Keset banyak digunakan sebagai alas kaki di rumah-rumah penduduk, mulai dari kalangan bawah menengah hingga kalangan elit. Tapi tahukah anda bagaimana nasib kehidupan para pengrajin keset? Lebih jelasnya mari kita lihat kondisi keluarga pengrajin keset di Kampung Buaran Desa Jatimulya Kecamatan Sepatan Timur.
Ening (55), adalah satu dari sekian banyak pengrajin keset yang ada di wilayah itu. Dia sekeluarga menggantungkan hidupnya dari usaha tersebut. Sayangnya, keuntungan yang didapat hanya cukup untuk makan keluarganya, sedangkan anak-anaknya terpaksa harus putus sekolah.
Sudah lima tahun Ening menjalani profesi sebagai pengrajin keset sejak dirinya berhenti menjadi kuli bangunan karena sakit yang dideritanya. Meski usianya sudah separuh abad lebih, Ening tetap memiliki etos kerja dan berkarya demi keluarganya.
“Ada puluhan pengrajin keset di Kampung ini, kebanyakan mereka hanya menggantungkan hidupnya dari keuntungan penjualan keset. Ya, meski tidak banyak rata-rata keuntungan yang diperoleh hanya Rp15 ribu lebih. Kalau banyak yang diproduksi ya keuntungan bisa bertambah juga,” ungkap Ening.
Pria yang sudah tumbuh uban ini mengajak serta, Saiyah istrinya, Maah mertuanya dan kedua anaknya Sarim dan Sarkim memproduksi alas kaki. Masing-masing bertugas sesuai bagiannya, ada yang menggunting, menganyam dan ada juga yang memilah bahan. Setiap hari rata-rata keluarga Ening mampu menghasilkan satu kodi atau 20 keset. “Perkodi dijual dengan harga Rp36 ribu, setiap hari ada pengepul yang datang untuk mengambil keset. Keuntungannya hanya cukup untuk makan sehari-hari,” akunya.
Bahkan dua anaknya yang terakhir terpaksa tidak dapat meneruskan jenjang pendidikan, karena tidak memiliki uang cukup. Sarim hanya mampu mengenyam pendidikan hingga kelas 5 SD, sedangkan Sarkim berhenti sekolah saat duduk di kelas 3 MTs.
“Mereka berhenti karena tidak ada biaya dan waktu itu juga saya sakit. Jadi sekarang mereka ikut membantu mencari uang dengan membuat keset. Jika ada biaya saya tetap berkeinginan anak saya bisa sekolah seperti anak-anak lainnya,” tuturnya.
Sementara untuk produksi keset sendiri, Ening memanfaatkan bahan dari sisa limbah garmen. Ending mengetahui seluk beluk membuat keset dengan belajar otodidak dari pengrajin lainnya. “Untuk bahan dibeli perkilo, dengan harga Rp2000/kg. Biasanya saya mampu membeli 20 kilo, kalau modal lagi banyak bisa membeli banyak juga bahannya. Yah paling banyak pernah 50 kilo,” jelasnya.
Dia berharap pemerintah bisa membantu para pengrajin di Kampung Pabuaran Desa Jatimulya agar lebih berkembang. Selain, produknya mudah untuk dipasarkan kata Ending, di Desanya juga terdapat pengrajin lainnya, seperti tempe. “Peran pemerintah sangat diperlukan untuk mengembangkan usaha rumahan seperti kami ini,” imbuh pria tersebut.
Sebelumnya, salahsatu pengrajin dompet di Kampung Samprog Desa Sukamulya Kecamatan Cikupa, Eddi Dian juga berharap perhatian serius dari pemerintah untuk mengembangkan produk kerajinan lokal mereka. Karena tergerus produk impor, salahsatunya dari China. Serta sulitnya memasarkan hasil kerajinannya di Kabupaten Tangerang.
Sementara itu Ketua Asosiasi Pengerajin Tangerang (APTA) Ciptono mengatakan, dalam hal ini sudah menjadi kewajiban pemerintah, terutama pemerintah daerah yang harus bisa mengembangkan kerajinan lokal. “Seharusnya hal-hal seperti ini sudah menjadi tanggung jawab pemerintah, tapi ini tidak. Kami pengerajin lokal harus berusaha sendiri sekuat kami untuk mengembangkan kerajinan lokal,” pungkasnya.(aditya/jarkasih)
Kisah Keluarga Ening, Pengrajin Keset di Desa Jatimulya, Sepatan Timur
July 17th, 2012 Editorial-3