: dipotong muncul lagi, ditebas tumbuh lagi.
Musik pun akhirnya dia pilih sebagai jalur berekspresi untuk menyuarakan kegerahan terhadap segala bentuk rasuah. Kebetulan, Rendy memang sudah mantap memilih musik dan seni sebagai jalan hidup.
Gemar bermusik sejak duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA), anak sulung dari tiga bersaudara itu yakin dengan pilihan hidupnya tersebut ketika terpilih memerankan sosok Arai dalam film Sang Pemimpi, sekuel kedua dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang digarap Riri Riza.
Rendy pun tahu, bertahan di Belitung tak akan banyak membantunya mengepakkan sayap di dunia seni. Maka, seperti tokoh Arai di novel Sang Pemimpi, setelah lulus dari SMA Negeri 1 Manggar, Belitung, pada 2010, dia langsung merantau ke Jakarta.
Berbekal pengalaman aktingnya, Rendy kemudian berhasil mendapatkan peran di beberapa film, seperti Laskar Pelangi The Series, Semesta Mendukung, dan Jakarta Hati. Akting natural dan suara khasnya ketika menyanyikan lagu Fatwa Pujangga di film Sang Pemimpi juga menjadi jalan bagi Rendy untuk masuk ke dunia seni musik.
Nasib mempertemukannya dengan M. Berkah Gamulya, manajer sekaligus pentolan Simponi, pada Januari 2011. “Kami kebetulan butuh vokalis yang sekaligus bisa bermain gitar. Jadi, pas sekali ketika Rendy bergabung,” kata Gamulya.
Simponi adalah kumpulan musisi muda yang biasa berkumpul dan bermain musik di Taman Ayodya, Blok M, Jakarta Selatan. Jumlahnya lebih dari 20 orang. Rata-rata usianya di bawah 30 tahun. Dan, yang membanggakan, mereka sangat peduli akan isu-isu sosial.
Pada 28 Oktober 2010, memperingati 82 tahun Sumpah Pemuda, Simponi menghelat Rock N’ Green Tour di 82 sekolah di Jabodetabek, Bandung, dan Lampung selama 82 hari nonstop. Pentas musik yang mengusung tema bahaya pemanasan global, penghijauan, dan pendidikan itu kemudian masuk catatan Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri).
Semangat dan konsistensi mereka dalam mengusung isu-isu pendidikan dan lingkungan hidup juga diakui di mancanegara. Buktinya, Simponi dua kali terpilih mewakili Indonesia dalam ajang “Asia Pacific Environmental Youth Forum” di Korea Selatan pada Agustus 2011 dan Agustus 2012.
Tema yang diangkat Simponi kemudian mulai menyentuh isu antikorupsi.
Menurut Gumulya, itu hal yang tak terhindarkan. Selain karena pertemanan mereka dengan beberapa aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), sengkarut soal lingkungan, pendidikan, dan kesehatan pada akhirnya juga memiliki benang merah dengan korupsi.
“Misalnya, kerusakan lingkungan, penggundulan hutan, itu pasti ada unsur pejabat yang korupsi. Lalu, kalau ada orang miskin yang tidak bisa sekolah dan tidak bisa berobat, itu juga karena masih adanya korupsi,” jelasnya.
Dari sana pula ide lirik Vonis bermuara:
“Semua karna korupsi
Negeri kaya anak kurang gizi
Rakus pejabat politisi
Bangsa kaya anak tak sekolah”
“Pengusaha rakus hutan gundul
Bencana datang tak henti
Vonis hakim bisa dibeli
Koruptor dilindungi”
Oleh Rendy dan personel Simponi, lirik tersebut dibalut dengan irama yang nge-beat, diwarnai riff gitar yang ngerock. Vonis juga diperkaya sentuhan tradisional melalui irama lagu Jawa yang dinyanyikan seorang sinden.
Selain Vonis, Rendy dan Simponi memiliki satu lagu lagi bertema antikorupsi, yakni Cicak Buaya yang terinspirasi kasus perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia yang dikenal publik dengan istilah Cicak v Buaya.
