MANUFACTURING HOPE 73
BURON YANG MENGHASILKAN PANJA
Telah lahir: Panja Ketenagakerjaan BUMN di Komisi IX DPR RI. Itulah kesimpulan rapat kerja Komisi IX DPR dengan menteri tenaga kerja dan transmigrasi serta menteri BUMN tanggal 10 April lalu.
Saya senang dengan lahirnya panja itu. Dengan panja, pembahasan masalah ketenagakerjaan di BUMN akan sangat mendalam. Panja tentu akan mendengarkan banyak pihak yang pantas didengar: tokoh-tokoh serikat pekerja, manajemen BUMN yang rugi, BUMN kecil, BUMN besar, BUMN yang mempraktikkan sistem ketenagakerjaan yang baik dan yang kurang baik, serta banyak pihak lagi.
DPR, khususnya komisi IX, tentu lembaga yang sangat kritis yang bisa menyerap berbagai realitas di lapangan. Baik realitas tenaga kerja yang harus kian sejahtera maupun realitas perusahaan yang harus dijaga pertumbuhan dan sustainability-nya.
Saya sendiri menyesal sempat terlalu lama jadi “buron” komisi IX. Ternyata komisi itu sangat dinamis. Anggota-anggotanya mengesankan. Banyak dokternya (saya lupa bahwa komisi IX adalah komisi yang juga mengurus kesehatan), intelektualnya, dan begitu banyak wanitanya: cantik-cantik dan cerdas-cerdas.
Ada Wakil Ketua Nova Riyanti Yusuf yang dokter ahli kesehatan jiwa, ada Karolin Margret Natasa yang juga dokter, ada Chusnunia Chalim yang ustadah, dan banyak lagi. Dan jangan lupa ketuanya sendiri: Ribka Tjiptaning yang juga dokter. Bahkan, ada dokter Dinajani Mahdi yang bergelar profesor, doktor, dan enam gelar mentereng lain.
Tentu saya tahu apa yang harus dibahas hari itu: outsourcing atau alih daya. Ketika saya menjadi Dirut PLN, saya kaget: begitu banyak karyawan outsourcing-nya. Ke mana-mana, ke seluruh Indonesia, saya bertemu dan bergaul dengan mereka.
Saya tahu apa yang mereka alami: Gaji jauh lebih kecil (jika dibandingkan dengan karyawan tetap), tidak jelas berapa lama akan bekerja di situ (karena bisa saja tahun berikutnya kontraknya tidak diperpanjang), dan yang paling utama mereka merasa diperlakukan tidak adil: Mereka merasa bekerja lebih keras daripada karyawan tetap, tapi gajinya jauh lebih kecil.
Tahun pertama di PLN, saya sudah langsung bisa merumuskan tiga hal strategis itu. Saya merencanakan untuk dicarikan jalan keluar di tahun ketiga masa jabatan saya. Tahun pertama, saya harus memprioritaskan program mengatasi krisis listrik di seluruh Indonesia.
Tahun kedua, saya harus mengatasi daftar tunggu yang jumlahnya jutaan. Sampai-sampai harus dua kali melakukan program “sehari satu juta sambungan”. Itu sekaligus mengatasi problem percaloan yang sudah mendarah-mendaging. Tahun ketiga, rencana saya, menyelesaikan outsourcing dan melahirkan mobil listrik.
Tidak disangka-sangka saya harus meninggalkan PLN sebelum genap dua tahun menjabat Dirut. Saya harus menjadi menteri meski sudah berusaha untuk bisa tetap di PLN setahun lagi.
Waktu itu saya ingin ada perbaikan sistem tender untuk perusahaan alih daya. Jangan mempertandingkan harga murah, tapi kualitas pekerjaan. Bahkan, gaji minimal sudah harus dipersyaratkan dalam dokumen tender.
Saya juga selalu mengajak karyawan tetap untuk bekerja lebih keras. “Jangan sampai teman-teman outsourcing mengatakan karyawan tetap itu gajinya besar, tapi tidak mau kerja keras,” kata saya.
Kini dengan dibentuknya Panja Ketenagakerjaan BUMN oleh komisi IX, soal-soal itu akan bisa didalami lebih komprehensif. Sistem ketenagakerjaan di BUMN memang tidak seragam. Bergantung tiap-tiap BUMN. Apalagi, BUMN itu memang aneka ria: Bidang usahanya sangat luas. Industri bajanya tidak bisa disamakan dengan industri perbankan, penerbangan, perkebunan, dan seterusnya. Masing-masing mempunyai karakteristiknya sendiri.
Sambil menunggu hasil Panja Ketenagakerjaan Komisi IX DPR, semua BUMN harus menyiapkan perubahan-perubahan yang mungkin harus terjadi. Tentu tidak tahun ini. Sebab, sistem anggarannya sudah tidak memungkinkan untuk direvisi. Lebih baik dan lebih siap kalau disiapkan untuk dimulai tahun depan.
Semua persoalan, semua pengalaman, dan semua pemikiran harus disiapkan untuk kelancaran kerja panja komisi IX. Inilah tahun kerja keras para direktur SDM di tiap-tiap BUMN. Kalau perlu, kurangi sedikit fasilitas direksi untuk yang satu ini.
Tapi, saya juga bisa membayangkan sulitnya BUMN-BUMN kecil yang masih serbasulit. Jangankan memikirkan itu, karyawan tetapnya sendiri saja masih jauh dari sejahtera. Bahkan, ada BUMN yang baru tahun lalu bisa membayar karyawan tetapnya dengan gaji tetap.
Itulah realitas perusahaan: Yang besar sulit dengan kebesarannya, yang kecil sulit dengan kekecilannya, dan yang sulit kian sulit dengan kesulitannya.
Paling enak adalah orang yang bisa menikmati segala kesulitan itu.(*)
==========================================================================
MANUFACTURING HOPE 72
KULIAH TANAM PADI DI UNIVERSITAS SAWAH BARU
“Lapor Pak, hari ini tadi panen pertama.”
“Lho, kok cepat?” jawab saya.
“Kan sudah 102 hari,” jawab Dirut PT Sang Hyang Seri (Persero) Dr Upik Rosalina Wasrin.
“Kok saya tidak diundang?” tanya saya lagi.
“Kan baru coba-coba. Tidak sampai lima hektare,” jawab Upik lagi.
“Biarpun hanya lima hektare, kan bersejarah,” kata saya.
“Sebentar lagi kan panen yang lebih luas,” jawab alumnus IPB dan Universitas Paul Sabatier, Toulouse, Prancis, itu.
“Hasilnya berapa ton per hektare?” tanya saya lagi.
“5,25 ton, Pak,” jawabnya.
Begitulah. Sawah baru yang dibuka BUMN di Ketapang, Kalbar, sudah mulai panen. Sekarang pun tiap hari masih panen. Di sawah baru itu tiap hari memang dilakukan penanaman padi sehingga hampir tiap hari juga bisa panen.
Panen pertama ini adalah hasil penanaman yang dilakukan ramai-ramai oleh para direksi BUMN yang secara bersama-sama bertekad all-out membantu peningkatan produksi beras nasional.
Kini, di Ketapang, rata-rata setiap hari dilakukan penanaman padi 15 ha. Sampai minggu ini sudah lebih 500 ha sawah baru tercipta di sana. Sampai akhir Juni nanti sudah harus 1.000 ha. Begitulah terus-menerus dilakukan hingga akhirnya nanti mencapai 100.000 ha.
Banyak sekali suka-duka menciptakan sawah baru di Ketapang ini. Sejak awal, berbagai kesulitan itu memang sudah dibayangkan. Bahkan, Dirut PT SHS saat itu, Kaharuddin, menyatakan produksi pertama sawah baru itu nanti maksimal hanya 4 ton. Memang begitulah teorinya. Maka, ketika hasil panen pertama itu mencapai 5,25 ton, sawah baru ini memberikan hope yang baik.
Panen pertama itu pun dilakukan lima hari lebih cepat daripada seharusnya. Ada gelagat hama ulat grayak akan menyerang. Daripada dipanen ulat, pimpinan SHS di Ketapang, Kusmiyanto, memutuskan segera memanennya. “Waktu itu berminggu-minggu tidak ada hujan. Sawah mengering. Sungai di dekat situ lagi surut. Maka, muncullah ulat grayak,” ujar Kusmiyanto.
Munculnya hama ulat grayak memang sudah diperkirakan. Lahan yang selama ini dibiarkan tidak ditanami pasti dihuni berbagai renik beserta telurnya. Ketika dibuat sawah, pada dasarnya telur-telur itu masih ada di situ. Hanya, tidak bisa menetas karena tergenang air.
“Begitu berhari-hari tidak ada air, menetaslah,” ujar Kusmiyanto yang alumni Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang itu.
Pengalaman baru yang terbesar dari “universitas sawah baru” ini adalah dalam menata air. Bulan pertama pembukaan sawah baru seperti tidak ada persoalan. Pembukaan lahannya, pengolahan tanahnya, penanamannya, lancar-lancar saja. Maklum, waktu itu musim hujan.
Begitu tidak ada lagi hujan, ketahuanlah berbagai macam kekurangannya. Tata air untuk perencanaan 500 ha tentu beda dengan untuk perencanaan ribuan hektare. Di sinilah diskusi, solusi, dan action terus dilakukan.
Dari pengalaman bulan pertama dan kedua itulah penyempurnaan dilakukan. Hasilnya terlihat dari kian cepatnya pertambahan pencetakan sawah baru. Bulan pertama, satu hari rata-rata hanya bisa mencetak 7 ha sawah baru. Sekarang pencetakan dengan alat-alat modern itu sudah bisa 15 ha per hari. Tiga bulan lagi direncanakan bisa 50 ha per hari.
Kian lama kian banyak pelajaran yang bisa diambil. Saya sudah minta kepada Kusmiyanto untuk mendokumentasikan semua persoalan yang muncul, jalannya diskusi, dan penyelesaian masalah yang diambil. Semua itu akan menjadi dokumen penting untuk program pencetakan sawah baru di masa depan.
Penerapan berbagai teknologi pun dicoba di Ketapang. Berbagai jenis benih ditanam, diamati, dan dilihat perkembangannya. Demikian juga berbagai macam pupuk. Termasuk pupuk dan benih dari PT Batantekno (Persero) hasil kerja sama dengan Batan dan BPPT. Benih padi Si Genuk yang diradiasi nuklir juga segera dicoba seluas 10 ha di Ketapang. Digabung dengan pupuk cair hasil kerja sama mereka.
Si Genuk sudah dicoba di lahan SHS di Sukamandi, Jawa Barat, dan siap panen minggu ini. Di sini nama benih itu bermutasi menjadi Si Denok. Lahannya bersebelahan dengan lahan benih Ciherang. Secara kasat mata sudah terlihat beda.
Saya melihat perbedaan itu saat meninjaunya. Waktu itu, padinya mulai agak menguning. ”Yang Si Denok terlihat menggarehal,” ujar seorang staf PT SHS yang hanya bisa menggambarkannya dalam istilah Sunda.
Sawah baru di Ketapang itu direncanakan ditanami padi dua kali setahun. Setelah panen pertama itu, sawah tersebut akan ditanami padi lagi, tapi jenis gogo. Ini mengantisipasi kesulitan air di musim kemarau. Toh, hasilnya juga tidak banyak berbeda. Setelah gogo, barulah lahan akan ditanami jagung.
Sebenarnya, saya minta ditanami kedelai, sekalian untuk ikut mengatasi kekurangan kedelai, tapi tidak ada yang cukup pede melakukannya. Saya mengalah. Saya tahu kedelai memang jenis tanaman untuk iklim subtropis. Perlu persiapan khusus untuk ditanam di Ketapang.
Fokus pemikiran tim Ketapang saat ini masih bagaimana mencetak sawah baru yang sekalian harus bisa memecahkan segala hambatannya.
Sawah baru ini, kalau berhasil, akan memaksa PT SHS untuk berubah total. Sudah bertahun-tahun BUMN ini tidak memiliki landasan bisnis yang kuat. Bisnis utamanya menyediakan benih, tetapi kemampuan menyediakan benih sendiri tidak sampai 5 persen dari kebutuhan benih nasional.
Akibatnya, SHS harus bekerja sama dengan begitu banyak penangkar benih. Dengan segala permainannya. SHS tidak memiliki margin yang cukup untuk bisa mengembangkan dirinya menjadi tulang punggung penyedia benih unggul nasional. Bahkan, SHS terlibat pola gali lubang-tutup lubang yang lama-lama lebih dalam lubangnya daripada tutupnya.
Kini begitu banyak BUMN yang mendukung SHS menyukseskan pencetakan sawah baru itu. Bukan saja untuk kecukupan pangan nasional, tapi juga untuk masa depan SHS sendiri yang harus kukuh.
PT Pertani (Persero), BUMN bidang pertanian lainnya, juga tidak lebih kuat daripada SHS. Landasan bisnisnya juga rapuh. Gali lubang-tutup lubang, tumpang tindih pula.
Tahun ini PT Pertani baru mulai memiliki dasar bisnis yang nyata: spesialis di bidang pascapanen. Tidak akan tumpang-tindih dengan PT SHS dan Perum Bulog. Bahkan, ketiganya akan bisa bersinergi untuk secara tuntas membantu persoalan petani di segala lini.
Di hulu, BUMN membantu produksi beras melalui program “yarnen”, bayar kalau sudah panen. Petani yang tidak memiliki kemampuan mengadakan benih unggul dan pupuk dibantu BUMN. Agar hasil panennya lebih besar. Bantuan itu dikembalikan saat panen. Tahun ini program yarnen, bagian dari Gerakan Peningkatan Produksi Pertanian Berbasis Korporasi (GP3K) BUMN, harus mencapai 2,6 juta hektare.
Di hilir, ada Bulog yang menampung seberapa besar pun hasil panen. Tahun lalu Bulog sudah membuktikan diri mampu mencapai prestasi terbaiknya. Tahun ini Dirut Bulog Soetarto Alimuso bertekad untuk lebih baik lagi.
Hulu-hilirnya sudah mulai bergerak. Tapi, tengah-tengahnya masih bolong. Penanganan gabahnnya masih belum mendapat perhatian. Bagaimana petani harus merontokkan gabah, mengeringkan, dan menggilingnya, masih belum ada BUMN yang menerjuninya.
PT Pertani lah yang akan menjadi spesialis di tengah-tengah ini. Caranya: mengadakan mesin-mesin pengering gabah. Syaratnya: mesin itu tidak boleh menggunakan bahan bakar minyak. Tahun ini PT Pertani membangun 100 pabrik pengering dengan bahan bakar sekam padi.
Selama ini, memang sudah banyak mesin pengering gabah di Bulog, tapi semuanya menggunakan solar. Mahalnya bukan main. Akhirnya tragis: nganggur semua!(*)
=========================
MANUFACTURING HOPE 71
MEMBUAT PERTAMINA TAKM DIEJEK SEPANJANG MASA
HAMPIR saja saya merasa bahagia yang berkepanjangan. Yakni, ketika mengetahui bahwa laba PT Pertamina (Persero) berhasil mencapai Rp 25 triliun. Itulah laba terbesar dalam sejarah Pertamina. Juga laba terbesar di lingkungan BUMN. Bahkan, laba terbesar yang bisa dicapai sebuah perusahaan apa pun di Indonesia sepanjang 2012.
Saya pun minta agar Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengumumkannya. Agar capaian yang hebat itu bisa membuat masyarakat bangga pada Pertamina. Setidaknya bisa mengurangi ejekan sinis masyarakat kepada Pertamina. Maka, pada laporan keuangan kepada publik bulan lalu, disertakanlah judul ini: Pertamina berhasil memperoleh laba terbesar dalam sejarahnya.
Melalui Twitter (@iskan_dahlan) saya pun ikut membagi kebahagiaan itu. Tentu saya ingin memberikan penghargaan kepada jajaran Pertamina. Berita gembira itu juga saya manfaatkan untuk kampanye menumbuhkan harapan umum. Manufacturing hope. Yakni, bahwa perbaikan dan kerja keras yang dilakukan jajaran Pertamina sudah mulai memberikan hasil nyata. Ini berarti kalau perbaikan, efisiensi, dan kerja keras terus dilakukan, hasilnya akan lebih hebat lagi.
Saya ingin ada satu harapan untuk dunia Twitter, khususnya yang terkait dengan politik, yang terlalu didominasi pesimisme dan putus harapan. Pesimisme perorangan adalah hak, tapi pesimisme masal bisa membawa kehancuran.
Saya pun segera membayangkan bahwa masyarakat akan ikut bahagia mengikuti twit perkembangan terbaru di Pertamina itu. Dan, saya akan menggunakan kebahagiaan masyarakat tersebut untuk terus memacu kinerja manajemen Pertamina. Misalnya, lifting minyak yang harus naik untuk menjadikan Pertamina perusahaan minyak kelas regional.
Sekarang ini Pertamina baru bisa menghasilkan 500 ribu barel minyak per hari. Jauh dari kelas perusahaan minyak tingkat ASEAN sekali pun. Karena itu, tahun ini Pertamina membentuk Brigade 300K. Mereka terdiri atas anak-anak muda Pertamina yang umurnya maksimum 29 tahun.
Brigade ini bertugas menambah produksi minyak Pertamina 300 ribu barel lagi per hari. Inilah brigade yang akan membuat produksi total Pertamina menjadi 800 ribu barel. Target itu pun harus tercapai akhir tahun depan. Di dalamnya dihitung produksi energi geotermal yang disetarakan dengan minyak.
Tiap bulan saya mengikuti perkembangan Brigade 300K ini. Termasuk ikut mencarikan jalan keluar kalau terjadi hambatan di luar Pertamina. Misalnya, bagaimana Pertamina bisa menjual geotermalnya ke PLN dengan cepat. Kesepakatan pun segera dicapai: sembilan lokasi geotermal milik Pertamina yang skalanya besar-besar itu bisa segera dikerjakan.
Tapi, semua itu belum cukup. Harapan masyarakat terhadap Pertamina memang sangat besar. Pengumuman mengenai besarnya laba yang berhasil dicapai Pertamina itu, misalnya, ternyata belum bisa membahagiakan masyarakat. Mereka menginginkan Pertamina jauh lebih hebat. Mereka tidak mempersoalkan laba, omzet, dan sebangsanya. Masyarakat menginginkan Pertamina yang membanggakan.
Masyarakat ternyata langsung membandingkannya dengan Petronas, Malaysia.
“Laba Petronas Rp 160 triliun!” ujar follower Twitter saya.
Saya pun tersadar dari lamunan kebahagiaan. Terbangun. Kebahagiaan saya akan prestasi Pertamina itu ternyata hanya berlangsung kurang dari lima menit. Padahal, semula saya mengira kebahagiaan itu akan berlangsung setahun penuh. Lalu disambung dengan kebahagiaan berikutnya manakala melihat hasil kerja jajaran Pertamina 2013.
