Kampung Tanjung Burung Desa Kohod Kecamatan Pakuhaji Kabupaten Tangerang dikenal sebagai salahsatu kampung pengolahan rajungan produktif. Musim kemarau tidak membuat industri pengolahan rajungan ini merugi. Sebaliknya, mereka justru bisa meraup untung hingga Rp30 juta perbulan. Hasil olahannya pun diburu hingga negeri Paman Sam.
Saat wartawan koran ini menyambangi lokasi pengolahan rajungan, rumah industri itu terbilang sederhana. Luas bangunan produksinya hanya sekitar 5×13 meter. Konstruksi bangunannya pun terbuat dari bambu. Jumlah pekerja lepasnya sekitar 20 hingga 30 orang dan didominasi oleh kaum hawa.
Beberapa pekerja tampak sibuk melakukan pemotongan rajungan dengan peralatan seadanya.
Zaenudin, pria berusia 41 tahun ini adalah salahsatu pemilik rumah industri pengolahan rajungan tersebut. “Saya sudah merintis usaha ini mulai dari nol sejak 10 tahun silam. Awalnya, hasil olahan kami dipasok ke tiga pabrik. Dan kini dipasarkan ke manca negara, salahsatunya Amerika,” jelasnya kepada Satelit News.
Berdirinya usaha rajungan ini berawal dari rasa keprihatinan melihat warga di lingkungan sekitar rumahnya kesulitan mendapatkan pekerjaan, mengingat tingkat pendidikan mereka terbilang minim bahkan ada juga yang tanpa ijazah. Ada juga yang putus sekolah karena minimnya dana.
“Mereka kami rekrut untuk bekerja di rumah industri ini. Kerja disini tidak perlu pakai ijazah. Mereka kami latih untuk bekerja di mini plan atau cara pengolahan rajugan,” tandasnya.
Awalnya dia memulai bisnis pengolahan rajungan dari 50 kg bahan baku, namun semakin lama bahan baku yang diolah semakin banyak. Dia mengaku bangga bisa mempekerjakan warga sekitar. Terlebih bisnis ini pada Bulan Juni atau enam hingga Bulan Februari atau dua merupakan masa subur. Keuntungan dalam sebulan bisa mencapai sekitar Rp30 juta. “Musim kemarau atau hujan tidak berpengaruh pada produktifitas rajungan. Rajungan susah didapat pada Bulan Februari atau dua hingga Bulan Juni. Saya mendapat keuntungan mulai dari Rp200 ribu hingga Rp1 jutaan perhari,” katanya.
Ia membeli rajungan dari para nelayan dari pesisir pantai bekasi, Kronjo hingga pesisir Pantai Serang. Dalam sehari dia bisa membeli tiga bakul rajungan dari nelayan atau setara dengan berat 1 ton. Setelah diproses menjadi bahan jadi atau diambil dagingnya, berat tinggal 4 kwintal. Hasil olahan dijual ke tiga pabrik besar langgananya untuk dikemas dan diperiksa kelayakannya sesuai standar ekspor. Kebanyakan hasil produk olahan dijual ke Amerika, China dan sejumlah negara lain.
“Kadang saya juga membeli daging dari pengusaha pengolahan rajungan yang lebih kecil, ini untuk membantu mereka juga. Hasil olahan kami dikemas lebih dulu dengan plastik atau toples, kemudian kami jual ke pabrik. Harga pasarannya saat ini Rp140 ribu/kg, kami saat ini hanya mampu memproduksi maksimal 1 ton perhari,” katanya.
Jika musim rajungan sedang buruk, dia hanya bisa memproduksi bakulan antara 50 kg hingga 100 kg. Agar produksi bisa dibeli oleh pabrik maka harus memenuhi standar peroses pengolahan yang bersih dan baik. Dia sangat menekankan betul kebersihan dalam pengolahan, seperti cuci tangan sebelum mengolah rajungan.
Disisi lain, meski produksinya sudah sampai negeri Paman Sam, ia mengaku terkendala dengan permodalan. Ditambah lagi pabrik yang membeli biasanya baru bisa membayar setelah tiga hari kemudian disertai nota. Di kampung ini ada sekitar 10 tempat kerja atau produksi sejenis. “Kedepannya kami berharap ada perhatian dan bantuan dari pemerintah daerah setempat untuk mengembangkan usaha kami ini,” pungkasnya.(fajar aditya/jarkasih)
Pengolahan Rajungan di Desa Kohod, Diekspor ke Amerika
September 5th, 2012 Editorial-3