
Apriana Krisnawati, Perempuan Indonesia Pejuang Tenaga Kerja di Hongkong
Dalam seminggu, Apriana Krisnawati bisa tiga kali hadir dalam sidang membela hak para pekerja yang terabaikan. Padahal, dia baru belajar hukum dua tahun lalu.
Seorang perempuan dengan baju putih dan rok hitam datang di ruang kedatangan pelabuhan Hongkong kemarin (10/11). Dia tak berbeda jauh dari perempuan Hongkong. Kulitnya putih bersih dan tingginya pun mendekati 160 sentimeter. Dialah Apriana Krisnawati.
Perempuan asal Solo, Jawa Tengah, tersebut sudah delapan tahun tinggal di negeri bekas koloni Inggris itu. “Saya datang pada 2004. Awalnya hanya training dan seminar tenaga kerja di Hongkong. Setelah pindah di kantor baru pada 2010, saya mulai terlibat langsung dalam pembelaan tenaga kerja,” ungkapnya.
Perempuan berusia 36 tahun yang masih melajang itu tak pernah belajar hukum karena kuliah di Jurusan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Sebelas Maret (FISIP UNS). Setelah 2010 itulah, Ana, sapaan karibnya, baru mulai belajar hukum.
Kini dia pun sudah tak takut berdebat dengan polisi dan petugas pengadilan Hongkong. Itu semua dia lakukan. Seminggu tiga kali dia bisa hadir di persidangan. “Kasihan juga melihat mereka diperlakukan majikannya,” ungkapnya tentang nasib pekerja perempuan di Hongkong.
Para tenaga kerja yang dibantu itu tidak hanya berasal dari Indonesia, tapi semua tenaga kerja di Hongkong yang membutuhkan bantuan. “Mereka yang datang ke kami. Tapi, kebanyakan tenaga kerja Indonesia (TKI),” tambah anak kedua di antara tiga bersaudara tersebut.
Masalah yang dibantu adalah nonkriminal. Sebab, kalau kriminal, masalah sudah masuk dalam urusan konsulat. Kasus yang ditangani, terang dia, mayoritas berkaitan dengan majikan yang tak memberikan bayaran sesuai standar.
Saat ini, lanjut Ana, standar gaji tenaga kerja di Hongkong adalah 3.920 dolar Hongkong (1 dolar Hongkong = Rp 1.240). “Kalau kalah, majikan harus membayar sesuai tuntutan. Meski, setelah itu mereka tak lagi bekerja di majikan tersebut,” ujarnya.
Perempuan yang tengah menjalin asmara dengan seorang pilot warga negara asing itu mengakui bahwa adanya TKI (tenaga kerja Indonesia) yang teraniaya membuat dirinya bersemangat bekerja. Dia tak ingin saudara-saudaranya setanah air itu tertindas di Hongkong.
“Kalau bukan masalah itu, mungkin saya sudah pindah kerjaan yang lain. Sudah ada tawaran sih. Tapi, saya sangat cinta pekerjaan yang sekarang,” tutur alumnus SMA Negeri 2 Solo itu.
Menurut catatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, jumlah TKI di Hongkong saat ini mencapai 189 ribu orang, sedangkan di Taiwan 168 ribu orang. Umumnya TKI disukai karena mudah beradaptasi, terutama dengan bahasa lokal. Namun, secara jumlah, yang bekerja di dua negara ras kuning itu masih kalah oleh mereka yang bekerja di kawasan Timur Tengah.
Rata-rata para tenaga kerja Indonesia yang pernah dibantu Ana tak pernah melupakan jasa-jasanya. Hal itu terlihat, misalnya, ketika seorang TKI menyapa Ana saat bersama Jawa Pos di Ladies Market, Hongkong.
“Bahkan, ada yang pernah datang ke rumah. Ternyata, rumah dia di Baki, Sukoharjo (Jawa Tengah),” papar Ana. Rumah orang tua Ana berada di Pajang, Solo, yang berjarak sekitar 8 kilometer dari Baki.
Sebelum bergelut dengan pembelaan tenaga kerja di Hongkong, pada 2001-2002, Ana bekerja sebagai guru taman kanak-kanak (TK) di Solo. Pekerjaan itu dia lepas setelah ada tawaran bekerja di Jerman. “Wali murid TK nggerudug ke rumah saya. Mereka semua menangis meminta saya untuk bertahan jadi guru TK,” kenangnya.
Namun, tangisan wali murid itu tak melunturkan niatnya bekerja di mancanegara. Selama 2002–2003, Ana bekerja di pelayanan untuk anak-anak muda di Jerman.
Setelah itu, dia sempat kembali ke Solo dan bekerja. Tapi, itu pun tak bertahan lama. Pertengahan 2003, dia harus ke Cebu, Filipina, untuk menjalankan tugas yang sama. “Empat bulan saja di sana. Setelah itu, saya masuk ke Hongkong,” ujarnya.(siqiq p/c5/jpnn)