Ternyata hukum kebahagiaan tidak seperti itu. Bahagia itu bisa naik dan tiba-tiba bisa anjlok. Kebahagiaan saya itu langsung lenyap saat membaca twit pembandingan antara laba Pertamina dan laba Petronas.
Itu persis seperti kebahagiaan seorang pembina sepak bola di Indonesia. Setidaknya seperti yang saya alami selama memimpin Persebaya dulu. Begitu peluit panjang berbunyi dan Persebaya menang, bahagianya bukan main. Tapi, kebahagiaan itu hanya berlangsung sekitar lima menit. Begitu keluar dari garis lapangan, para wartawan langsung mengerubung dengan pertanyaan yang mengakhiri kebahagiaan itu: berapa juta bonus yang akan diberikan kepada setiap pemain. Maka, kebahagiaan pun langsung beralih ke bagaimana cara mendapatkan uang untuk membayar bonus saat itu juga.
Begitu pula soal kebahagiaan Pertamina ini. Begitu kicauan mengenai laba Petronas tersebut saya baca, hati saya langsung terbakar. Saya benar-benar gelisah. Pikiran saya dipenuhi pertanyaan ini: bagaimana cara mengejar Petronas. Sudah lama masyarakat tidak bisa menerima kalau Pertamina sampai kalah dari Petronas. Apalagi kalahnya telak.
Ketika berada di Rumah Sakit Tianjin untuk check-up rutin tahunan pekan lalu, saya memiliki waktu merenung lebih panjang. Saya utak-atik berbagai kemungkinan untuk bisa mengejar Petronas. Saya browsing di internet. Saya pelajari angka-angka. Kekalahan Pertamina atas Petronas itu ternyata sudah sangat lama. Sudah lebih 30 tahun. Grafiknya pun kian memburuk.
Tapi, apa yang bisa diperbuat? Sungguh tidak mudah menemukan jalannya. Padahal, soal kekalahan Pertamina ini sudah bukan lagi soal kekalahan sebuah perusahaan biasa. Ini sudah menyangkut harga diri negara dan bangsa. Ini sudah soal Merah Putih. Pertamina sudah menjadi lambang negara.
Di bidang sawit kita sudah bisa mengejar Malaysia. Garuda Indonesia sudah mengalahkan Malaysia Airlines. Semen dan pupuk kita sudah jauh di depannya. Di bidang pelabuhan kita sedang mengejarnya dengan proyek PT Indonesia Port Corporation (Pelindo II) yang insya Allah pasti bisa.
Tapi, kita belum bisa menemukan jalan untuk Pertamina. Program-program Pertamina yang ada sekarang memang ambisius, tapi baru bisa membuat Pertamina masuk ke jajaran perusahaan minyak kelas regional. Masih jauh dari prestasi Petronas.
Memang ada jalan pintas. Bahkan, sangat cepat. Semacam jalan tol di Jerman. Maksudnya, jalan tol yang tidak pakai bayar. Dengan jalan ini Pertamina bisa mengalahkan Petronas hanya dalam waktu empat tahun. Setidaknya bisa membuatnya sejajar dengan Petronas. Tapi, saat saya menulis naskah ini, di sebuah ruang check-up Rumah Sakit Tianjin, saya terpikir akan kesulitan-kesulitannya: “jalan tol” itu bukan milik Pertamina. “Jalan tol” itu milik perusahaan luar negeri yang akan habis izinnya pada 2017: Blok Mahakam.
Saya pun minta Dirut Pertamina Karen Agustiawan membuat kalkulasi ini: seandainya Blok Mahakam kembali sepenuhnya ke negara, dan negara menyerahkannya ke Pertamina, berapa laba Pertamina pada 2018? Dan tahun-tahun berikutnya?
Dengan cepat jawaban Karen masuk ke HP saya: Rp 171 triliun.
Saya tidak tergiur dengan angka itu. Saya lebih tergiur pada bayangan betapa bangganya kita memiliki Pertamina yang tidak lagi diejek-ejek sepanjang masa. (*)
=================================
MANUFACTURING HOPE 70
Bedol-bedolan untuk Rusun Kemayoran
SAYA ajak Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk mojok sebentar. Itu terjadi saat kami menunggu kedatangan Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan meresmikan dimulainya proyek terbesar dalam sejarah BUMN di bidang pelabuhan Jumat sore lalu.
Kami pun bisik-bisik agar tidak menarik perhatian orang sekitar. Di situ, di ruang tunggu direksi PT Indonesia Port Corporation, nama baru PT Pelindo II (Persero) Tanjung Priok, saya bisikkan ide tentang fungsi rumah susun untuk perbaikan perkampungan kumuh di Jakarta. Ide itu sebenarnya sudah saya pidatokan saat peletakan batu pertama pembangunan rumah susun Perumnas di Kemayoran sehari sebelumnya.
Sebelum upacara itu, saya mampir dulu ke rumah susun yang sudah lebih dulu berdiri di sebelahnya. Itulah dua tower rumah susun 18 lantai yang dibangun BUMN Perum Perumnas di awal pemerintahan SBY-JK.
Rusun itu awalnya dirancang sebagai awal dari program pembangunan 1.000 tower rumah susun di seluruh Indonesia. Tapi, pelaksanaannya tidak mulus. Perizinan yang waktu itu dijanjikan serba- Ferrari ternyata seperti Tucuxi. Berhenti sama sekali.
Namun, dengan semangat Jokowi yang berjanji memperlancar segala perizinan, saya minta Perumnas untuk kembali membangun tower-tower rumah susunnya. Kalau bisa, tekad saya, rumah susun Perumnas ini menjadi rumah susun pertama yang menjadi kenyataan di era Jokowi ini. Untuk membuktikan benarkah birokrasi di DKI sudah berubah.
Dalam kunjungan ke lantai 17 rumah susun Kemayoran itu, saya merasakan seperti berada di sebuah apartemen yang enak. Lokasi rumah susun tersebut sungguh istimewa. Pemandangan sisi utaranya adalah Laut Jawa yang biru. Pemandangan arah sebaliknya adalah lapangan golf yang indah.
Dalam hati, saya berkata: pantas penghuni rumah susun ini terlihat sangat sejahtera. Rupanya, yang masuk rumah susun di Kemayoran ini adalah mereka yang pendapatannya sudah relatif baik. Buktinya terlihat dari fasilitas yang mereka miliki di kamar masing-masing.
Saya pun berkesimpulan pola penghunian rumah susun seperti ini tidak akan bisa memperbaiki perkampungan Jakarta yang padat dan kumuh. Yang masuk rumah susun ini bukanlah mereka yang berasal dari perkampungan yang sangat miskin. Penghuni rumah susun seperti ini adalah mereka yang minimal sudah punya tabungan Rp 15 juta (untuk membayar uang muka).
Akibatnya, rumah susun bisa saja terus tumbuh, tapi perkampungan padat dan kumuh tidak bisa berkurang.
Inilah yang saya bisikkan ke Jokowi. “Ayo kita ubah cara berpikir seperti itu,” bisik saya. Caranya: rumah susun yang pemancangan tiang pertamanya saya lakukan Kamis lalu itu tidak lagi disiapkan untuk mereka yang mendaftar. Tapi untuk menampung “bedol RT” atau “bedol RW”.
Saya bisikkan: Kita cari satu atau dua RT daerah padat dan miskin. Kalau seluruh warga RT yang sangat miskin itu sepakat boyongan serentak bersama-sama ke rumah susun yang hebat itu, maka merekalah yang harus ditampung.
Mereka tidak perlu membayar uang muka (karena memang tidak akan punya). Namun, mereka harus menyerahkan lokasi satu atau dua RT tersebut ke BUMN. Di lokasi yang ditinggalkan tersebut (katakanlah luasnya satu atau dua hektare) dibangun rumah susun 18 lantai oleh BUMN.
Kalau rumah susun di lokasi bekas “bedol RT” tersebut sudah berdiri, kita cari lagi satu atau dua RT yang juga mau “bedol RT”. Di lokasi bekas “bedol RT” tersebut dibangun lagi rumah susun oleh BUMN. Begitu seterusnya. Bergulir tidak henti. Sampai tidak ada lagi RT atau RW kumuh di DKI.
Dengan demikian, rumah susun yang dibangun akan bisa ikut menyelesaikan masalah lingkungan kawasan kumuh.
“Setuju!” jawab Jokowi.
“Hanya Pak Jokowi yang bisa merayu warga untuk mau bedol RT. Saya tidak punya kewenangan,” kata saya.
“Saya yakin bisa. Banyak yang akan mau,” jawab Jokowi.
Begitulah. Hasil mojok kami berdua sangat konkret.
Sayang sekali rumah susun yang dibangun dengan mahal tidak bisa ikut memperbaiki lingkungan kumuh di Jakarta. Saya pun lantas minta kepada direksi Perumnas untuk melaksanakan ide ini. Tidak boleh lagi menjual rumah susun itu hanya kepada yang mampu membayar uang muka.
Rumah susun ini sungguh murah. Sebab, biayanya ditanggung oleh BUMN. Dalam waktu dua tahun, harga rumah susun ini sudah akan naik lima kali lipat di pasar bebas. Lokasinya begitu strategis. Bangunannya begitu bagus. Pemandangan sekitarnya begitu indah.
Tidak ada salahnya sekali-sekali warga yang sangat miskin mendapat haknya untuk berada di lingkungan yang lebih baik. Bahkan, kali ini biarlah golongan yang miskin itu yang akan mendapat gain yang amat besar itu.
Saya tahu bahwa ide seperti ini bisa saja akan mendapat penolakan dari jajaran internal Perumnas sendiri. Secara bisnis, ide seperti ini memang kurang menarik. Tapi, karena dana pembangunan rumah susun ini dari BUMN (bukan hanya dari Perumnas yang juga BUMN), maka saya minta kali ini berbeda.
Saya juga tahu, sebagian penolakan itu berlatar belakangan khusus: model “bedol RT” seperti itu tidak memberikan peluang untuk ngobyek.
Dirut Perum Perumnas Himawan Arief Sugoto saya minta untuk terus melakukan koordinasi dengan Pemprov DKI. Di atas kertas ide seperti ini kelihatannya mudah, tapi di lapangan bisa jadi seperti mbah-mbah.
Ada dua terobosan lagi yang saya jadikan pembicaraan saat mojok dengan Jokowi sore itu. Di bidang transportasi dan penanggulangan banjir. Dua-duanya disetujui dan akan kami laksanakan bersama secara cepat. Namun, rumah susun Kemayoran akan kami jadikan model dulu.
Saya ingin melihat apakah dalam tiga bulan nanti sudah bisa ditemukan satu atau dua RT yang mau “bedol” ke rumah susun Kemayoran.
Rumah susun itu akan terdiri atas dua tower. Saya sudah minta kontraktor BUMN, PT Hutama Karya, untuk menyelesaikannya dalam waktu sembilan bulan. Dirut Hutama Karya Tri Widjajanto Joedosastro sanggup. Ini berarti RT yang siap “bedol” ke rumah susun Kemayoran sudah harus ditemukan dalam waktu tiga bulan ke depan.
Saya tahu soal rumah susun menjadi salah satu janji kampanye Jokowi dulu. Untuk rumah susun yang sudah ada pun, masih banyak persoalan. Sayangnya, tidak banyak yang bisa dibantu oleh BUMN. Kecuali satu: keinginan Jokowi agar rumah susun bisa dialiri gas untuk dapur-dapur mereka.
Dirut BUMN yang menangani gas, PT PGN (Persero) Tbk, Hendi Priyo Santoso, sudah sanggup. Tentu, ada syaratnya, bahwa perizinan di bidang pembangunan jaringan pipa gas bisa dipermudah. Selama ini Hendi sering mengeluh sulitnya mendapatkan izin perluasan jaringan gas di Jakarta.
Kini, dengan permintaan Jokowi itu, tidak ada jalan lain kecuali jaringan pipa gas memang harus diperluas di Jakarta. Pak Jokowi pun menyanggupi percepatan perizinan itu.
Dan, rupanya, Jokowi betul-betul bergerak cepat. Dua hari setelah pembicaraan itu, justru staf Pemprov DKI yang menelepon Hendi untuk mengambil izin yang sudah bertahun-tahun nyangkut di sana.
Tentu, saya juga ingin tower pertama yang dibangun Perumnas di saat saya menjadi menteri BUMN tersebut ada plusnya. Misalnya, sejak saat dirancang sudah sekalian disiapkan jaringan internet ke seluruh kamarnya. Dengan demikian, masyarakat miskin yang menjadi penghuni rumah susun itu nanti bisa menyiapkan anak-anak mereka menjadi generasi baru yang akan memutus mata rantai kemiskinan mereka.
Itu tidak sulit. Begitulah cara Tiongkok menyiapkan rumah susun untuk masyarakat miskin mereka. Rumah susun tidak hanya dipergunakan untuk mengubah wajah perkampungan, tapi juga untuk memutus rantai kemiskinan dan ketertinggalan.
Saya ingat Jokowi pernah melakukan “bedol kaki lima” yang amat terkenal di Solo. Saya ingin tahu gaya kemeriahan Jokowi dalam melakukan “bedol RT” di Betawi! (*)
==================
MANUFACTURING HOPE 68
Tahun Dag-dig-dug Tidak Hanya untuk Politisi
MENINGGALNYA beberapa orang sakit yang tidak mendapatkan kamar di rumah sakit Jakarta menjadi salah satu topik diskusi dies natalis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia awal bulan ini.
Sejak diberlakukannya Kartu Jakarta Sehat (KJS), jumlah orang yang datang ke rumah
SAKIT memang meningkat tiga kali lipat. “Ibaratnya, digigit nyamuk pun sekarang masuk rumah sakit,” ujar seorang dokter di forum itu. “Akibatnya, yang sakit sungguhan tidak kebagian tempat,” tambahnya.
Saya mencatat seluruh pemikiran para dokter hari itu. Sebab, PT Askes (Persero) yang sekarang masih di bawah Kementerian BUMN harus bisa menyiapkan diri untuk menyambut era baru: Mulai 1 Januari 2014 keperluan kesehatan 86 juta orang miskin harus dilayani secara gratis. Pertanyaan besarnya: Siapkah Askes?
Dirut PT Askes yang baru, Dr dr Fachmi Idris, beserta seluruh jajarannya hari-hari ini berkonsentrasi penuh untuk mempersiapkan semua itu. Waktu tidak banyak lagi. Internal masih punya banyak masalah yang harus diselesaikan: bagaimana status pegawai Askes nanti setelah Askes bukan lagi BUMN, bagaimana jenjang karirnya, dan seterusnya.
Sambil memikirkan nasib diri sendiri itu, Askes harus memikirkan wujud pelayanannya nanti: bagaimana agar semua pemilik kartu sehat bisa terlayani, bagaimana agar rumah sakit bisa dibayar tepat waktu, bagaimana para dokter bisa tenang dalam bekerja.
Kesimpulan hari itu jelas: Kalau semua orang sakit diperbolehkan langsung masuk rumah sakit, akan banyak kasus orang meninggal dunia karena tidak kebagian kamar. Dan lagi, kata para dokter hari itu, tidak semua penyakit harus diatasi di rumah sakit. Banyak penyakit yang sudah bisa ditangani di tingkat puskesmas.
Bahkan, para dokter punya cita-cita yang besar: Banyak orang yang sebenarnya tidak perlu sakit kalau ada dokter yang khusus mencegah terjadinya penyakit di masyarakat.
Kalau pengaturan itu tidak jalan, bisa-bisa judul berita di sebuah surat kabar pekan lalu benar-benar akan terjadi: KJS membuat politisi dapat nama, membuat dokter kehilangan nama.
Untuk mencegah agar tidak semua orang sakit langsung datang ke rumah sakit, tidak ada jalan lain kecuali dikeluarkan aturan ini: Semua orang sakit harus ke puskesmas. Kecuali yang gawat darurat. Puskesmaslah yang akan menilai pasien tersebut cukup diobati di situ atau harus dirujuk ke rumah sakit.
Demikian pula sebaliknya. Rumah sakit hanya mau menerima pasien yang membawa surat pengantar dari puskesmas. Kecuali yang gawat darurat.
Direksi Askes sudah sepakat dengan gubernur DKI, Pak Jokowi, untuk melakukan uji coba sistem tersebut. Bulan depan sudah dimulai. Jakarta akan jadi pelopornya. Apalagi, puskesmas-puskesmas di Jakarta sudah cukup memadai.
Di Jakarta, puskesmas tidak hanya ada di tingkat kecamatan. Di satu kecamatan bisa ada lima puskesmas.
Setelah diskusi di FK UI itu, saya bersama Dr Fachmi Idris mengunjungi beberapa puskesmas di Jakarta. Juga melihat apa yang terjadi di salah satu rumah sakit di Jakarta yang sangat padat. Askes akan membangun sistem link online yang menghubungkan puskesmas dengan seluruh rumah sakit di Jakarta.
Pasien yang datang ke puskesmas dan harus dirujuk ke rumah sakit akan dirujuk secara online. Bahkan, di sistem itu sudah bisa dilacak di rumah sakit mana pasien tersebut harus ditangani. Di puskesmas itu bisa dilihat rumah sakit mana saja yang masih memiliki kamar yang kosong.
Dengan demikian, tidak terjadi pasien keliling dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain yang semuanya penuh.
Ada waktu sembilan bulan untuk mencoba sistem tersebut. Kesalahan dan kekeliruan bisa dikoreksi segera. Kalaupun sistem itu gagal, sudah harus diketahui sebelum 1 Januari 2014. Kita juga belum tahu seberapa masyarakat bisa menerima kalau diharuskan ke puskesmas dulu.
“Dalam praktik, ada pemegang KJS yang tidak dapat kamar, lalu bertanya apakah ada kamar VIP. Setelah diberi tahu betapa mahal kamar itu dan akan di luar pertanggungan KJS, pasien tersebut minta VIP dan mengatakan mampu membayarnya,” ujar seorang dokter di diskusi itu.
Salah satu puskesmas yang saya kunjungi hari itu, Puskesmas Gambir, sebenarnya sudah bukan seperti puskesmas yang saya kenal dulu. Besar dan lengkap. Hanya, tidak ada kamar untuk opname rawat inap.
Saya melongok toilet-toiletnya, juga cukup bersih. Lab untuk memeriksa darah pun ada. Merekam jantung juga ada. Klinik gigi juga lengkap. Bahkan sampai mampu merehabilitasi mantan pecandu narkoba. Lebih dari 100 mantan pecandu narkoba tiap hari datang ke situ untuk minum obat anti kecanduan.
Dokter Deuis Nurhayati, kepala Puskesmas Gambir, mengatakan siap menerima sistem online dengan rumah sakit. Juga siap bila ada aturan baru bahwa semua pasien di kawasan itu harus ke puskesmas dulu.