Berbekal lagu-lagu yang dimiliki, Rendy bersama Simponi kemudian melakukan tur pentas musik antikorupsi di berbagai sekolah di Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, Brebes, Salatiga, Jogja, dan Solo. Total, lebih dari 1.500 siswa yang dilibatkan dalam pentas tersebut.
Tujuannya jelas: menyasar anak-anak muda. Sebab, jelas Rendy, cara paling efektif untuk mengikis korupsi di Indonesia adalah menanamkan semangat antikorupsi kepada mereka yang kelak memegang kendali negeri ini.
“Generasi muda harus dibentengi karena merekalah harapan kita. Karena itu, menyesakkan sekali ketika saya melihat politikus muda yang tadinya kita harapkan bisa menjadi pendobrak, kini justru tersangkut korupsi,” ujarnya berapi-api.
Selain lihai bernyanyi, Rendy memang piawai berorasi. Karena itu, di sela-sela konser, dia tak lupa mengampanyekan gerakan antikorupsi. Tidak jarang Rendy muncul di gedung KPK bersama para aktivis antikorupsi.
Di sana dia juga berorasi. Salah satunya ketika mendukung gerakan Koin untuk Pembangunan Gedung KPK. “Saya bersama Simponi memulai petisi www.change.org/saveKPK karena khawatir dengan masa depan perjuangan antikorupsi di Indonesia,” ujarnya.
Orasinya tersebut sempat dimuat di beberapa media massa beberapa waktu lalu.
Agar semangat antikorupsi yang terkandung di dalamnya kian luas menyebar, Vonis pun dibuatkan klip video yang digarap Dandhy D. Laksono bersama kru Wacthdoc. Klip itu mengontraskan generasi muda zaman prakemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Trimurti, Tan Malaka, dan lain-lain dengan politisi muda era kiwari semacam Angelina Sondakh, M. Nazaruddin, dan Gayus Tambunan. Kalau Soekarno dkk rela dibui demi memperjuangkan kemerdekaan, Gayus cs masuk penjara karena terjerat kasus korupsi.
Klip tersebut lantas diunggah ke YouTube per 21 Juli 2012. Hingga kemarin klip tersebut tercatat sudah ditonton lebih dari 5 ribu kali. Sambutan publik itu membuat Rendy dan Gamulya bungah. Apalagi, mereka juga mendapat banyak dukungan yang disampaikan melalui media sosial Facebook dan Twitter.
“Kemenangan ini hanya bonus, sebab kami bermusik bukan menjuarai kompetisi. Harapan terbesar kami adalah lagu ini bisa didengar masyarakat, pemerintah, anggota DPR, atau bahkan koruptor. Mudah-mudahan, teriakan kami yang masih muda-muda ini bisa membantu perjuangan gerakan antikorupsi,” ujar Gamulya.
Sebagai hadiah atas posisi runner-up yang mereka raih, JMI Foundation, World Bank Institute, dan the Global Youth Anti-Corruption Youth Network sebagai pemrakarsa ajang “Fair Play 2012: Anti Corruption Music Competition” mengundang Simponi dan dua pemenang lain untuk pentas secara live di Forum Voice Against Corruption dan Konferensi Antikorupsi Internasional di Kota Brasilia, Brasil, 10 November mendatang.
Sebenarnya, Gamulya ingin mengajak 11 anggota Simponi yang terlibat dalam lagu Vonis. Selain Rendy, ada Bunky Sofee, Fani Caster, Veny Irawan, Miralda Genny Sofee, Rama Prayudha Aruman, Denis Arwindra, Abuy Baksberry, Ipoer Sapto Poernomo, Imron Budiman, dan Hendra Yulfi. Sayang, panitia membatasi maksimal enam orang.
“Kami sudah menyiapkan kaus bergambar almarhum Munir. Kaus itu akan kami pakai saat pentas nanti. Ini bagian dari peringatan sewindu pembunuhan Munir, seorang pejuang keadilan dan kemanusiaan, dan gerakan antikorupsi adalah bagian dari perjuangan beliau,” ujar Gamulya. (*/c2/ttg)
Lilly Indrawati