Coba kita monitor bersama bagaimana jalannya uji coba sistem baru di Jakarta itu. Kalau bisa jalan, sungguh keteraturan mulai bisa dilaksanakan di negara kita. Tentu masih harus dicari jalan lain untuk daerah yang puskesmasnya belum sebaik dan sebanyak di Jakarta. Tapi, direksi Askes juga akan melakukan uji coba yang sama di beberapa daerah.
Yang kelihatannya masih sulit adalah pelaksanaan cita-cita besar para dokter tersebut: mencegah orang sakit. Dana negara kelihatannya belum cukup. Jatah anggaran dari negara untuk meng-Askes-kan 86 juta orang itu baru sekitar Rp 15.000 per orang per bulan. Itu pun sudah menghabiskan anggaran negara sebesar Rp 1,29 triliun setahun.
Kalau anggaran itu bisa dinaikkan menjadi Rp 25.000 per orang per bulan, sudah bisa dirancang akan ada sejumlah dokter yang tugasnya terus-menerus mengunjungi 86 juta orang tersebut justru sebelum mereka sakit.
Dengan demikian, puskesmas tidak akan kelebihan beban dan rumah sakit juga tidak penuh dengan pasien. Uang yang harus dikeluarkan negara memang lebih besar. Tapi, karena sakit bisa dicegah, pemborosan nasionalnya justru bisa dikurangi.
Meskipun mungkin negara belum bisa memenuhi keinginan itu tahun ini, ide tersebut tidak boleh dikubur. Suatu saat nanti pasti bisa dilaksanakan.
Bagi politisi, tahun ini adalah tahun politik. Banyak politikus yang dag-dig-dug bisa masuk daftar caleg atau tidak. Bagi dokter, tahun ini adalah tahun mempersiapkan era baru sistem pelayanan kesehatan. Juga dag-dig-dug.
Dan bagi PT Askes, tahun ini adalah tahun kerja keras menyiapkan sistem baru. Tidak kalah dag-dig-dugnya.
Ada perekam jantung di Puskesmas Gambir untuk tiga-tiganya. (*)
=========================
MANUFACTURING HOPE 68
Kelas MBA Besar dari Mandiri-Ciputra
Saya terharu panjang pada Minggu lalu di Hongkong. Bahagia. Juga bangga. Dan ikut bergelora.
Lebih dari 500 tenaga kerja wanita (TKW) hari itu menyelesaikan pendidikan entrepreneurship tiga jenjang selama 18 minggu. Sebuah pendidikan yang metode dan pelaksanaannya dilakukan oleh Pusat Entrepreneurship Universitas Ciputra dengan dukungan pembiayaan penuh dari Bank Mandiri.
Mereka tidak hanya diberi pengetahuan bisnis, tapi “dan yang utama” juga dibangkitkan harga dirinya, dimunculkan kemampuan usahanya, dan dihidupkan rasa percaya dirinya.
Mereka juga terus dilatih menuliskan mimpi, mengemukakan mimpi, dan merencanakan untuk melaksanakan mimpi mereka. Mimpi itu harus ditulis dengan amat pendek, ditempel di dinding, dilihat sebelum tidur. Setiap hari. Dan boleh diubah.
Mereka juga dilatih mengemukakan ide dalam pidato tiga menit di depan umum. Di depan kelas. Tidak boleh lebih dari tiga menit. Saya setuju. Pengusaha harus berani bicara, pandai bicara, tapi tidak boleh banyak bicara.
Ketika menyaksikan mereka tampil dengan penuh percaya diri (ada yang bicara dalam bahasa Mandarin, Canton, dan sebagian lagi dalam bahasa Inggris), saya angkat topi kepada para TKW itu. Juga kepada para instruktur yang sudah berhasil membuat mereka berubah.
Antonius Tanan, rektor Universitas Ciputra Entrepreneurship Center, dan timnya rupanya tidak hanya telah mengajar, tapi lebih-lebih telah memotivasi mereka.
Antonius rupanya berhasil menemukan faktor utama untuk memotivasi mereka: keluarga. Semua wanita yang pergi ke Hongkong untuk menjadi TKW itu adalah mereka yang berjuang untuk keluarga.
Lebih dari dua pertiga yang ikut program itu berstatus ibu rumah tangga. Mereka meninggalkan anak yang masih kecil dan suami masing-masing. Hanya dorongan yang amat kuat untuk memperbaiki ekonomi keluargalah yang membuat mereka rela berpisah bertahun-tahun.
Tentu anak-anak mereka amat sedih karena tumbuh tanpa ibu. Anak-anak itu juga amat rindu pada kasih sayang ibunda. Kesedihan dan kerinduan anak-anak yang ditinggal di kampung itulah yang direkam dalam bentuk video dan diputar di depan kelas. Kelas bisnis itu hening. Lalu, terdengar isak tangis. Mereka menangis. Juga saya. Juga Dirut Bank Mandiri Zulkifli Zaini.
Tapi, di kelas itu Antonius tidak mau menimbulkan kesan bahwa mereka adalah ibu-ibu yang tega. Antonius lebih memberikan gambaran betapa sang ibu sebenarnya juga amat sedih meninggalkan anak-anak kecil mereka. Sang ibu meninggalkan anak-anak itu bukan karena tega, tapi justru demi anak itu sendiri. Demi masa depan mereka. Pendidikan mereka. Meninggalkan anak untuk anak itu sendiri.
Memang kenyataannya banyak ibu yang lantas bergantung pada penghasilan sebagai TKW. Selesai kontrak dua tahun, mereka balik lagi ke Hongkong dua tahun berikutnya. Berikutnya lagi. Begitu seterusnya hingga banyak yang sudah delapan tahun belum juga bisa kembali berkumpul dengan anak.
Bisnislah yang akan bisa membuat mereka kembali berkumpul dengan keluarga. Kerinduan akan keluarga itu harus jadi motivasi utama untuk memulai bisnis.
Ilmu diberikan. Cara disimulasikan. Jalan ditunjukkan. Tabungan ada. Kemampuan dimunculkan. Percaya diri sudah tinggi. Tekad sudah membaja.
Terutama tekad untuk kumpul keluarga.
Melihat semua itu, hari itu saya putuskan tidak jadi pidato. Tidak jadi mengajar. Pidato sudah tidak akan penting lagi. Mereka sudah begitu siap memulai bisnis di kampung masing-masing. Saya hanya menyampaikan keyakinan bahwa mereka bisa.
Dalam bisnis, yang paling sulit adalah memulainya. Sedang mereka sudah sangat siap memulai. Yang juga sulit adalah mengubah sikap dari seorang penganggur atau seorang pekerja menjadi seorang pengusaha. Sedang mereka sudah siap berubah.
Orang yang sulit berubah akan sulit jadi pengusaha. Padahal, mereka adalah orang-orang yang sudah membuktikan bahwa diri mereka pernah membuat perubahan besar dalam hidup masing-masing. Yakni, waktu mereka memutuskan berani meninggalkan kampung halaman untuk pergi ke Hongkong.
Itu adalah sebuah perubahan yang amat besar yang pernah mereka buat. Itu modal penting untuk perubahan berikutnya: dari pekerja ke calon juragan pekerja.
Waktu saya tamat madrasah aliyah (SMA) dan memutuskan meninggalkan kampung halaman di pelosok desa di Magetan untuk merantau ke Kaltim, itulah perubahan terbesar dalam hidup saya. Waktu memutuskan itu, rasanya dunia seperti mau kiamat. Gelap dan kalut. Putuslah semua akar kehidupan. Apalagi harus meninggalkan Aishah.
Padahal, para TKW itu tidak sekadar ke Kaltim yang hanya beda provinsi, melainkan ke negara orang lain dengan bahasa dan budaya yang amat berbeda.
Program Bank Mandiri itu sudah berlangsung tiga angkatan. Berarti sudah 1.500 TKW yang sudah dan siap berubah jadi pengusaha. Lulusan angkatan pertama yang kini sudah jadi pengusaha sapi perah dan resto lesehan di Purwokerto, Kartilah, ditampilkan sebagai role model. Dia juga membawa anaknya yang kini sudah SMA, yang dulu bertahun-tahun ditinggalkannya.
“Waktu saya kembali dari Hongkong, mengakhiri status sebagai TKW, saya tidak langsung pulang,” ujar Kartilah dengan gaya yang sudah benar-benar pengusaha. “Saya langsung ke pasar sapi. Beli sapi,” katanya.
“Kalau pulang dulu, bisa-bisa tertarik beli-beli yang lain dan gagal jadi pengusaha,” tambah Kartilah. Itu menandakan kuatnya motivasi untuk menjadi pengusaha.
Salah seorang peserta program itu, yang juga sudah siap berbisnis di Malang, punya permintaan ke Bank Mandiri: agar ada pendidikan serupa untuk para suami mereka di kampung. Dia khawatir usaha mereka tidak lancar hanya karena suami tidak mendukung.
Program Bank Mandiri tersebut sangat membanggakan. Begitu intensifnya program bisnis itu, sampai-sampai saya merasa tidak sedang di tengah-tengah TKW. Saya lebih merasa sedang dalam kelas MBA yang besar!
“Kami akan lanjutkan program ini,” ujar Zulkifli Zaini. Tepuk tangan bergemuruh.
Bank Mandiri, yang juga memiliki program besar Wirausaha Muda Mandiri untuk mahasiswa, akan terus diberkahi oleh Yang Mahakuasa. Kini labanya mencapai rekor terbesar dalam sejarah Bank Mandiri: Rp 15,5 triliun. (*)
==================================================================
MANUFACTURING HOPE 67
Problem Pedet di Lobi Hotel
HARGA jual pedet (anak sapi) Rp 5 juta per ekor. Untuk menghasilkan satu pedet, seorang peternak menghabiskan uang Rp 9 juta.
Jelaslah: Mana ada petani yang mau memproduksi pedet. Kalau toh di desa-desa kini masih ada orang yang memelihara sapi, itu karena mereka tidak menghitung biaya pakan dan biaya tenaga kerja.
Dua tahun lamanya menghasilkan satu pedet. Dua tahun lamanya petani bekerja mencari rumput serta menjaga dan memandikan sapi, hasilnya sebuah kerugian Rp 4 juta per pedet.
Itulah akar paling dalam mengapa kita kekurangan sapi dan akhirnya harus impor daging sapi setiap tahun. Kesimpulan itu saya peroleh ketika saya mengundang profesor dan ahli peternakan dari berbagai perguruan tinggi pekan lalu: UGM, Undip, Unsoed, Unhas, Universitas Jambi, dan Universitas Udayana. Juga pakar dari LIPI.
Di forum itu juga saya undang praktisi peternak sapi, lembaga-lembaga riset, dan pejabat Kementerian Pertanian.
Dengan kesimpulan itu, saya harus mengakui bahwa program yang saya canangkan tahun lalu belum menjadi senjata pamungkas untuk mengatasi kekurangan daging sapi. Tapi, tanpa program itu, saya tidak akan bisa belajar banyak mengenai inti persoalan selama ini.
Orang memang perlu kebentur tebing untuk bisa belajar yang mendasar. BUMN benar-benar kebentur tebing ketika mencanangkan program Sasa (sapi-sawit) tahun lalu.
Waktu itu saya setengah memaksa agar perusahaan-perusahaan perkebunan sawit milik BUMN ikut memelihara sapi. Membantu program Kementerian Pertanian. Saya minta setidaknya 100.000 sapi digemukkan di perkebunan sawit di Sumatera.
Selama ini, yang saya tahu, peternak sapi kurang bergairah karena harga pakan yang mahal. Problem makanan ternak yang mahal itu teratasi di perkebunan sawit karena sapi bisa diberi makan daun sawit. Gratis.
Setelah program Sasa itu mulai dijalankan, barulah ketahuan: Ada problem yang lebih mendasar. Sulit mencari pedet yang akan digemukkan di kebun-kebun sawit itu.
Semula saya mengira teman-teman BUMN perkebunan merasa setengah hati. Merasa dipaksa. Merasa diberi beban tambahan. Tapi, saya tidak peduli dengan perasaan itu. Yang jelas, saya kecewa, mengapa program 100.000 sapi itu hanya mencapai 20.000.
Tapi, saya harus realistis. Ternyata bukan karena mereka setengah hati. Ternyata karena tidak mudah mencari anak sapi. Membeli 100.000 pedet, biarpun punya uang, ibarat mencari penari gangnam di kalangan penari dangdut.
Bahkan, membeli hanya 20.000 pedet itu pun sudah dianggap mengguncangkan. Harga pasar pedet naik. Peternak kecil yang berbisnis penggemukan sapi merasa dirugikan.
Maka para ahli yang hadir dalam diskusi itu; di antaranya Prof Syamsuddin Hasan (Unhas); Prof Damriyasa (Udayana); Prof Priyo Bintoro dan Prof Sunarso (Undip); Prof Ali Agus (UGM); Dr Ahmad Shodiq (Unsoed); Dr Saitul Fakhri (Universitas Jambi); serta Dr Bess Tiesnamurti, Prof Syamsul Bahri, Prof Kusuma Dwiyanto, dan Ir Abu Bakar (keempatnya dari Kementan); sepakat minta BUMN tidak hanya fokus menggemukkan sapi, tapi juga memproduksi pedet.
Para praktisi peternakan sapi dari berbagai daerah yang hadir juga menyuarakan hal sama. Yang diharapkan bukan BUMN yang membeli pedet peternak, tapi peternak membeli pedet dari BUMN.
Memang juga banyak data yang dipersoalkan hari itu. Terutama data jumlah sapi yang selama ini dianggap benar: 14 juta. Kalau angka itu benar, mestinya impor daging tidak diperlukan lagi.
Demikian juga data produksi dan penyaluran sperma beku untuk perkawinan/pembuahan buatan. Kalau benar data yang terpublikasikan selama ini, mestinya tidak akan kekurangan pedet. Kalaupun perkawinan buatan itu hanya berhasil 60 persennya (teorinya sampai 80 persen), mestinya ada 1,5 juta pedet yang lahir setiap tahun.
Dari diskusi yang intensif tersebut, BUMN harus mau bekerja lebih keras, lebih njelimet, lebih mendasar, dan lebih susah: memproduksi pedet dari kebun-kebun sawit. Dengan menggunakan daun sawit yang gratis, biaya “membuat” satu pedet yang mestinya Rp 9 juta per ekor itu bisa ditekan menjadi Rp 4 juta per ekor.
BUMN juga harus lebih sabar. Kalau menggemukkan sapi sudah bisa menjualnya enam bulan kemudian, memproduksi pedet baru bisa menghasilkan setelah dua tahun.
Ternyata begitu sulit mengurus sapi. Lebih enak kalau tinggal makan dagingnya.
Lebih enak lagi kalau tanpa susah-susah bisa dapat komisi Rp 5.000 per kg daging yang diimpor!
Tidak perlu susah, tidak perlu mencium bau sapi, tidak perlu mencari rumput, tidak perlu mikir. Cukup dengan bekerja di lobi hotel dan di kamar hotel, hasilnya langsung nyata!
“Peternak lobi hotel” seperti itu akan terus tumbuh subur. Impor daging sangat menguntungkan. Harga daging di luar negeri sangat murah. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan pernah mengatakan, harga daging di Singapura hanya Rp 45.000 per kg. Bandingkan dengan harga di Jakarta yang Rp 90.000 per kg. Padahal, daging di Singapura itu juga daging impor.
Proses perizinan untuk suatu perdagangan yang menghasilkan laba yang begitu besar tentu tidak sehat. Karena itu, dalam diskusi tersebut kembali dibicarakan ide Dirut PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) Ismed Hasan Putro ini: Perusahaan yang diberi izin impor daging harus menggunakan sebagian labanya untuk memproduksi pedet di dalam negeri. Entah dengan impor pedet atau impor sapi betina produktif.
Atau dibalik: Perusahaan-perusahaan/koperasi /kelompok tani yang selama ini “berkorban” rugi Rp 4 juta per pedet itulah yang diberi izin untuk impor daging!
Setiap persoalan ada jalan keluarnya. Setiap masalah ada hikmahnya. Tapi, beternak sapi di lobi hotel jelas melanggar sunnatullah yang nyata! (*)
==========================
MANUFACTURING HOPE 66
Simpul-Simpul Terlalu yang Akan Berhadiah
PARA pimpinan PT Jasa Marga (Persero) Tbk belakangan harus memeras otak lebih keras. Dua tugas khusus amat mendesak untuk dicarikan jalan keluar: mengatasi kemacetan di jalan tol dan mengubah sistem pembayaran di pintu-pintu tol.
Begitu khususnya, sampai-sampai hampir seminggu sekali saya tagih kemajuannya.
Diinvestarisasi di titik mana saja kemacetan itu terjadi dengan parahnya. Ada dua jenis kemacetan. Yang bisa diselesaikan cepat dengan langkah yang sederhana dan yang harus melalui jalan yang panjang. Maka, fokus diberikan kepada yang bisa cepat-cepat dilakukan.
Misalnya, kemacetan di jalan layang Tomang dari arah Kebon Jeruk. Ternyata, banyak lubang di ketinggian yang sulit dijangkau itu. Aneh juga, di ketinggian seperti itu bisa banyak lubangnya. Akibatnya, semua kendaraan melakukan pengereman mendadak. Macet.
Sudah berbulan-bulan lubang-lubang tersebut tidak tertangani karena tidak adanya laporan. Malam itu juga, Kamis malam lalu, semua lubang tersebut ditutup.
Tapi, untuk mengatasi kemacetan yang parah dari arah Kebon Jeruk ke Tomang setiap pagi (dan sebaliknya setiap sore), persoalannya lebih rumit. Memang ada hope, tapi harus menunggu selesainya jalan tol ruas Ulujami–Kebon Jeruk. Jalan tol itu sudah selesai dibangun, kecuali yang 2,3 km yang tersendat oleh urusan tanah.
Saya akan menemui Pak Jokowi untuk minta bantuan beliau. Bukan saya tidak mau turun tangan, tapi urusannya memang hanya bisa diselesaikan oleh Pemprov DKI Jakarta. Apalagi, pemilik jalan tol Ulujami–Kebon Jeruk itu adalah perusahaan daerah DKI (40 persen) dan Jasa Marga (60 persen). Semoga gubernur baru bisa lebih bikin gol daripada pejabat sebe-lumnya.
Yang juga parah adalah sumbatan di Halim. Kendaraan yang semula mengalir deras, empat lajur dari arah Bekasi ke Semanggi, tiba-tiba menyempit tinggal satu lajur di Halim. Bisa dibayangkan betapa macetnya.
Semula dianggap tidak akan ditemukan jalan keluar untuk persoalan itu. Tidak mungkin menambah ruas di situ. Tidak ada lahan. Sebelah jalur tersebut sudah berupa jalan raya arteri yang lalu lintasnya juga padat. Tidak mungkin jalan arteri itu ditutup untuk perluasan jalan tol.
Tapi, sumbatan di Halim itu benar-benar ♫♫t.e.r.l.a.l.u!♫♫. Karena itu, saya minta terus dipikirkan. Sampai-sampai, sejumlah staf Jasa Marga hanya bertugas duduk di atas bukit kecil di dekat sumbatan itu berhari-hari. Untuk menemukan inspirasi cara apa yang bisa ditempuh.
Akhirnya ditemukan! Bukit di dekat tempat mencari inspirasi itu dikepras. Dibikinkan turap agar tidak longsor. Lalu dibuat jalan baru sepanjang 600 meter. Jalan baru itulah yang disiap-kan untuk menjadi jalan arteri pengganti. Sedangkan jalan arteri yang asli ’’diminta’’ untuk dijadikan lajur tambahan jalan tol.
Inspirasi itu langsung diwujudkan. Siang-malam pengeprasan bukit dan pembuatan jalan arteri dikerjakan. Dalam tiga bulan sudah jadi. Saya sangat menghargai kesigapan Jasa Marga di sini. Juga ide briliannya. Minggu lalu jalur baru tersebut sudah bisa digunakan.
Kini kendaraan dari empat lajur dari arah Bekasi yang semula menjadi satu lajur sudah bisa menjadi dua lajur. Agak lega. Sementara. Derasnya pertambahan kendaraan yang masuk jalan tol akan membuat kelegaan itu tidak akan lama.
Dari arah Cibubur menuju Semanggi juga menyebalkan. Tapi, hanya perubahan kecil yang bisa dilakukan: pemasangan rubber cone untuk mendisiplinkan kendaraan. Selama ini lajur kendaraan dari arah Cibubur menuju Semanggi sering ’’diserobot’’ truk dari arah Cibubur menuju Priok. Dengan pemasangan rubber cone baru itu (juga sudah berfungsi seminggu yang lalu), kesesakan menuju Semanggi berkurang.
Hanya berkurang. Tetap sesak napas tapi sudah berkurang. Sudah berkurang tapi tetap sesak napas. Bahkan, yang ke arah Priok justru lebih sesak.
Hope untuk jalur dari arah Cibubur itu baru datang setahun lagi. Menunggu berfungsinya jalan tol dari Kawasan Berikat Nusantara (KBN) ke Tanjung Priok. Jalan tol baru tersebut sekarang sedang dikerjakan. Pekerjaan lagi dikebut. Tapi, tetap tidak bisa seperti sulapan.
Tahun depan, kalau jalan tol KBN–Priok itu selesai, truk-truk dari arah Cibubur tidak boleh lagi melewati Cawang. Kendaraan-kendaraan besar tersebut dari arah Cibubur harus belok ke Cikunir menuju jalan tol baru itu.
Kalau Anda ke Priok dan melihat pekerjaan jalan tol dengan tiang-tiang penyangga yang amat tinggi, itulah jalan yang saya maksud. ’’Ini bisa mengurangi arus kendaraan dari Cibubur menuju Cawang sampai 30 persen,’’ kata Adityawarman, Dirut Jasa Marga.
Titik menyesakkan lain yang juga sulit ditemukan hope-nya adalah kemacetan dari arah Cawang menuju Kuningan. Saya tagih terus. Kapan ide brilian di ruas itu bisa ditemukan.
’’Sebetulnya ada ide yang cespleng,’’ ujar Adityawarman, orang Palembang yang suka bicara bahasa Jawa tersebut. Apa itu” ’’Pintu masuk tol di dekat Bukopin (dari arah Cawang) itu ditutup,’’ ungkapnya.
Jalan tolnya pasti bisa lebih longgar, tapi jalan arterinya akan kian padat. Persoalannya bukan di situ. Menutup pintu tol harus izin sampai ke tingkat presiden. Dan lagi, masyarakat sekitar Cawang yang ingin masuk tol menjadi harus sabar sampai setelah Kuningan.
Saya minta, ide itu jangan dimatikan. Kalau memang tidak ada lagi ide yang lebih brilian, apa salahnya kalau izin penutupan tersebut diurus. Tapi, memang harus dipertimbangkan baik-baik. Kalau perlu libatkan masyarakat. Bahkan, Jasa Marga boleh saja mengadakan lomba terbuka. Siapa pun yang bisa menyumbangkan ide brilian untuk penyelesaian kemacetan itu akan diberi hadiah yang besar. Khusus untuk jalan tol. Bukan jalan umum. Jalan umum di luar wewenang BUMN.
Kita menyadari, tiap titik kemacetan memerlukan ide segar. Satu orang bisa saja menyumbangkan ide untuk mengatasi kemacetan di beberapa titik sekaligus. Jasa Marga menyediakan hadiah. Tiap satu ide yang bisa diterapkan akan mendapat hadiah Rp 100 juta.
Sekali lagi, syaratnya, bisa dilaksanakan. Bukan ide yang tidak bisa dilaksanakan. Harus sekelas ide di Halim tadi. Tunggu pengumumannya dari Jasa Marga.
Intinya, sesulit apa pun persoalan kita, kita tidak boleh menyerah. Termasuk, kesulitan memperbaiki sistem di gerbang tol. Setelah enam bulan tidak henti-hentinya saya tagih, akhirnya ditemukan sistem perbaikan itu.
Tanggal 6 Maret bulan depan, sistem pass-through yang benar-benar pass-through mulai difungsikan. Di tiga gerbang tol ke arah Cengkareng dulu. Yang lain-lain menyusul.
Selama ini, pemilik mobil yang sudah memasang alat pass-through pun tetap harus menghentikan mobilnya di pintu tol. Menunggu bunyi ’’tiiiiiit…’’. Baru palang pintunya membuka.
Padahal, di negara-negara lain, yang namanya pass-through, ya tidak perlu mobilnya berhenti dulu! Ini yang beberapa kali saya nilai sebagai sistem yang primitif.
Mengatasinya ternyata tidak sederhana. Itu karena menyangkut kontrak antara dua perusahaan. Untung dua-duanya BUMN: Jasa Marga dan Bank Mandiri. Maka, saya tugaskan pejabat tinggi Kementerian BUMN, Dr Ir Irnanda Laksanawan, untuk mengoordinasikan dan mencarikan terobosan.
Irnanda lantas melibatkan BUMN yang lain, PT Telkom dan PT LEN Industri. Berhasil. Setelah pemasangan di tiga titik tanggal 6 Maret nanti, akan terus dilakukan langkah yang sama di pintu-pintu tol yang lain. Dengan demikian, kita tidak malu lagi: masak membuat pintu tol seperti di luar negeri saja tidak bisa.
Memang masih ada persoalan: harga alat yang harus dipasang di dalam mobil itu masih terlalu mahal (menurut banyak orang): Rp 650.000. Akibatnya, masih sedikit kendaraan yang mau memasang peralatan pass-through. Itulah yang saya minta untuk dicarikan jalan keluarnya. Salah satunya dengan cara memproduksinya di dalam negeri. PT LEN sudah sanggup mengerjakannya. Alhamdulillah.
Dan saya tidak perlu lagi melempar kursi. (*)
MANUFACTURING HOPE 65
Membersihkan Gorong-Gorong Buntu di Otak
SAMBIL mengambil pisau bedah, Dokter Terawan mulai menyanyikan lagu kesukaannya, “ Di Doa Ibuku”. Suaranya pelan, tapi sudah memenuhi ruang operasi itu.
Saya berbaring di depannya, di sebuah ruang operasi di RSPAD Gatot Subroto Jakarta, Jumat pagi lalu. Peralatan operasi sudah disiapkan dengan rapi. Para perawat juga sudah berada di posisi masing-masing.
Sebenarnya saya tidak dalam keadaan sakit. Juga tidak punya keluhan apa pun. Hanya, saya memang sudah lama ingin melakukan ini: cuci otak. Sejak masih jadi direktur utama Perusahaan Listrik Negara dulu. Ke-inginan itu tertunda terus oleh kesibukan yang padat, terutama setelah menjadi menteri BUMN. Bahkan, keinginan untuk coba-coba melakukan stem cell pun tertunda sampai sekarang.
Mencoba merasakan cuci otak ini bisa dianggap penting, bisa juga tidak. Saya ingin mencobanya karena ini merupakan metode baru untuk membersihkan saluran-saluran darah di otak. Agar terhindar dari bahaya stroke atau perdarahan di otak. Dua bencana itu biasanya datang tiba-tiba. Kadang tanpa gejala apa-apa. Dan bisa menimpa siapa saja.
Saya tahu, metode cuci otak Dokter Terawan ini masih kontroversial. Pendapat kalangan dokter masih terbelah. Masih banyak dokter yang belum bisa menerimanya sebagai bagian dari medical treatment.
Pengobatan model Dokter Terawan, ahli radiologi yang berumur 48 tahun, yang berpartner dengan Dokter Tugas, ahli saraf yang berumur 49 tahun, ini masih terus dipersoalkan. Dia masih sering “diadili” di rapat-rapat profesi kedokteran.
Saya terus mengikuti perkembangan pro-kontra itu. Termasuk ingin tahu sendiri secara langsung seperti apa cuci otak itu. Dengan cara menjalaninya. Kesempatan itu pernah datang, tapi beberapa kali tertunda. Sebab, ada pasien yang lebih mendesak untuk ditangani. Sebagai orang sehat, saya harus mengalah.
Kamis malam lalu kesempatan itu datang lagi. Seusai sidang kabinet di istana, saya langsung masuk RSPAD Gatot Subroto. Berbagai pemeriksaan awal dilakukan malam itu: periksa darah, jantung, paru-paru, dan MRI. Dan yang juga penting dilakukan Dokter Tugas adalah ini: pemetaan saraf otak.
Beberapa tes dilakukan. Untuk mengetahui kondisi saraf maupun fungsi otak.
Keesokan harinya, pagi-pagi, saya sudah bisa menjalani cuci otak di ruang operasi. Saya sudah tahu apa yang akan terjadi karena dua minggu sebelumnya istri saya sudah lebih dulu menjalaninya. Saat itu saya menyaksikan dari layar komputer.
Cuci otak ini dimulai dengan irisan pisau di pangkal paha. Saat mengambil pisau, seperti biasa, adalah saat dimu-lainya Dokter Terawan menyanyikan lagu kesukaannya, Di Doa Ibuku.
Perhatian saya pun terbelah: mendengarkan lagu itu atau siap-siap merasakan torehan pisau ke pangkal paha yang tidak dibius. Tiba-tiba Dokter Terawan mengeraskan suaranya yang memang merdu. Saya pun kian memperhatikan lagu itu.
Saat puncak perhatian saya ke lagu itulah, rupanya Dokter Terawan menorehkan pisaunya. Tipuan itu berhasil membuat rasa sakit hanya melintas sekilas.
Dan Dokter Terawan terus menyanyi:
Di waktu masih kecil
Gembira dan senang
Tiada duka kukenang
Di sore hari nan sepi
Ibuku berlutut
Sujud berdoa
Kudengar namaku disebut
Di doa ibuku
Sebuah lagu yang isinya kurang lebih saya alami sendiri saat saya masih kecil, sebelum ibu saya meninggal saat saya berumur 10 tahun. Otomatis perhatian saya ke lagu itu. Itulah cara Dokter Terawan membius pasiennya.
Saya jadi teringat saat memasuki ruang operasi menjelang ganti hati enam tahun lalu di RS Tianjin, Tiongkok. Ruang operasi dibuat ingar-bingar oleh lagu rock yang lagi top-topnya saat itu di sana: Mei Fei Se Wu, yang berarti bulu mata menari-nari. Sebelum lagu berbahasa Mandarin itu berakhir, saya sudah tidak ingat apa-apa lagi: Saya dimatikan selama 13 jam.
Demikian juga Dokter Terawan. Sambil terus menyanyikan Di Doa Ibuku, dia mulai memasukkan kateter dari luka di pangkal paha itu. Lalu mendorongnya menuju otak. Kateter pun terlihat memasuki otak kanan. “Sebentar lagi akan ada rasa seperti mint,” ujar Terawan.
Benar. Di otak dan mulut saya terasa pyar yang lembut disertai rasa Mentos yang ringan.
Itulah rasa yang ditimbulkan oleh cairan pembasuh yang disemprotkan ke saluran darah di otak.
“Rasa itu muncul karena sensasi saja,” katanya.
Hampir setiap dua detik terasa lagi sensasi yang sama. Berarti Dokter Terawan menyemprotkan lagi cairan pembasuh lewat lubang di dalam kateter itu. Saya mulai menghitung berapa pyar yang akan saya rasakan. Kateter itu terus menjelajah bagian-bagian otak sebelah kanan. Pyar, pyar, pyar. Lembut. Mint. Ternyata sampai 16 kali.
Begitu dokter mengatakan pembersihan otak kanan sudah selesai, saya melirik jam. Kira-kira delapan menit.
Kateter lantas ditarik. Ganti diarahkan ke otak kiri. Rasa pyar-mint yang sama terjadi lagi. Saya tidak menghitung. Perhatian saya beralih ke pertanyaan yang akan saya ajukan seusai cuci otak nanti: Mengapa dimulainya dari otak kanan?
Usai mengerjakan semua itu, Terawan menjawab. “Karena terjadi penyumbatan di otak kiri Bapak,” katanya.
Hah! Penyumbatan? Di otak kiri? Mengapa selama ini tidak terasa? Mengapa tidak ada gejala apa-apa? Menga-pa saya seperti orang sehat 100 persen?
Dokter Terawan, kolonel TNI-AD yang lulusan Universitas Gadjah Mada Jogjakarta dengan spesialisasi radiologi dari Universitas Airlangga Surabaya itu, lantas menunjuk ke layar komputer. “Lihat sebelum dan sesudahnya,” ujar Terawan.
Sebelum diadakan pencucian, satu cabang saluran darah ke otak kiri tidak tampak di layar. “Mestinya bentuk sal-uran darah itu seperti lambang Mercy. Tapi, ini tinggal seperti lambang Lexus,” katanya.
Setiap orang ternyata memiliki lambang Mercy di otaknya. “Nah, setelah yang buntu itu dijebol, lambang Mercy-nya sudah kembali,” katanya sambil menunjuk layar sebelahnya. Jelas sekali bedanya.
Karena saluran yang buntu itu, beban gorong-gorong di otak kanan terlalu berat. “Lama-lama bisa terjadi pembengkakan dan pecah,” katanya. “Lalu terjadilah perdarahan di otak,” tambahnya.
Alhamdulillah. Puji Tuhan. Saya pun langsung teringat Pak Sumaryanto Widayatin, deputi menteri BUMN bidang infrastruktur dan logistik yang hebat itu. Yang juga ketua alumni ITB itu. Yang idenya banyak itu. Yang terobosan birokrasinya tajam itu. Sudah hampir setahun terbaring tanpa bisa bicara dan hanya sedikit bisa menggerakkan anggota badan.
Saluran darah ke otaknya pecah justru di tengah tidurnya menjelang dini hari. Saya sungguh menyesal tidak menyarankannya ke Terawan sebelum itu. Penyesalan panjang yang tidak berguna. Kini, setelah perawatan yang panjang oleh istrinya yang hebat, Pak Sum memang terlihat kian segar dan pikirannya tetap hidup bergairah, tapi masih perlu banyak waktu untuk bisa bicara.
Setelah cuci otak ini berhasil membersihkan gorong-gorong yang buntu, saya kembali ke kamar. Kaki tidak boleh bergerak selama tiga jam. Tapi, sore itu saya sudah bisa terbang ke Surabaya. Untuk merayakan Imlek bersama masyarakat Tionghoa dan besoknya mengadakan khataman Alquran bersama para hufadz di rumah saya.
Tiap hari Dokter Terawan sibuk dengan antrean yang panjang. Ada yang karena sakit, ada juga yang karena ingin tetap sehat.
Bagi yang cito, akan langsung ditangani. Tapi, bagi yang sehat, antrenya sudah mencapai tiga bulan. Sebab, hanya sekitar 15 orang yang bisa ditangani setiap hari. Lebih dari itu, bisa-bisa Terawan sendiri yang akan mengalami perdarahan di otaknya.
Belum diterimanya metode itu oleh dunia kedokteran di seluruh dunia membuat gerak Terawan terbatas. Misalnya tidak bisa secara terbuka mengajarkan ilmunya itu ke dokter-dokter lain agar antrean tidak terlalu panjang. Sampai hari ini, baru dialah satu-satunya di dunia yang bisa melakukan cara itu.
Kalau profesi dokter tidak segera bisa menerima metode itu, jangan-jangan Persatuan Insinyur Indonesia yang akan segera mengakuinya. Anggap saja Terawan ahli membersihkan gorong-gorong yang buntu. Hanya, gorong-gorong itu letaknya tidak di Bundaran HI. (*)
MANUFACTURING HOPE 64
Meninggalkan Eksotisme, Menuju Kekuatan Tropikal
KETIKA buah impor dari RRT membanjiri pasar Indonesia, apa yang harus kita perbuat? Mencegah saja dengan cara melarang atau mengenakan bea masuk yang tinggi tentu tidak cukup. Apalagi, ada ketentuan internasional yang tidak sembarangan bisa dilanggar.
Mengimbau agar tidak menyajikan buah impor memang baik, tapi juga belum cukup. Bersumpah untuk tidak makan buah impor seperti yang dilakukan dengan gagah berani oleh Bupati Kulonprogo yang dokter itu memang heroik, tapi juga masih perlu jutaan hero lainnya.
Apa yang bisa dilakukan BUMN? Sebagai korporasi besar, BUMN bisa membantu banyak. Melalui aksi-aksi korporasi yang nyata. Misalnya terjun ke agrobuah secara besar-besaran dengan pendekatan korporasi.
Indonesia sebenarnya tidak perlu bersaing frontal dengan Tiongkok. Terutama di bidang buah. Dua negara besar itu bisa ambil posisi saling isi dan saling melengkapi. Tiongkok dengan empat musimnya memiliki kelemahan pokok: tidak mungkin bisa memproduksi buah tropis. Sebaliknya, Indonesia, negara tropis yang terbesar di dunia, bisa menghasilkan buah tropis seberapa banyak pun.
Maka, ketika Indonesia menjadi pasar buah impor dari Tiongkok, pada dasarnya yang masuk ke Indonesia adalah sebatas buah nontropis: apel, anggur, jeruk, pir, dan seterusnya. Seharusnya kita juga bisa menjadikan Tiongkok sebagai pasar yang besar untuk buah-buah tropis dari Indonesia: pisang, manggis, durian, avokad, dan seterusnya. Tiongkok tidak mampu menghasilkan jenis buah-buah tersebut.
Sayangnya, kita hanya bisa marah melihat kenyataan membanjirnya buah impor. Padahal, sebenarnya kita bisa berbuat banyak tanpa harus marah.
Kadang kita sudah sangat bangga dengan menyebutkan bahwa kita memiliki kekayaan buah-buah tropis yang eksotis. Gelar eksotis itu memang memabukkan, tapi juga membelenggu. Dengan gelar eksotis, berarti kita akan mempertahankan jumlahnya yang terbatas. Ibarat menjual daerah wisata, ini adalah wisata penyelaman. Menarik, tapi terbatas. Tidak bisa masal.
Maka, memasalkan buah tropis adalah kunci penting untuk bisa membalas menyerbu Tiongkok. Kita tidak bisa menyerbu Tiongkok dengan gelar eksotis itu.
Suatu saat saya mengunjungi pasar induk yang raksasa di Guangzhou. Saya masuk ke zona buah-buahan di pasar induk itu. Saya mencari di blok mana ada manggis. Saya mengelilingi berblok-blok pasar induk itu. Saya mengamati ratusan kontainer yang penuh berbagai buah Thailand di situ. Saya tidak menemukan manggis dan buah dari Indonesia lainnya.
Setelah berjam-jam di situ, saya baru menemukan manggis yang hampir saja tidak kelihatan karena hanya satu peti kayu kecil. Saya bolak-balik peti itu. Betul. Manggis Indonesia. Saya temukan pengirimnya: Denpasar, Bali.
Saya juga sudah mengunjungi pasar induk di Qingdao, Shandong. Juga di Tianjin. Sama. Tidak ada buah tropis dari Indonesia.
Pengalaman itu terus terbayang memenuhi pikiran saya. Maka, ketika saya diangkat menjadi menteri BUMN, saya terus memikirkan apa yang bisa diperbuat. Sampai suatu ketika saya mendapat tamu istimewa: Rektor IPB Prof Dr Herry Suhardiyanto MSc dan serombongan doktor dari kampus di Bogor itu.
Pak Rektor mengajukan ide buah tropis. Wow! Ini dia! Tumbu ketemu tutup!
Langsung saya ceritakan pengalaman saya itu. Hari itu juga keputusan diambil: BUMN bekerja sama dengan IPB mengembangkan buah tropis besar-besaran.
Ahli-ahli IPB dan Kepala Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB Prof Dr Ir Sobir MSi menyusun konsep ilmiah dan kajian pelaksanaannya. Termasuk memilih buah tropis apa saja yang akan dikembangkan.
Saya minta fokus saja pada tiga atau empat jenis buah dulu. Jangan menanam semua jenis sehingga kehilangan fokus.
Setelah tiga kali pertemuan, disepakati mengembangkan tiga jenis dulu: manggis, durian, dan pisang. IPB sudah memiliki ahli manggis yang cukup kuat di bawah koordinasi Dr Ir Sobir. Tim Dr Sobir itu sudah menyiapkan jenis-jenis manggis unggulan. Juga durian unggulan.
Tahun ini juga pengembangan buah tropis berbasis korporasi itu harus sudah dimulai. Lokasi awalnya di Jawa Barat di bawah PTPN VIII. Saat tim IPB menyiapkan kajian, direksi PTPN VIII di bawah pimpinan Dirut-nya, Ir Dadi Sunardi, menyiapkan lahannya.
Penanaman buah tropis itu tidak akan tanggung-tanggung. Tanaman manggisnya akan mencapai 3.000 hektare (ha). Duriannya juga 3.000 ha. Pisangnya kurang lebih sama.
Kalau program itu nanti berhasil, inilah perkebunan khas Indonesia, konsep Indonesia, dan untuk kepentingan Indonesia. Semua perkebunan yang ada selama ini adalah konsep Belanda, oleh Belanda, dan untuk Belanda: teh, gula, sawit, karet, tembakau na-oogst. Belanda tidak mewariskan perkebunan buah tropis untuk kita.
Kian tahun perkebunan buah tropis tersebut harus kian besar. Juga kian luas jangkauannya. Mulai Medan sampai Papua. Dengan demikian, pasokannya kian panjang.
Menurut ahli dari IPB, ketika wilayah Medan memasuki masa panen, kebun di Sumsel baru berbuah dan kebun di Jawa baru berbunga. Medan habis panen, Sulawesi baru kuncup. Begitulah. Berputar hampir sepanjang tahun. Panjangnya wilayah Indonesia bisa membuat masa panennya pun panjang.
Teman-teman di PTPN VIII kini lagi kerja keras menyiapkan sebuah perubahan besar. Dari hanya mengelola teh dan karet, kini harus ahli juga menanam manggis, durian, dan pisang.
Bagi IPB, ini juga bersejarah! Menemukan model dan jenis perkebunan khas Indonesia demi Indonesia! Karena itu, IPB akan me-launching program itu dalam sebuah acara besar di Bogor.
Saatnya negara tropis memiliki kekuatan buah tropikalnya! Lupakan kebanggaan eksotisnya! Nikmati kekuatan serbunya! (*)
MANUFACTURING HOPE 63
Ada Thabrani di Gracilaria, Ada Hamzah di Cottonii
BREBES, malam Minggu, pukul 22.00. Para petani rumput laut di Desa Randu Sanga masih bersila di halaman rumah tokoh masyarakat setempat. Laki-laki dan perempuan. Tua dan muda. Resminya, mereka menghadiri acara rutin keagamaan yang disebut Pengajian Padang Bulan. Saya pikir akan ada pemilik merek “Padang Bulan” Emha Ainun Nadjib di situ. Ternyata nama padang bulan sudah begitu generiknya.
Inilah pengajian yang tema pokok bahasannya adalah rumput laut. Bukan ditinjau dari segi agama, tapi bagaimana rumput laut menyejahterakan seluruh masyarakat Desa Randu Sanga yang dulu dikenal sebagai desa nelayan yang miskin.
Ada dua jenis rumput laut. Yang di Brebes ini, sebagaimana juga yang ada di daerah-daerah sebelahnya seperti Cirebon dan Indramayu, rumput lautnya disebut gracilaria. Bentuknya lebih kecil seperti rumput jepang dan kegunaan utamanya untuk agar-agar. Pasarnya sangat luas. Berapa pun akan terserap.
Dulu para petani tambak di Randu Sanga hanya mengandalkan hidupnya dari memelihara bandeng dan udang. Panennya hanya enam bulan sekali. Kalau penyakit ikan lagi datang, sangat menderita. Tidak bisa panen.
Untung, ada orang bernama Thabrani di Randu Sanga. Pendidikannya S-2 dan kini mengejar gelar doktor. Dia mendapat ilmu bahwa tambak tersebut bisa ditumpang sari dengan rumput laut jenis gracilaria. Dia sendiri, dari warisan orang tuanya, memiliki 15 ha tambak.
Saat itu Thabrani baru terkena musibah. Udangnya terkena penyakit dan panennya gagal total. Mulailah dia tergerak untuk memikirkan rumput laut. Dia tebar benih rumput laut. Hidup. Berkembang. Seluruh tambaknya penuh dengan rumput laut.
Hasilnya di luar dugaannya: Berkat rumput laut itu, bandengnya lebih cepat besar dan tidak terkena penyakit. Demikian juga udangnya. Dalam waktu yang sama bandengnya bisa tumbuh dua kali lipat lebih cepat.
Rumput lautnya sendiri bisa dipanen tiap dua bulan. Dijemur. Sampai mencapai tingkat kekeringan 16 persen. Dijual. Banyak pabrik agar-agar yang membelinya.
Dengan demikian, Thabrani dapat uang tiap dua bulan. Tidak lagi hanya punya uang tiap enam bulan. Dengan tambak yang sama, hasilnya menjadi berlipat.
Dua tahun lamanya Thabrani sendirian. Tidak ada tetangga yang mau mengikuti jejaknya. Padahal, Thabrani sudah berusaha merayu mereka. Kebiasaan turun-temurun memang sulit diubah.
Tapi, Thabrani tipe pejuang yang gigih. Dia tidak henti-henti mengajak petani lain mengikuti jejaknya. Bahkan, untuk meyakinkan mereka, Thabrani menjamin akan membeli rumput laut yang mereka hasilkan. Jaminan seperti itu yang kelak, di tahun 2012, membuat dia dikenal sebagai pengepul rumput laut terbesar.
Setelah ada jaminan itu, barulah satu per satu tetangganya tertarik. Kini, lima tahun kemudian, seluruh tambak di Randu Sanga sudah menjadi tambak three in one: bandeng, udang, dan rumput laut. “Bahkan, hasil rumput lautnya lebih besar dari hasil bandeng ditambah udang sekalipun,” ujar Thabrani.
Thabrani melangkah lebih jauh. Tiga tahun lalu dia mendirikan sekolah menengah kejuruan rumput laut. Dia ingin penduduk desanya menanam rumput laut dengan ilmu pengetahuan. Malam Minggu kemarin itu saya diajak Thabrani menghadiri pengajian tersebut. Tapi, sebenarnya sayalah yang harus belajar di situ. Apalagi, Thabrani tidak berkeberatan kalau semangatnya itu ditularkan juga ke petani-petani tambak di seluruh pantai utara Jawa. Di pusat-pusat nelayan yang miskin.
Thabrani senang sekali melihat warganya kian sejahtera. Dia pun membuat gerobak pengangkut rumput laut yang bisa dijalankan di sela-sela tambak. Malam itu dia berbagi gerobak ke banyak petambak di situ gerobak yang dia beri nama DI 99. Bahkan, saking senangnya, malam itu Thabrani dalam fungsinya sebagai pengumpul rumput laut mengumumkan kepada warganya akan meningkatkan harga rumput laut dari Rp 4.000 per kg menjadi Rp 4.500 per kg.
Tentu itulah pengajian yang paling menyenangkan warga Randu Sanga. Ilmu-ilmu rumput laut dibeberkan malam itu. Apalagi, ada bonus kenaikan harga. Untung, ada Ki Dalang Enthus Susmono yang datang bersama saya. Di akhir acara Enthus memberikan tausiah agama. Enthus ternyata sangat piawai, tidak hanya dalam memainkan wayang, tapi juga sebagai pendakwah.
Kabar baik rupanya tidak hanya untuk petani rumput laut jenis gracilaria. Petani rumput laut jenis cottonii pun sebaiknya juga membaca kabar ini: Hamzah, anak muda dari Lawang, Jawa Timur, sudah berhasil mendirikan pabrik pengolah rumput laut cottonii menjadi karagenan. Yakni, tepung rumput laut yang kegunaannya bukan untuk agar-agar, tapi untuk kosmetik, bahan odol, kapsul obat, kue, bakso, dan seterusnya.
Kue-kue Jepang yang begitu lembut dan tidak bisa mengeras itu menggunakan tepung karagenan. Odol yang menggunakan karagenan tidak akan bisa kering meskipun tutupnya terbuka. Bakso yang menggunakan tepung karagenan memiliki kekenyalan yang sempurna.
Selama ini Indonesia hanya bisa mengekspor rumput laut jenis cottonii itu. Lalu, Indonesia mengimpor karagenan besar-besaran. Kenyataan itulah yang menggundahgulanakan pikiran Hamzah. Sebagai sarjana teknik mesin yang tidak henti-henti berpikir, Hamzah bertekad menciptakan mesin yang bisa mengubah rumput laut menjadi karagenan. Pabrik pembuat karagenan itu menggunakan banyak prinsip: kimia, fisika, mekanis, hidraulis, dan elektronik.
Setahun yang lalu, ketika saya menemui Hamzah, dia belum yakin apakah penemuannya akan berhasil. Tapi, saya terus mendorongnya untuk tidak menyerah. Dia minta waktu satu tahun untuk membuktikannya. Sebenarnya, seperti biasa, saya tidak sabar. Tapi, saya memaklumi tingkat kesulitannya. Apalagi, itu mesin yang terkait dengan makanan. Harus memenuhi kriteria dan standar yang lebih tinggi. Dan itu mesin pertama yang dilahirkan di Indonesia oleh anak muda Indonesia.
Saya terus berkomunikasi dengan Hamzah. Saya terus memonitor perkembangannya. Akhirnya saya dapat kabar baik. Minggu lalu uji coba pabriknya di Pasuruan dan berhasil. Benar-benar bisa menghasilkan karagenan. Dengan mutu yang tidak kalah dengan karagenan impor. Bahkan sedikit lebih baik.
Pabriknya memang kecil. Hanya bisa mengolah rumput laut jenis cottonii sebanyak 5 ton sehari. Tapi, 5 ton adalah jumlah yang sudah bisa dipakai untuk menampung hasil rumput laut satu kabupaten. Misalnya Kabupaten Bulukumba di Sulsel.
Rumput laut jenis cottonii, sebagaimana rumput laut di Brebes, memang pilihan yang tepat untuk meningkatkan pendapatan para nelayan yang umumnya miskin. Lebih-lebih kalau lagi musim tertentu, ketika mereka tidak bisa melaut. Bank BRI kini telah membina nelayan rumput laut cottonii di Bulukumba, tapi ya baru sebatas untuk dijual ke pedagang.
Kini, dengan penemuan teknologi oleh putra bangsa kita yang bernama Hamzah itu, rumput laut kian mendapat muara di hilirnya. Pembinaan untuk nelayan rumput laut kini bisa lebih dimasalkan, termasuk oleh BUMN. Inilah senjata untuk mengentas kemiskinan di wilayah nelayan. Di samping mendapat hasil dari ikan, dalam waktu yang bersamaan nelayan juga mendapat uang dari rumput laut.
Sebagaimana yang saya lihat di Bulukumba, para nelayan di sana mulai bersemangat menanam rumput laut cottonii. Memang lebih rumit jika dibandingkan dengan rumput laut jenis gracilaria. Tapi, laut-laut tertentu memang hanya cocok untuk rumput laut tertentu. “Di sini, kalau seorang nelayan bisa menanam rumput laut 2.000 bentangan, sudah cukup untuk hidup dan menyekolahkan anak,” ujar seorang nelayan di Bulukumba.
Begitu banyak jalan untuk meningkatkan kehidupan. Mulai banyak pilihan yang tersedia di depan kita. Tinggal kapan kita harus terus kerja, kerja, kerja! (*)
MANUFACTURING HOPE 62
Dari Buli, Ria Berdikari Ingin Angkat Harga Diri
TIBA di lokasi ini saya diberi pilihan: naik jip atau sepeda motor trail. Hati ingin memilih trail, tapi otak mengatakan jangan. Udara lagi sangat panasnya. Matahari sangat teriknya.
Saya pun menunjuk mobil setengah tua yang rodanya cocok untuk off-road itu. “Tapi, harus saya yang nyetir,” ujar wanita muda berjilbab putih dan bercelana jins itu. “Di sini tidak ada tebing yang bisa ditabrak,” tambahnya.
Saya tahu wanita itu lagi menyindir saya yang suka mengemudikan mobil sendiri dan baru saja menabrakkan mobil listrik Tucuxi ke tebing terjal di Magetan.
Hari itu, Senin minggu lalu, saya memang ingin mengelilingi ranch besar milik BUMN yang sudah lama telantar. Yakni, lahan peternakan sapi seluas 6.000 ha milik PT Berdikari United Livestock (Buli), anak perusahaan PT Berdikari (Persero). Lokasinya di Desa Bila, tidak jauh dari Danau Tempe di Kabupaten Sidenreng Rappang (lazim disingkat Sidrap), Sulawesi Selatan.
Sudah lama ranch tersebut begitu-begitu saja. Nasibnya tidak jauh berbeda dengan ranch yang ada di Sumba, yang luasnya juga sekitar 6.000 ha. PT Berdikari sudah lama tidak bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Bukan saja tidak bisa membantu program pemerintah di bidang peternakan, bahkan justru terlalu bergantung kepada pemerintah. Wajah PT Berdikari adalah wajah yang muram. Karena itu, awal tahun lalu direksinya diganti.
Sebagaimana juga di Sumba, sebenarnya ingin sekali saya bermalam di Bila. Tapi, ternyata tidak perlu. PT Buli sudah mulai bergerak dengan konsep yang jelas. Tanda-tanda kehidupan mulai tampak di daerah yang terletak sekitar lima jam naik mobil dari Makassar itu.
Wanita berjilbab putih itu dengan tangkas segera naik mobil dan men-gendalikan kemudi. Dialah Ir Ria Kusumaningrum, yang tahun lalu diangkat jadi direktur PT Buli. Ria adalah lulusan Fakultas Peternakan IPB tahun 2004.
Ria sangat tangkas mengemudi. Saya duduk di sebelahnya. Di kursi belakang duduk Dirut PT Berdikari Librato El Arif, yang hanya bisa tersenyum melihat percakapan tadi. Arif-lah yang mengangkat wanita muda tersebut menjadi direktur PT Buli yang waktu itu dalam keadaan sulit-sulitnya. Arif cukup jeli memilih orang. Dia tidak salah memilih Ria sebagai direktur untuk peternakan besar yang lagi sakit parah itu.
Sambil mengemudikan mobil di jalan off-road yang berjungkit-jungkit itu, Ria terus menceritakan apa yang sedang dan masih terus dia lakukan. “Di lahan ini akan kami buat ranch, bisa untuk 50.000 sapi,” ujar Ria dengan semangatnya. Ucapan itu kelihatannya mustahil terwujud. Terdengar seperti omong besar. Setahun lalu, ketika saya mulai mengkaji persoalan peternakan ini, tidak pernah ada pemikiran seperti itu.
Waktu itu yang sering diteorikan adalah: Lahan 6.000 ha maksimum hanya akan bisa dihuni 6.000 ekor sapi. Angka 50.000 yang disebut Ria jauh dari teori itu.
Konsep awal ranch Buli itu memang sama dengan yang ada di Sumba. Sapi dibiarkan hidup liar di padang gembalaan. Murah dan mudah. Tinggal memelihara beberapa kuda dan anjing untuk menggembalakannya. Tapi, ke-nyataannya sangat berbeda. Baik di Sumba maupun di Sidrap, cara seperti itu tidak bisa berkembang. Ada beberapa persoalan teknis. Misalnya soal bagaimana menjaga kualitas sapi. Untuk sapi yang dibiarkan liar, kualitas keunggulannya merosot. Sebab, terjadi perkawinan inses. Sering terjadi anak laki-laki yang sudah besar mengawini ibunya atau saudara kandungnya. Sulit mengawasinya.
Yang seperti itu tidak terjadi di luar negeri. Di sana sapi jantan yang tidak unggul langsung dikebiri. Itulah yang tidak mungkin dilakukan di Indonesia. Masih ada pendapat yang mengatakan bahwa pengebirian seperti itu melang-gar ajaran agama tertentu.
Ria yang setelah lulus menekuni penelitian ternak tropik itu tidak mau meneruskan sistem peternakan liar seperti konsep tersebut. Itu sesuai dengan arahan direksi PT Berdikari dan hasil diskusi dengan para ahli dari Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar yang aktif membantu Ria di Buli.
Cara baru itu pun ditunjukkan kepada saya. Setelah mengunjungi instalasi pengolahan kompos dan makanan ternak, saya dibawa ke pinggir sebuah danau kecil yang ada di tengah-tengah ranch. Di situlah ada sebuah kandang yang terbuka. Yakni, hamparan rumput yang dipagari dengan kayu setinggi 1,5 meter yang dirangkai dengan kawat berduri. Luas kandang itu hanya sekitar 3.000 meter persegi. Tidak ada atapnya. Di dalam kandang itu (di Jawa lebih tepat disebut kombong) terdapat 150 sapi yang hidup mengelompok.
Uji coba sistem kombong itu sudah berlangsung empat bulan. Sapi tidak dibiarkan liar lagi meski juga tidak dimasukkan ke kandang. Uji coba tersebut sudah bisa disimpulkan: berhasil baik. Karena itu, sistem kombong akan dikembangkan. Ria sudah membangun 15 kombong. Tidak harus di dekat da-nau karena sarana untuk minum sapi bisa dibangun di tengah kombong.
Ke depan, Ria berencana membangun 500 kombong di lahan 6.000 ha itu. Fungsi tiap kombong akan dibedakan. Ada kombong untuk anak-anak sapi dengan umur tertentu. Satu kombong bisa dihuni 200 anak sapi. Lalu, ada kombong untuk sapi yang lebih besar yang sudah siap dihamili. Kombong seperti itu diisi 150 ekor sapi. Ditambah pejantan unggulan. Lalu, ada kombong untuk sapi besar yang hanya berisi 100 ekor.
Sapi-sapi yang sudah bunting dimasukkan ke kandang tertutup. Di situ di-siapkan sarana untuk melahirkan yang sehat. Juga disiapkan nutrisi yang lebih baik.
Ke depan, pagar kombong itu tidak lagi dibuat dari kayu kering. Pagar tersebut akan berupa pagar hidup. Ria sudah membuat pembibitan pohon jabung. Saya pun dibawa ke area pembibitan. Ada 400.000 bibit pohon jabung yang disiapkan. Saya percaya saja pada angka itu. Daripada diminta menghitung sendiri.
Bibit-bibit pohon jabung itulah yang akan ditanam rapat membentuk pagar hidup kombong. Pohon tersebut akan berdwifungsi: untuk pelindung sapi dan untuk dijual kayunya setelah berumur lima tahun. Juga ada fungsi menghemat: daripada beli kayu untuk pagar. Pohon jabung adalah pohon yang lekas bongsor yang kini lagi sangat happening di Jawa Barat.
Maka, setahun lagi sudah akan kelihatan bentuknya. Lahan 6.000 ha itu akan dibentuk menjadi kombong-kombong sapi. Tiap 10 ha satu kombong. Di setiap lahan 10 ha itu ditanami rumput gajah (2 ha) dan sorgum (3 ha). Di tengah-tengah tanaman rumput dan sorgum itulah kombong untuk kandang sapi. Fungsi rumput tidak lain untuk makanan sapi. Sedang fungsi sorgum untuk makanan manusianya dengan batang dan daun untuk sapinya.
Dengan demikian, akan ada blok-blok 10 ha di Buli yang tidak saja memudahkan pengawasannya, tapi juga bisa menampung lebih banyak sapi di dalamnya. Dengan metode itulah ranch di Bila bisa menampung 50.000 sapi.
Masyarakat sekitar peternakan akan dilibatkan. Kelompok-kelompok pe-ternakan di sekitarnya akan diberi kesempatan memiliki kombong seperti itu. Sapinya milik masyarakat dengan modal dari PKBL BUMN. Wakil bupati Sidrap yang ikut hadir hari itu akan mengajak warganya untuk ikut cara Buli tersebut. Inilah ranch model Buli, model Berdikari, model Ria. Berbeda dengan Australia atau Jawa.
Setahun lagi saya berjanji bertemu Ria di Bila. Dan akan bermalam di situ. Sambil menikmati makanan Sidrap yang enak-enak. Dan mengelilingi kombong-kombong pohon hidup yang sudah jadi.
Inilah roh baru PT Berdikari. Saya memang meminta Berdikari fokus menangani peternakan sapi. Tidak usah usaha macam-macam seperti di masa lalu, yang semuanya berantakan. Usaha asuransinya harus dilepas. Demikian juga usaha mebelnya. Fokus: sapi, sapi, dan sapi.
Negara lagi memerlukan peran BUMN seperti Berdikari. Indonesia terlalu besar mengimpor sapi. Tidak boleh Berdikari justru jadi benalu negeri. Terbukti, ketika fokus, “direksinya bisa menemukan jalan yang begitu hebat dan asli. Yang akan bisa ikut mengatasi kekurangan daging sapi di dalam negeri.”
Terlalu besar kita impor sapi. Menghabiskan devisa dan harga diri. (*)
MANUFACTURING HOPE 61
Taiso dan Amanat Pahlawan Seroja
“INI gara-gara BUMN,” ujar Perdana Menteri Kay Rala Xanana Gusmao. “Gara-gara banyak proyek ditangani BUMN, jarang hujan di sini,” tambahnya.
Saya baru tertawa lebar setelah Pak Xanana meneruskan kata-katanya. “Rupanya, mereka pada membawa pawang hujan ke sini. Agar proyeknya cepat selesai,” katanya. Setelah saya tertawa panjang, rupanya, beliau masih belum kehabisan stok humor. “Lain kali pawangnya harus lebih pintar ya. Yang dibuat tidak hujan cukup beberapa meter di lokasi proyek saja,” katanya.
BUMN, rupanya, sangat terkenal di Timor Leste, negeri yang baru beru¬mur 10 tahun sejak lepas dari Indone¬sia. Kini banyak sekali proyek infra¬struktur yang tender internasionalnya dimenangi BUMN seperti PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau Wika dan PT PP (Persero) Tbk.
Sore itu, Kamis lalu, begitu menda¬rat di Dili dengan pesawat BUMN Merpati Nusantara, dan setelah diteri¬ma PM Xanana, saya langsung ke Ta¬man Makam Pahlawan Seroja. Di situ, saya merenungkan jasa dan pengor¬banan para pahlawan yang jumlahnya lebih dari 3.000 orang itu. Di situ, saya meneguhkan tekad bahwa pengorban¬an mereka tidak boleh sia-sia.
Tujuan mereka dulu adalah untuk membangun jajahan Portugal tersebut agar tidak terus-menerus menderita. Tujuan itu kini bisa diamanatkan un¬tuk diteruskan BUMN: ikut mem¬bangun Timor Leste secara ekonomi. Maka, teman-teman BUMN bertekad untuk terus aktif memenangi berbagai macam tender proyek di sana.
Tender jembatan besar menuju Bandara Komoro dimenangi Wika. Demikian juga beberapa proyek ja¬lan. Gedung baru kementerian keuan¬gan yang 12 lantai di dalam Kota Dili dimenangi PP. Nilai proyek tersebut mencapai Rp 250 miliar. PP juga ma¬sih mengikuti beberapa tender interna¬sional lainnya.
Pukul enam pagi, ketika matahari belum terbit, saya sudah berada di lo¬kasi proyek itu. Teman-teman PP yang masih sangat muda-muda berada di sana mempertaruhkan nama Indone¬sia. Mereka bekerja keras untuk me¬nyelesaikan proyek dengan kondisi yang amat berbeda dari di Indonesia. Hukumnya, adatnya, aturannya, kon¬traknya, dan seterusnya. Tapi, dari diskusi dengan para pimpinan proyek pagi itu, di bawah pimpinan Robin Hasiholan yang lulusan Fakultas Teknik Sipil USU Medan, saya mem¬peroleh kesan bahwa mereka sangat mampu.
Robin memang contoh sistem rek¬rutmen yang tepat di PP. Dia sudah “diijon” oleh PP sejak masih semester tujuh. Diberi beasiswa dan diamati sampai lulus. Setelah itu dimasukkan ke “Universitas PP” enam bulan, lalu diterjunkan ke proyek dengan supervi¬si seniornya. Kini dia sudah dipercaya menangani proyek penting di Dili.
Tentu banyak sekali kendala yang mereka hadapi. Namun, mereka bertekad untuk menguasai keadaan. Penguasaan itu amat penting untuk menentukan langkah di proyek-proyek berikutnya. Kemampuan menguasai keadaan itulah yang menjadi keung¬gulan teman-teman BUMN, sehing¬ga hampir selalu bisa mengalahkan peserta tender dari Portugal, Spanyol, Inggris, Jepang, dan Korea. “Saingan berat kami bukan mereka. Saingan be¬rat kami sesama BUMN,” ujar Robin.
Teman-teman Wika juga mengakui itu. “Pesaing terberat kami adalah sesama anak buah Bapak,” ujar teman dari Wika.
Setelah dari proyek PP, saya berun¬tung pagi itu bisa ikut senam Taiso bersama teman-teman Wika. Mereka memang mempunyai prosedur tetap, sebelum memulai pekerjaan, harus melakukan Taiso lebih dulu sekitar 10 menit.
Saya pun minta agar tidak menular¬kan kebiasaan nyogok untuk memenan¬gi tender di sana. Di dalam negeri pun, saya sudah menegaskan agar BUMN mengakhiri kebiasaan nyogok pada masa lalu. Tidak mendapatkan proyek dari APBN, ya sudah. Cari peluang lain. Karena itu, banyak BUMN yang kini mengembangkan proyek sendiri sebagai proyek investasi. Atau proyek sesama BUMN.
Bahkan, dengan berkembangnya proyek di luar negeri, andalan hanya mengejar proyek APBN bisa dikuran¬gi. BUMN sudah bertekad untuk ti¬dak ikut tender proyek APBN yang nilainya di bawah Rp 25 miliar. Biar¬lah proyek-proyek tersebut dikerjakan kontraktor swasta yang lebih kecil. Presiden SBY menyambut baik tekad BUMN tersebut sebagai upaya untuk pemerataan, sebagaimana dikemuka¬kan beliau dalam forum HIPMI di Bali beberapa waktu lalu.
“Di sini sama sekali tidak ada keper¬luan untuk nyogok, Pak,” ujar Robin Hasiholan. “Juga, tidak ada pungutan apa pun di luar kontrak,” tambahnya. Itu, kata dia, karena semua tender proyek besar di Timor Leste menggu¬nakan standar tender internasional.
Wika pun, yang kini amat bangga karena menjadi BUMN karya yang terbesar (tiga BUMN karya dijadikan satu pun belum bisa mengalahkan Wika), kian menonjol kemampuan¬nya. Teman-teman yang mengerjakan proyek di Timor Leste tersebut, misal¬nya, banyak yang alumnus proyek Al-jazair. Wika memang baru saja selesai mengerjakan proyek jalan tol sepan¬jang 400 km di Aljazair. Statusnya memang masih subkontraktor, tapi na¬manya sudah terkenal di sana.
Investasi reputasi itu membuah¬kan hasil. Wika tahun ini mulai men¬jadi kontraktor utama di sana dengan proyek hampir Rp 1 triliun. Yakni, proyek apartemen di Kota Constanti¬nople, kota kedua terbesar di Aljazair.
Wika juga sangat serius masuk ke proyek-proyek minyak dan gas yang sampai saat ini masih dikuasai kon¬traktor asing. Tahun lalu mulai di¬percaya beberapa perusahaan minyak asing di Indonesia untuk menjadi kon¬traktor EPC mereka.
Tentu saja saya ke Dili tidak hanya untuk itu. Yang utama adalah untuk menghadiri mulai beroperasinya lay¬anan telepon seluler dari BUMN di sana. PT Telkom (Persero) Tbk me¬lalui anak perusahaannya, PT Telkom Internasional (Telin), juga memenangi tender internasional untuk menangani telekomunikasi nirkabel di Timor Leste. Selama ini, layanan telepon se¬luler di Timor Leste ditangani perusa¬haan dari Portugal dan Australia.
Mulai minggu lalu, Telkom datang! Telkom membawa nama Telkomcel (menggunakan C) untuk membedakan dari Telkomsel yang ada di Indonesia. Nama pimpinan Telkomcel di sana pun diganti oleh teman-temannya menjadi Dedi Cuherman.
Sambutan untuk Telkomcel memang mendadak dahsyat. Hari pertama saja langsung terdaftar 23.000 pelanggan. Kehadiran Telkomcel di Timor Leste memang sudah lama dinanti. Di an¬taranya karena tarif telepon seluler di sana selama ini kelewat mahal untuk masyarakat setempat, apalagi kalau dibanding tarif di Indonesia.
Bagi Telkomcel, hari pertama 23.000 pelanggan itu sangat istimewa. Sebab, dengan tarif yang lebih ma¬hal dari di Indonesia (meski sudah jauh lebih murah dari operator lain di Timor Leste), jumlah pelanggan terse¬but sama nilainya dengan memiliki 75.000 pelanggan di Indonesia.
Direksi PT Telkom, di bawah pimpinan Dirut Arief Yahya, memang menunjukkan kemajuan yang besar. Laba Telkom Group naik lebih dari satu triliun rupiah pada 2012. Menjadi lebih dari Rp 12 triliun. Padahal, perusahaan telekomunikasi sedang berada dalam persaingan yang amat ketat. Terutama dalam banting-membanting tarif.
PT Telkom sendiri, yang tahun-tahun lalu rugi (bisa untung karena didongkrak anak perusahaannya, Tel¬komsel), tahun lalu sudah tidak rugi. Anak perusahaan kini tidak lagi selalu mengejek induknya. Dan harga saham Telkom terus melejit.
Tentu, saya juga mengunjungi te¬man-teman Merpati dan Bank Mandiri di Dili. Merpati amat populer di sana. Apalagi Bank Mandiri. Bukan main ramainya kantor Bank Mandiri di Dili. Nasabah yang antre sangat ban¬yak. Padahal sudah sore hari. Kalau pagi, kata nasabah di situ, ramainya tidak keru-keruan. Gedung tiga lan¬tai itu sangat sesak. Untung orang di sana terlalu mencintai Bank Mandiri, sehingga masih sabar menghadapi layanan seperti itu. Tentu perubahan harus segera dilakukan.
Bank Mandiri memang menjadi bank yang terbesar di Timor Leste. Memang ada dua lagi bank asing, tapi jauh tertinggal dari Bank Mandiri. Kalau dalam skala 1 sampai 10, Bank Mandiri di skala 10, sedangkan bank dari Australia di skala 6 dan bank dari Portugal di skala 5. Tapi, Bank Mandi¬ri tidak boleh lengah dan merasa besar sendiri. Bank-bank asing tersebut mu¬lai membuka kantor di distrik-distrik di luar Dili. Sedangkan Bank Mandiri tetap saja baru punya kantor di Dili.
Kini Bank Mandiri sudah punya te¬man Telkomcel. Keperluan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) untuk membuka jaringan kantor di luar Dili akan lebih mudah. Karena itu, malam itu, dalam acara peresmian Telkomcel yang dihadiri Perdana Menteri Xa¬nana dan sejumlah menterinya, Bank Mandiri langsung mengikat kesepaka¬tan untuk bekerja sama di sana.
Sebagai bank yang posisinya sudah sangat besar dan begitu dicintai ma-syarakat di sana, tidak sulit bagi Bank Mandiri untuk membuat posisinya tetap sulit dikejar.
Itu artinya, amanat para pahlawan di TMP Seroja Dili akan bisa ditunaikan dengan baik oleh BUMN. (*)
MANUFACTURING HOPE 60
Mulai Pencurian Teknologi sampai Cara Mengemudi
Ini mirip dengan istilah “sengsara membawa nikmat”. Kecelakaan ini, meski menimbulkan keributan yang bising, benar-benar memberikan pelajaran yang berharga. Selama ini, secara ilmiah, memang terjadi perbedaan pandangan di antara lima putra petir yang menciptakan kendaraan/mobil listrik yang saya koordinasikan. Perbedaan pandangan seperti itu juga terjadi di luar negeri yang lagi sama-sama dikembangkan di seluruh dunia.
Ada yang berpandangan mobil listrik tidak perlu menggunakan gearbox. Untuk itu, power dari motor listrik langsung menggerakkan gardan/roda.
Tapi, ahli kita seperti Ir Dasep Ahmadi MSc (alumnus ITB) berpendapat mobil listrik harus menggunakan gearbox. Ricky Elson, putra Padang yang melahirkan 14 paten motor listrik di Jepang, termasuk golongan ini. Demikian juga Ravi Desai (alumnus Gujarat). Mereka setuju tidak harus pakai gearbox, tapi harus hanya untuk mobil dalam kota (city car).
Kecelakaan mobil Tucuxi (baca: tukusi, nama sejenis lumba-lumba) yang saya kemudikan di dataran tinggi Tawangmangu Sarangan Sabtu pekan lalu memberikan pelajaran yang sangat penting mengenai pilihan-pilihan tersebut.
Saya memang tidak ingin menyatukan pendapat mereka. Ilmuwan perlu diberi kebebasan untuk mewujudkan ambisi keilmuannya. Apalagi, saya menangkap sinyal bahwa para ahli kita itu memang ingin membuktikan kehebatan masing-masing. Saya sangat menghargai itu. Saya memilih bersikap memberikan otonomi yang luas kepada mereka.
Karena itu, ketika Kang Dasep menciptakan mobil AhmaDI dengan menggunakan gearbox, saya dukung penuh. Dana talangan langsung saya kirim. Ketika mobil hijau itu jadi kenyataan, saya langsung mencobanya.
Sebenarnya, pada awalnya saya dan Kang Dasep menanggung malu: Begitu tiba di Jalan Thamrin, Jakarta (dari Depok), mobil AhmaDI “mogok”. Media meliputnya dengan besar-besaran. Saya malu sekali. Tapi, saya minta Kang Dasep tidak menyerah. Setelah dianalisis, ternyata mobil itu tidak rusak, melainkan low batt. Indikator baterainya kurang sempurna sehingga “menipu”.
Minggu berikutnya kami berdua masih menanggung malu: Mobil listrik itu tidak kuat menaiki tanjakan. Padahal tidak terjal. Padahal perjalanan uji coba itu juga diliput langsung oleh media secara luas.
Sekali lagi saya minta Kang Dasep untuk tidak patah semangat.
Sebetulnya masih banyak “malu” yang lain. Tapi, biarlah itu hanya kami berdua yang merasakan.
Tiga bulan kemudian, ketika mobil AhmaDI kian sempurna, rasa malu itu berubah menjadi bangga. Putra bangsa kita bisa menciptakan mobil listrik. Saya pun mencobanya secara sungguh-sungguh. Saya mengemudikan mobil tersebut hampir setiap hari hingga mencapai 1.000 km. Kang Dasep sendiri, di luar 1.000 km yang saya lakukan, mencobanya dari Bandung ke Jakarta melalui Puncak. Tidak ada masalah sama sekali. Tanjakan yang terjal dan turunan yang curam dilewati dengan mudah. Kang Dasep dengan ketekunan dan kecerdasannya boleh dikata berhasil gemilang.
Setelah itu saya minta Kang Dasep membuat mobil listrik jenis yang lebih besar. Sebesar Alphard. Tiga bulan lagi insya Allah sudah bisa dilihat. Saya sudah setuju untuk membiayainya. Bahkan, saya juga sudah minta Kang Dasep untuk membuat bus listrik.
Seminggu setelah mobil AhmaDI selesai dicoba sampai 1.000 km, mobil Tucuxi bikinan Mas Danet Suryatama (alumnus USA) selesai dibuat. Saya pun bertekad mencobanya dengan sungguh-sungguh sampai 1.000 km.
Begitu tiba di Jakarta 19 Desember lalu, mobil Tucuxi (semula saya usul namanya Gundala, tapi Mas Danet memutuskan nama ini) saya coba dari Pancoran ke Bandara Soekarno-Hatta. Mas Danet mendampingi saya. Sepanjang perjalanan sekitar 30 km itu saya merasakan apa saja yang menjadi kelebihannya dan apa saja kekurangannya. Mobil tiba di Cengkareng dengan kebanggaan penuh: Mas Danet hebat! Hari pertama ini tidak membawa malu.
Kalau toh ada kekurangannya, hanya kami berdua yang tahu. Saya langsung menyampaikan kekurangan-kekurangan itu ke Mas Danet. Saya minta diperbaiki. Dua hari kemudian Tucuxi saya coba lagi di sekitar Stadion Utama Senayan. Dua jam lamanya. Tucuxi mengelilingi stadion berkali-kali. Beberapa wartawan secara bergantian ikut mencoba duduk di sebelah saya.
Semua yang menyaksikan terlihat bangga. Putra Indonesia ternyata hebat-hebat.
Beberapa kekurangan memang masih terasa. Tapi tidak mungkin diperbaiki di Jakarta. Maka, saya minta Tucuxi dibawa kembali ke Jogja. Mas Danet lantas menuduh saya melakukan pencurian teknologi. Saya tidak begitu jelas teknologi apa yang saya curi dan untuk apa.
Syukurlah, dalam keterangan pers terbarunya akhir pekan kemarin Mas Danet tidak lagi menyebut-nyebut soal pencurian teknologi. Yang dipersoalkan tinggal kesalahan cara saya mengemudi dan (menurut perasaannya) saya akan menyingkirkannya.
Setelah diperbaiki, mobil dicoba di sekitar Jogja. Tidak ada masalah. Termasuk sampai Kaliurang. Tapi, suasana sudah kurang nyaman akibat isu pencurian teknologi yang sudah meluas.
Saya sendiri saat itu lagi keliling hutan jati milik BUMN di Randublatung, Blora, dan Purwodadi. Saya sedang mendesain pola kemitraan antara Perum Perhutani dan masyarakat miskin sekitar hutan. Saya bermalam di Semarang. Karena mau pulang ke Magetan, saya harus lewat Solo. Karena itu, saya minta Tucuxi disiapkan di Solo untuk saya coba lewat medan yang berat.
Itu penting karena uji coba selama ini baru dilakukan di jalan yang datar. Sebagai mobil yang dibuat dengan biaya hampir Rp 3 miliar, mobil tersebut harus dicoba di daerah yang sulit. Terutama melewati jalan yang menanjak. Pikiran saya selalu: Bisakah mengatasi tanjakan? Apalagi sampai 1.300 meter seperti di Sarangan. Ricky Elson menemani saya.
Ternyata hebat sekali. Sepanjang jalan, saya terus memuji Mas Danet. Luar biasa. Tarikannya, power-nya, dan kemampuan menanjaknya hebat sekali. Demikian juga kemampuan baterainya.
Baru ketika jalan mulai menurun dengan sangat tajamnya, dengan belokan-belokan yang berliku, saya mulai waswas. Saya harus menginjak rem sekuat tenaga. Saya tidak segera menyadari bahwa Tucuxi berbeda dengan AhmaDI. Saya tidak segera menyadari bahwa Tucuxi ciptaan Mas Danet itu tidak menggunakan gearbox. Untuk menahan laju Tucuxi, sepenuhnya hanya menggantungkan pada kekuatan rem. Tidak ada bantuan pengendalian dari gearbox!
Tentu saya mencoba untuk sesekali mengendurkan rem agar tidak overheated. Ini juga disinggung dalam keterangan pers terbaru Mas Danet. Tapi, setiap kali rem saya longgarkan, mobil langsung melaju. Padahal, jalan berkelok-kelok dengan jurang dalam di sisinya. Tentu saya tidak berani tidak menginjak rem kuat-kuat. Mungkin, seperti disebut Mas Danet, saya memang salah dalam cara mengemudi seperti itu.
Tapi, mengingat jurang-jurang yang dalam di kawasan itu, saya terus menginjak rem dengan kekuatan kaki sekuat-kuatnya. Untung, otot kaki saya lumayan kuat karena setiap hari senam satu jam di Monas. Tapi, bau menyengat akibat rem yang bekerja keras tak tertahankan. Saya memutuskan untuk berhenti. Sekalian mendinginkan rem. Penurunan tajam masih akan panjang dan berliku. Totalnya 15 km. Masih akan sampai di Ngerong.
Waktu berhenti ini, semua orang yang mengerumuni Tucuxi membicarakan bau yang menyengat itu. Lantas berfoto-foto di ketinggian lereng Gunung Lawu yang indah. Kabut tebal yang menyelimuti jalan dan dataran tinggi itu menambah keindahan pemandangan.
Seandainya waktu istirahat ini dibuat lama, sampai rem dingin, mungkin kecelakaan itu tidak terjadi. Tapi, saya terikat janji dengan Dr Fachri Aly yang akan ke kampung saya sore itu. Dan malamnya kami masih akan salawatan Maulid Nabi dengan Habib Syekh dari Solo di kampung saya itu.
Kami pun segera berangkat lagi. Tucuxi kembali harus menuruni jalan yang curam dan berliku. Kami belum menyadari bahwa tanpa bantuan gearbox, rem akan bekerja sendirian terlalu keras. Kekuatan kaki saya sepenuhnya untuk menginjak rem sedalam-dalamnya. Bau menyengat kembali menusuk-nusuk hidung.
Ketika akhirnya berhasil mencapai Ngerong, saya pun lega. Tidak ada lagi penurunan yang curam dan berkelok. Jalan memang masih akan terus menurun, tapi sudah tidak ekstrem.
Justru di saat hati sudah lega itulah saya merasakan rem Tucuxi tidak lengket lagi. Mobil melaju di jalan yang menurun tanpa bisa dihambat oleh rem. Saya coba angkat rem tangan. Sama saja. Mobil kian kencang. Tidak terkendali. Saya sadar sepenuhnya. Maka, saya harus ambil keputusan cepat. Terlambat sedikit akan banyak memakan korban.
Saya segera memutuskan ini: Lebih baik saya sendiri yang menjadi korban. Saya lihat ada tebing terjal di kanan jalan. Mumpung tidak ada mobil dari arah berlawanan, saya banting setir mobil itu untuk menabrak tebing tersebut. Braaak! Mobil hancur. Tidak ada lagi atap di atas kepala saya. Tapi, saya tidak terpelanting. Saya tetap terduduk di belakang setir. Saya raba kepala saya: Tidak ada darah. Saya raba muka saya: Tidak ada luka. Saya gerakkan kaki-kaki saya: normal. Tidak ada yang terjepit.
Setelah mengucap syukur kepada Allah, saya kembali memuji Mas Danet. Konstruksi mobil ini tidak membuat saya mati terjepit atau menderita luka. Bahkan, tergores sedikit pun tidak. Padahal, seperti kata polisi, kaca-kaca mobil ini bukan kaca fiber yang kalau pecah berubah menjadi kristal. Kaca-kaca ini jenis kaca yang pecahnya membentuk segi tiga-segi tiga kecil. Allahu Akbar!
Saya pun memperoleh pelajaran luar biasa hebat: pentingnya fungsi gearbox. Karena itu, ke depan, masyarakat harus bisa memilih: beli mobil listrik yang pakai gearbox atau yang tidak pakai gearbox.
Mungkin saya akan menghadapi masalah hukum akibat pelanggaran saya ini. Itu akan saya jalani dengan seikhlas-ikhlasnya.
Tapi, pelajaran teknologi itu akan menyelamatkan banyak orang di masa depan. Saya akan jalani konsekuensi itu, tapi ilmu pengetahuan harus tetap berkembang. Tidak boleh terhenti karena kecelakaan itu.
Mobil listrik harus jaya!
Baik Kang Dasep yang menggunakan gearbox maupun Mas Danet yang tidak menggunakan gearbox sama-sama hebatnya. Sama-sama sudah membuktikan diri menjadi putra bangsa yang membanggakan. Tucuxi akan dikenang sepanjang sejarah mobil listrik di Indonesia.
Mas Danet akan terus saya dorong untuk proyek berikutnya. Tentu kalau dia terbuka untuk mendiskusikan teknologinya.
Yang penting putra-putra bangsa harus menguasai teknologi mobil listrik. Saya terbuka untuk putra-putra petir yang lain. Mari berlomba untuk kebaikan negeri. Mumpung negara-negara maju juga baru mulai melakukannya. Kesalahan masa lalu tidak boleh terulang. Kalau mobil listrik tidak kita siapkan sekarang, kita akan menyesal untuk kedua kalinya. Kelak, kalau dunia sudah berganti ke mobil listrik, jangan sampai kita kembali hanya jadi pasar mobil impor seperti sekarang ini!
Mobil listrik made in Indonesia harus berjaya! Sekaranglah saatnya Indonesia punya kesempatan bisa bersaing dengan negara maju!. (*)
MANUFACTURING HOPE 59
Lompatan dari Kegalauan Keri
LUPAKAN dulu soal kecelakaan di lereng Gunung Lawu Sabtu sore lalu. Meski mobil Tucuxi yang saya kemudikan hancur, saya baik-baik saja. Lecet sedikit pun tidak. Ketika bangun pagi Minggu kemarin memang badan terasa njarem dan ubun-ubun kemeng. Tapi, rasanya itu hanya karena dampak benturan yang hebat.
Minggu pagi itu saya sudah bisa ke Nganjuk, Jawa Timur, untuk bertemu masyarakat di hutan jati milik Perum Perhutani. Saya memang lagi belajar apa yang bisa saya lakukan untuk pengentasan kemiskinan di sekitar hutan. Sebelum kecelakaan itu saya keliling hutan di Randublatung, Blora, dan Purwodadi, Jawa Tengah, untuk mendalami persoalan masyarakat sekitar hutan.
Lupakan dulu kecelakaan itu. Memang begitu banyak pelajaran yang saya peroleh dari keputusan saya menabrakkan mobil listrik itu ke tebing, tapi sebaiknya kita bahas lain kali saja.
Lebih baik kali ini kita bicarakan apa yang akan hebat tahun ini.
Akan ada kejutan dari Universitas Padjadjaran, Bandung, khususnya dari fakultas farmasi. Di universitas itu baru saja ditemukan dua macam obat yang sangat penting bagi dunia: obat kolesterol dan diabetes!
Tim Unpad yang menemukan obat kolesterol dan diabetes pertama berbasis non-chemical itu dipimpin seorang ahli yang mumpuni, peneliti yang tangguh, doktor yang cumlaude, wanita yang sangat cantik bernama: Keri Lestari Dandan.
Tim Unpad sudah sepakat untuk bersama BUMN mewujudkan penemuan itu untuk Indonesia dan dunia.
Berita penemuan penting ini sudah menyebar luas ke kalangan farmasi dunia. Sejak itu Doktor Keri diincar banyak negara. Yang paling serius adalah Korea Selatan. Maklum, obat yang ditemukan Dr Keri bukan saja termasuk yang paling banyak diperlukan masyarakat, tapi juga yang pertama yang tidak menggunakan bahan kimia.
Mereka berebut mendapatkan hak paten dari Dr Keri. Memang sudah banyak beredar obat untuk dua jenis penyakit itu, namun semuanya berbasis kimia. Padahal, dunia kian menghindari yang serbakimia. Mulai obat kimia, makanan yang mengandung kimia, sampai kosmetik yang berkimia.
Obat temuan Dr Keri ini berbasis alami. Bahan bakunya buah pala. Hebatnya, Dr Keri tidak hanya bisa mengubah pala menjadi obat-obatan herbal, tapi sudah langsung memprosesnya sebagai obat fitofarmaka: obat tradisional dari bahan alam yang dapat disetarakan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar, ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia. Pemberiannya kepada pasien harus melalui resep dokter.
Biasanya bahan-bahan alami diolah sebatas untuk jamu atau herbal dan paling tinggi herbal terstandar. Tapi, Dr Keri menemukannya untuk obat fitofarmaka.
Mengingat uji klinis sudah dilakukan, disepakatilah 17 Agustus tahun ini sudah harus diproduksi. BUMN sudah menugasi PT Kimia Farma (Persero) Tbk untuk memproduksi dan memasarkannya. Direktur Utama Kimia Farma yang baru, Rusdi Rosman, yang juga lulusan Fakultas Farmasi Unpad, sudah menyanggupinya.
“Akan kami produksi di pabrik kami yang di Bandung,” ujar Rusdi. “Agar lebih dekat dengan Unpad,” tambahnya.
Tentu saya sangat bangga pada kerja sama BUMN dengan Unpad ini. Begitu gigihnya pihak luar negeri ingin mendapatkan penemuan ini. Tapi, Unpad dan Dr Keri tetap mempertahankannya untuk Merah Putih.
Kimia Farma kini memang sudah lebih kuat. Harus mampu mewujudkannya. Labanya pada 2012 sudah meningkat menjadi lebih dari Rp 200 miliar. “Memang, kalau temuan ini kami lepas, banyak yang memperebutkannya,” komentar Rusdi Rosman.
Obat antikolesterol adalah obat kedua yang paling banyak dibutuhkan masyarakat. Mencapai 15 persen. Sedangkan obat diabetes berada di urutan ketiga yang mencapai 12 persen. Urutan pertama adalah obat kanker, 18 persen.
Mengingat pasar obat-obatan di Indonesia sangat besar (mencapai Rp 50 triliun tahun ini), tentu kita tidak rela kalau pasar tersebut tersedot ke luar negeri. Pabrik-pabrik obat di dalam negeri, termasuk pabrik obat tradisional, harus berjuang mati-matian untuk merebutnya. Temuan Dr Keri adalah salah satu senjata penting untuk pertempuran itu.
Setelah sukses memproduksi temuan Dr Keri dalam bentuk fitofarmaka, Kimia Farma juga akan memproduksinya dalam bentuk herbal terstandar. Tapi, demi Indonesia, saya minta Kimia Farma memprioritaskan yang fitofarmaka dulu.
Kerja sama BUMN-Unpad tersebut bermula pada pertengahan tahun lalu. Waktu itu saya diminta memberikan keynote speech di acara besar di Fakultas Farmasi. Hari itu saya tidak mau memberikan pidato. Dari atas podium saya langsung saja menantang para farmasis yang hadir di aula besar itu: apa yang diinginkan dari saya.
Ternyata banyak yang angkat tangan. Dalam hati saya berpikir: lebih penting para farmasis itu bicara daripada saya yang pidato. Belum tentu saya bisa pidato bagus mengenai obat-obatan. Saya tidak tahu banyak bidang itu. Dan lagi, di zaman Twitter ini, siapa yang masih mau mendengarkan pidato?
Ternyata betul. Semua yang angkat tangan itu mengemukakan masalah yang penting di dunia pengobatan. Terutama menghadapi akan berlakunya BPJS: dokter galau, farmasis galau, rumah sakit galau, dan pedagang obat juga galau.
Termasuk para peneliti di universitas pun galau. Temuan-temuan mereka kurang mendapat perhatian.
Saat itu juga, I Gede Subawa, Dirut PT Askes (Persero) yang juga hadir, saya minta maju. Saya minta untuk dibentuk tim kecil antara BUMN bidang kesehatan dan ahli-ahli farmasi dari Unpad. Saya beri batas waktu dua minggu untuk merumuskan: apa yang bisa dilakukan bersama.
Kurang dari dua minggu Dr Keri dan tim dari Unpad ternyata sudah datang ke ruang kerja saya membawa konsep lengkap tentang apa yang harus dikerjakan. Saya juga menghadirkan para Dirut BUMN bidang kesehatan.
Ada Dirut Kimia Farma Rusdi Rosman, Dirut PT Indofarma (Persero) Tbk Djakfaruddin Junus, Dirut PT Bio Farma (Persero) Iskandar, Dirut PT Phapros Tbk, anak perusahaan PT RNI (Persero), Erlangga Tri Putranto, dan Dirut Askes I Gede Subawa.
Mendengar paparan Dr Keri yang begitu hebat, saya langsung berunding dengan tim BUMN kesehatan tersebut. Saat itu juga kami putuskan penemuan Dr Keri tidak boleh lari ke luar negeri!
BUMN kesehatan mampu mewujudkan jerih payah tim Unpad ini menjadi kenyataan yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Apalagi, uji klinik fase pertama sudah berhasil dilakukan. Uji klinik terakhir sudah hampir selesai, yang nadanya juga sangat positif.
Kami bertekad tidak perlu lagi impor obat kolesterol dan diabetes yang begitu besar. Bahkan, kita harus ekspor. Maka kami putuskan, Agustus tahun ini jadi tonggaknya! (*)
MANUFACTURING HOPE 58
Tahun 2013 yang Juga Tahun Permen
TAHUN 2013 bagi BUMN tetap saja tahun plus-minus. Harga sawit, karet, dan hasil tambang belum akan membaik. Perusahaan-perusahaan BUMN di sektor-sektor komoditas primer itu masih akan berat. Padahal, sektor tersebut sangat besar di BUMN. Tapi, begitulah komoditas: punya siklus naik-turunnya sendiri. Tapi, dibilang terlalu berat juga tidak. Hanya, tidak lagi bisa diandalkan untuk memupuk pundi-pundi dividen.
Yang masih akan terus hebat adalah sektor perbankan, industri semen, dan telekomunikasi. Program Bank Mandiri untuk menyatu dengan Taspen dan Pos Indonesia akan menandai perkembangan bank itu di tahun 2013. Bahkan kalau ada langkah lebih radikal dari itu pun akan didukung. Demikian juga Bank Rakyat Indonesia. Beberapa aksi korporasi besarnya akan dilakukan pada 2013. Dua bank tersebut memiliki dukungan teknologi yang sangat kuat.
Sektor telekomunikasi juga terus didorong untuk melakukan ekspansi, termasuk ke luar negeri. PT Telkom Indonesia dengan anak bongsornya, PT Telkomsel, kini memiliki kemampuan yang luar biasa untuk bisa diandalkan. Demikian juga industri semen. PT Semen Indonesia sudah resmi berdiri minggu lalu. Dengan demikian, PT Semen Gresik, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, dan PT Thang Long Vietnam kini menjadi anak perusahaan PT Semen Indonesia.
Di sektor layanan publik, tahun 2013 juga memiliki arti khusus. PT Pupuk Indonesia yang merupakan induk PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Sriwidjaja, PT Pupuk Kujang, dan PT Petrokimia Gresik melakukan perubahan besar di bidang sistem pendistribusian pupuk. PT Pupuk Indonesia melakukan rayonisasi tanggung jawab penyaluran pupuk.
Tiap-tiap anak perusahaan mempunyai wilayah tanggung jawab sendiri-sendiri. Tidak seperti dulu, pupuk dari satu pabrik bisa ke daerah mana pun. Akhirnya terjadi saling serang, saling tumpang tindih, dan salah-menyalahkan. Dulu, bisa saja di suatu daerah pupuk berasal dari berbagai pabrik. Padahal, semua pabrik itu BUMN. Namun, dengan kendali holding sekarang ini, pembagian wilayah bisa dilakukan.
Di libur Natal pekan lalu saya melakukan pengecekan ke kios-kios pupuk di daerah Sleman. Saya sengaja berkunjung diam-diam, tidak memberi tahu lebih dulu dan tidak didampingi staf. Saya ingin mengecek langsung apakah rayonisasi tanggung jawab penyaluran pupuk tersebut bisa berjalan baik. Mumpung hari-hari ini adalah hari-hari petani sangat memerlukan pupuk.
Hasil rayonisasi itu sangat baik. Tidak ada lagi penimbunan pupuk di satu daerah dan kekurangan pupuk di daerah lain. “Sekarang tidak ada lagi pupuk selundupan,” ujar pemilik kios pupuk di desa Krapyak, Sleman. Dia sendiri tidak berani menyelundupkan pupuknya ke desa lain. “Takut izin saya dicabut oleh Pupuk Indonesia,” katanya.
Saya sangat menghargai ide rayonisasi tanggung jawab penyaluran pupuk tersebut. Dengan rayonisasi itu, bisa diketahui dengan jelas siapa yang bersalah. Misalnya bila terjadi kelangkaan pupuk di suatu daerah. Para tengkulak yang selama ini mendapat keuntungan dari penimbunan pupuk memang akan kehilangan objekan.
PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) pada 2013 juga masih akan jadi sorotan. Bahkan, sorotan itu mungkin akan lebih keras. Sebab, di tahun 2013 PT KAI mulai melakukan pembenahan KRL di Jabodetabek. Di KRL itu, setiap perubahan akan menimbulkan kebisingan yang luar biasa.
Saya sangat terkesan dengan strategi pembenahan PT KAI itu. Dua tahun terakhir ini fokus pembenahan KAI diperuntukkan kereta api rute jauh. Bukan KRL. Memang KRL dibenahi juga, tapi tidak sehabis-habisan pembenahan kereta api jarak jauh. Mengapa? Begitulah memang strateginya. Bagi yang ingin belajar mengenai strategi manajemen baik juga diceritakan di sini.
Bagi manajemen yang biasa-biasa saja tentu akan langsung membenahi KRL dulu. Dengan membenahi KRL, direksinya akan cepat mendapat pujian dan terhindar dari segala caci maki. Tapi, direksi PT KAI tidak tergoda dan tidak tergiur oleh pikiran jangka pendek seperti itu. Direksi PT KAI memilih membenahi dulu rute jarak jauh. Memang caci maki terus bertubi-tubi dari pengguna jasa KRL, tapi direksi PT KAI teguh pendirian untuk tetap pada strateginya.
Alasannya sangat baik: Rute jarak jauh adalah sektor yang bisa dipakai untuk memupuk modal. Hasil rute itu bisa memperkuat keuangan perusahaan. Itu terbukti. Meski jumlah penumpang turun (karena tidak boleh lagi ada yang berdiri), penghasilan perusahaan naik. Dengan demikian, pelayanan juga bisa lebih baik: Semua penumpang mendapat tempat duduk.
Dengan modal itu, PT KAI kini lebih memiliki kekuatan untuk melakukan pembenahan KRL. Kereta api jarak jauh sudah tidak terlalu membebani pikiran direksinya. Tahun 2013 konsentrasi direksi bisa lebih fokus ke KRL.
Kalau yang dibenahi dulu adalah KRL, direksi akan memikul dua beban sekaligus. Pembenahan KRL tidak bisa memperkuat keuangan perusahaan. Akhirnya KRL sendiri tetap sulit dan rute jarak jauh juga tidak tertangani. Ini karena KRL, ditangani sebaik apa pun, tidak akan bisa menghasilkan modal yang besar bagi pembenahan seluruh rute kereta api Indonesia.
Maka, tahun 2013 adalah tahun bagi KRL: Stasiun-stasiun dibenahi, emplasemen ditambah, sinyal diperbaiki, kereta ditambah.
BUMN pangan juga harus bekerja keras di tahun 2013. PT Sang Hyang Seri (SHS) baru memulai proyek pencetakan sawah baru besar-besaran di Ketapang, Kalbar. PT Pertani akan berubah total dengan mulai berkonsentrasi pada pascapanen. Gudang-gudang Pertani akan dilengkapi dengan mesin pengering gabah secara besar-besaran. Dengan demikian, kehadiran PT Pertani benar-benar dirasakan oleh petani dan memiliki arti yang strategis.
PT Berdikari pada 2013 juga memulai kerja sesungguhnya untuk mengatasi kekurangan sapi di dalam negeri, baik sapi potong maupun sapi anakan. Dan PTPN XII akan habis-habisan memulai sejarah baru bagi Indonesia: menanam sorgum dalam jumlah yang belum pernah terjadi dalam sejarah kita.
Sorgum itu akan ditangani dengan pendekatan sains modern bersama PT Batantek. Mulai bibitnya sampai soal pascapanennya. Kini sedang dirancang penanaman sorgum di Atambua, NTT, yang mengandalkan sains itu. Termasuk akan diproduksi “permen sorgum” untuk makanan ternak. “Permen” tersebut akan sangat mudah dikirim ke mana-mana untuk mempercepat penggemukan sapi.
Begitulah. Tahun 2013 adalah tahun kerja yang akan sangat menantang! Karena itu, seorang direksi BUMN mengusulkan agar angka 13 tidak perlu dipakai. Kita sebut saja tahun depan adalah tahun 2012-B!
MANUFACTURING HOPE 57
Kemauan 24 Karat Bersawah Baru di Ketapang
TELUR besar ini akhirnya menetas juga. Rencana BUMN membuka sawah baru secara besar-besaran akhirnya terwujud. Rencana itu memang sempat tertunda enam bulan, tapi itu semata-mata karena harus pindah lokasi. Terutama karena pengadaan lahan di Kalimantan Timur tidak bisa secepat yang diprogramkan.
Akhirnya, lokasi yang tepat ditemukan: di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Luasnya bisa sampai 80.000 ha yang kelak bisa bulat menjadi 100.000 ha.
Senin, 17 Desember, penanaman pertama padi di lokasi itu dimulai.
Inilah pembukaan sawah baru secara besar-besaran yang pertama di Indonesia dan dilakukan dengan sistem mekanisasi penuh. Mulai pengolahan tanah, penanaman, sampai ke panennya nanti.
Saya sempat termangu sebelum menerjunkan kaki telanjang ke sawah yang siap ditanami itu. Waktu remaja, saya memang pernah menjadi buruh ndaut dan menanam padi. Tapi, tidak begini. Waktu itu, saya harus menanam padi dengan menggunakan tangan yang dicelupkan ke tanah lumpur sambil berjalan mundur dengan badan membungkuk.
Tapi, Senin lalu sudah begitu berbeda. Menanam padi dengan mesin! Baru sekali ini saya melihat dan memegang mesin penanam padi yang disebut rice transplanter itu.
Ternyata mudah sekali dan sangat cepat. Tidak perlu belajar lama. Hanya dengan penjelasan beberapa kalimat, saya bisa langsung menjalankan mesin itu.
Penanaman tahap pertama ini akan mencapai 3.000 ha. Di 2013 yang segera tiba akan diteruskan menjadi 40.000 ha. Akhirnya, di 2014 bisa mencapai 100.000 ha. Untuk itu, BUMN akan mengusahakan dana sampai Rp 5 triliun.
Penanggung jawab proyek itu adalah salah satu BUMN pangan, PT Sang Hyang Seri (SHS). Dirutnya, Kaharuddin, sudah bertekad SHS yang selama ini hanya menangani benih harus menjadi BUMN pangan yang besar. Selama ini, PT SHS dan juga BUMN pangan lainnya seperti PT Pertani terlalu kecil untuk bisa diandalkan sebagai BUMN pangan bagi sebuah negara agraris yang sangat besar seperti Indonesia.
Dengan menggarap sawah baru ini, PT SHS mengalami transformasi besar-besaran. Kini SHS tidak hanya memikirkan benih, tapi sekaligus menanamnya. Tentu SHS tidak akan mampu menyiapkannya sendirian. Sebanyak “12 samurai” yang tergabung dalam Sinergi BUMN Peduli ikut mendorongnya dari belakang.
Ada yang membantu teknologi (seperti PT Batantekno dan PT Pupuk Indonesia), ada juga yang ambil bagian untuk land clearing dan penyiapan lahan (PT Hutama Karya, PT Brantas Abipraya), konsultan perencanaan dan pengawasan (PT Indra Karya dan PT Yodya Karya). Selama ini, BUMN karya itu dikenal ahli dalam merencanakan dan membuat infrastruktur jalan dan pengairan.
PT Brantas Abipraya sudah berpengalaman membuka sawah baru meski kecil-kecilan. “Kelas 1.000 hektaran,” ujar Bambang Esti Marsono, Dirut Brantas. Bahkan, “Indra Karya pernah membuat perencanaan sawah 16.000 ha di luar negeri. Yakni, di Papua Nugini,” kata Agus Widodo, Dirut Indra Karya.
Selebihnya, Bank BNI, Bank Mandiri, Bank BRI, PGN, Pertamina, PT Indonesia Port Corporation (IPC), dan beberapa BUMN lain mendukung dari sisi pendanaan.
Kekuatan para raksasa BUMN itulah yang akan diandalkan. Tak ayal, di sawah baru ini alat-alat berat seperti traktor, ekskavator, mesin-mesin bajak, dan mesin tanam terlihat di mana-mana. Tidak terlihat sama sekali, misalnya, kerbau atau sapi.
Sistem pembibitannya pun tidak lagi di tanah sawah. Bibitnya dibenihkan di baki-baki siap saji. Ketika berumur 15 hari, bibit itu sudah bisa dilepas dari bakinya untuk dimasukkan ke mesin tanam. Dalam waktu singkat, bibit sudah tertanam sekaligus empat-empat dalam barisan yang rapi.
Untuk sementara, proyek ini kami sebut “nonkapitalis farming”. Artinya, BUMN tidak membeli tanah itu dari rakyat. Tidak seperti kebun sawit. Tanahnya tetap dimiliki rakyat. BUMN hanya menjadi pekerja dan pemegang manajemennya. Yang akan menikmati hasilnya adalah para petani pemilik lahan.
Tanah-tanah di Ketapang itu selama ini praktis menganggur. Petani hanya menanam semampunya. Akibatnya, tanah-tanah di situ tidak produktif. Para petani pun tetap saja menjadi petani miskin. Itulah sebabnya, proyek ini juga dimaksudkan untuk sekalian membantu mengatasi kemiskinan di pedesaan.
Kebetulan Bupati Ketapang Drs Hendrikus MSi punya kebijakan bagus, yang seirama dengan sistem nonkapitalis farming-nya BUMN ini. “Kami tidak akan mau lagi memberikan izin untuk kebun sawit,” ujar Boyman Harus SH, wakil bupati Ketapang yang ikut hadir dalam acara tanam pertama sawah baru itu. “Kebun sawit hanya menyengsarakan rakyat kami,” tambahnya. “Program BUMN ini pas banget dengan kebijakan kami,” tambah Boyman.
Tiga bulan mendatang, saat panen pertama di sawah baru ini, kita akan tahu hasil yang sebenarnya. Semula hasil sawah baru ini diasumsikan tidak besar. Hanya sekitar 3 ton/ha. Begitulah doktrinnya. Sawah baru tidak bisa langsung produktif. Baru pada tahun-tahun berikutnya hasilnya bisa meningkat.
Namun, kami tidak menyerah pada teori lama seperti itu. Sains kami libatkan di proyek ini. Misalnya, diawali dengan menggunakan produk baru pupuk Indonesia, Kapurtan, untuk mengendalikan pH. Bahkan, PT Batantekno (Persero) dilibatkan untuk melakukan iradiasi nuklir pada benihnya. Kami berharap hasilnya kelak bisa langsung di sekitar 6 ton/ ha.
Setelah itu, terus dinaikkan ke angka 8 ton/ha. Toh, ini bukan lahan sawah pasang surut yang pengerjaannya lebih sulit.
Usai acara penanam pertama itu, di ruang tunggu Bandara Ketapang, kami melakukan rapat terbatas dengan para direksi BUMN yang terlibat di proyek ini. Ada Tri Widjajanto (Dirut HK), ada R.J. Lino (Dirut IPC), ada Bambang Esti Marsono (Dirut Brantas), Eddy Budiono (Dirut Pertani), Kaharuddin (Dirut SHS), dan beberapa yang lain.
Kami membulatkan tekad baru ini: langkah telah diayunkan, kaki telah dipijakkan, mimpi telah dikonkretkan, cita-cita besar mulai direalisasikan; ujungnya hanya satu: harus berhasil! (*)
MANUFACTURING HOPE 56
Semua Luh dan Las Sudah Berganti Tus
MINGGU pagi pukul lima kemarin. Hotel Borobudur Jakarta masih sunyi. Tapi, di dalam ballroom hotel itu hampir 1.000 orang menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan gegap gempita. Mereka adalah karyawan terbaik seluruh pabrik gula milik BUMN yang baru saja menyelesaikan musim giling 2012. Mereka adalah para pekerja keras yang telah mengubah wajah seluruh pabrik gula hanya dalam waktu kurang dari setahun. Mereka adalah para “kopassus” yang untuk rapat kerja yang dimulai pukul 05.00 pun dalam posisi “siaaaap”!
Mereka berkumpul lagi kali ini untuk membahas hasil kerja keras mereka setahun terakhir. Juga untuk merumuskan perbaikan apa lagi yang harus dilakukan pada 2013 yang segera tiba.
Krebet Baru (Malang) dan Ngadirejo (Kediri) adalah dua pabrik gula dengan capaian terbaik tahun ini. Krebet Baru untuk kali pertama bisa mengalahkan pabrik gula swasta di sebelahnya. Ngadirejo yang dulu hampir dilepas ke swasta, hanya kalah tipis dari Krebet Baru. Bahkan, bisa jadi Ngadirejo lebih unggul kalau saja mulai gilingnya sedikit mundur, menunggu umur tebu sedikit lebih tua.
PTPN X, di bawah Dirut Subiyono, mendominasi prestasi tahun ini. Sembilan PG di bawah Subiyono semuanya masuk prestasi papan atas. Tapi, lonjakan terbesar sebenarnya diperoleh PTPN XI. Semula, 16 PG di bawah PTPN XI jelek semua dan banyak sekali yang rugi. Bahkan, tiga di antaranya menjadi pasien UKP4 pimpinan Kuntoro Mangkusubroto itu. Tahun ini delapan pabrik di lingkungan PTPN XI sudah masuk prestasi papan atas. UKP4 langsung mencabut status pasien di tiga pabrik gula tersebut.
“Intinya, semua harus disiplin,” ujar Andi Punoko, Dirut PTPN XI, menjawab pertanyaan mengapa PTPN XI bisa bangkit serentak seperti itu. “Disiplin tanam, disiplin bibit, disiplin pupuk, disiplin tebang, disiplin angkut, disiplin pemeliharaan, dan disiplin pengoperasian pabrik,” katanya.
Di samping pembenahan internal, dilakukan terobosan eksternal. Tahun ini seluruh pabrik gula memberikan jaminan rendemen minimal kepada petani tebu. Manajemen juga membuka diri setelanjang mungkin kepada petani. Bahkan, semua pabrik gula melepaskan begitu saja kepada petani gula yang menjadi hak petani.
Dengan demikian, tahun ini petani tebu mendapatkan hasil yang sangat baik. Di PTPN XI saja ada uang Rp 150 miliar yang dulu jatuh ke pihak ketiga, sekarang jatuh langsung ke petani tebu. Belum lagi rendemen yang naik dan harga gula yang bagus.
Karena itu, saya tegaskan tahun depan tidak boleh lagi pabrik gula meminjam dana dari pihak ketiga dengan cara seperti mengijonkan gulanya. Bank-bank BUMN sanggup menyediakan dana talangan itu.
Dengan modal kepercayaan petani tebu yang sudah pulih seperti itu, tahun depan bisa diharapkan keadaannya akan lebih baik lagi. Pabrik gula bisa mengenakan disiplin yang lebih ketat kepada petani, antara lain, demi petani itu sendiri. Misalnya, bagaimana petani hanya boleh mengirim tebu ke pabrik dalam kondisi MBS (manis, bersih, segar).
Artinya, petani tidak boleh mengirim tebu muda yang kadar manisnya belum cukup. Tebu yang dikirim juga harus bersih, tidak banyak campuran daun kering atau tanah. Tebunya harus masih segar, begitu ditebang harus langsung dikirim ke pabrik.
Prinsip MBS itu diterapkan tanpa tebang pilih. “Tahun ini kami menolak 100 truk tebu yang dikirim ke pabrik dalam keadaan tidak MBS,” ujar Administrator PG Ngadirejo. “Termasuk tebu milik bekas pejabat pabrik gula sendiri,” tambahnya. “Tidak ada lagi KKN,” katanya.
Maka, seperti halnya PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) yang dari rugi menjadi untung lebih Rp 300 miliar, PTPN XI pun yang tahun lalu rugi Rp 150 miliar tahun ini laba di atas Rp 100 miliar. Bahkan, sektor gula PTPN IX yang tahun lalu rugi hampir Rp 200 miliar tahun ini sudah laba Rp 15 miliar. Sedangkan PTPN X tetap menjadi raja laba dengan total sampai Rp 500 miliar.
“Pokoknya, kalau tahun lalu hanya luh atau las, kini sudah serba tus,” ujar Zamkhani, deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Industri Primer. Maksudnya, dulu-dulu labanya puluhan atau belasan, kini serba ratusan miliar.
Begitu banyak pelajaran yang diperoleh dari terobosan-terobosan tahun ini. Dalam forum besar pukul lima pagi kemarin itu juga diadakan dialog tukar pengetahuan bidang tanaman, teknik, dan pengolahan. Para kepala bagian saling sharing keunggulan pabrik masing-masing.
Tahun depan giliran kondisi fisik pabrik yang harus berubah. Taman-taman, lantai-lantai, tembok-tembok, atap-atap, mesin-mesin, semuanya harus indah, rapi, dan bersih. Pabrik-pabrik itu harus bisa sebersih mal.
Lima bulan lagi saya akan kembali keliling seluruh pabrik gula BUMN. Benarkah saya sudah bisa melihat “mal-mal” di tengah kebun tebu itu! (*)