Andatu, bayi badak pertama di dunia yang lahir dari perkawinan induk di penangkaran dalam 124 tahun terakhir, tumbuh sangat sehat. Kalau sudah punya 10 badak, baru Suaka Rhino Sumatera dibuka untuk publik.
Setelah beberapa kali terhenti karena ada ular, biawak, dan beberapa jenis kera yang melintas, perjalanan naik ojek selama sekitar setengah jam dari mulut Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Lampung, itu akhirnya sampai juga. Di hadapan mata, terhampar pintu gerbang tempat yang sekitar dua setengah bulan lalu menjadi sorotan dunia: Suaka Rhino Sumatera (SRS).
Tampak beberapa pegawai SRS sibuk dengan aktivitas masing-masing. Mulai mengontrol area hingga sekadar membersihkan mobil 4WD yang menjadi kendaraan operasi mereka di dalam hutan.
“Mari, silakan. Beginilah kondisi kami orang hutan,” sapa Direktur SRS drh Dedi Candra ramah lantas terkekeh.
Di tempat seluas 100 hektare itulah pada 23 Juni lalu lahir Andatu, bayi badak sumatera bercula dua (Dicerorhinus sumatrensis) pertama yang lahir dari perkawinan induk di penangkaran. Padahal, upaya konservasi perkembangbiakan hewan yang secara garis evolusi berkerabat dengan tapir dan kuda itu sudah dimulai 124 tahun silam di India.
Tak pelak, kelahiran badak hasil perkawinan Andalas (pejantan, 11 tahun) dengan Ratu (betina, 13 tahun) itu menjadi sorotan internasional. Tercatat, tim dokter dari Indonesia, Australia, Amerika Serikat, dan Badan Konservasi Dunia (IUCN) turut terlibat. Sebuah kamera khusus terpasang di salah satu kandang SRS yang ditempati Ratu. Semua gerak-geriknya direkam hingga akhirnya bayi bersejarah tersebut lahir pukul 00.45 pada 23 Juni lalu.
Kini perkembangan Andatu sangat pesat. Dedi menceritakan, ketika lahir dulu, bobot bayi badak jantan itu mencapai 30 kg. Tapi, sekarang bobot Andatu sudah menembus 95 kg. “Ini pertumbuhan normal, tapi agak cepat,” kata dokter hewan alumnus IPB tersebut.
Dia menambahkan, umumnya badak memang tumbuh lumayan cepat ketika masuk usia-usia muda. Tapi, setelah menginjak umur 10 tahun, pertumbuhan badannya mulai lambat.
Saat ini ada tiga betina yang dirawat SRS. Selain Ratu, ada badak betina bernama Bina, 27, dan Rosa, 12. Dedi mengungkapkan, karena baru melahirkan, Ratu belum bisa dikawinkan lagi. Ia membutuhkan waktu sekitar 2 tahun untuk merawat anaknya dulu. Baru setelah itu siap dikawinkan lagi.
Sekarang SRS tengah berfokus menjodohkan dua “tante” Andatu, yaitu si Rosa dan Bina. Dua badak tersebut dijodohkan dengan Andalas, satu-satunya badak sumatera jantan dewasa di tempat tersebut yang didatangkan dari Kebun Binatang Cincinnati, AS, pada 2007. Tapi, induk Andalas juga berasal dari SRS.
“Perilaku kawin sudah berkali-kali, tapi belum ada yang jadi,” ujar Dedi.
Menurut dia, kegagalan pembuahan meski kawin berkali-kali itu memang dipicu kualitas sperma. Jika dibanding hewan-hewan lain, sperma badak cenderung kalah secara kualitas. “Tapi, bukan mandul, hanya kurang berkualitas. Itu memang bawaan,” tutur bapak Ilham Figo dan Azka Harzan Hanif tersebut.
Selain dipicu persoalan sperma yang kurang berkualitas, pembuahan sangat sulit karena siklus masa subur badak betina yang cepat dan sebentar. Dedi menjelaskan, badak betina siap dibuahi dalam rentang 20″25 hari. Dalam rentang waktu itu, hanya ada satu hari masa subur.
Jika pas masa subur tersebut si badak jantan loyo, otomatis perkawinan tak bisa terjadi. Begitu pula sebaliknya. Jika pada masa subur itu si betina tidak mau menjalankan ritual “foreplay” untuk memancing gairah badak jantan, “making love” pun tak berlangsung.
Sulitnya pembiakan badak itulah yang membuat kelahiran Andatu sangat disyukuri. Saat ini, populasi badak sumatera di habitat aslinya tinggal 200 ekor. Di luar habitat, ada 10 ekor, termasuk empat yang saat ini berada di SRS. Enam lainnya berada di Sabah, Malaysia (tiga ekor), dan AS (tiga ekor).
Karena itu pula, kawasan SRS belum bisa dibuka untuk umum. Penangkaran badak tersebut hanya dibuka untuk keperluan riset, publikasi, serta kebijakan pemerintah. Memasukinya pun perlu izin khusus. “Kalau jumlah badak di sini mencapai 10 saja, baru bisa dilihat masyarakat umum,” kata Dedi.
Di bagian tengah lokasi penangkaran atau konservasi terdapat area khusus untuk kawin. Perlu area khusus karena badak menunjukkan perilaku unik saat musim kawin tiba.
Tanda pertama, badak betina selalu berdampingan atau mendekati badak jantan, meski disekat pagar berlistrik. Jika perilaku itu tampak dalam beberapa hari seperti yang terekam dalam CCTV yang disebar di semua penjuru SRS, berarti pasangan badak tersebut dijodohkan dan ditempatkan di kandang khusus.
“Ritualnya unik. Mereka berantem dulu sebelum kawin,” tutur Dedi. Karena itu, lanjut dia, stamina kedua badak harus benar-benar fit. Si jantan baru bisa kawin ketika si betina sudah merasa ditaklukkan oleh serangan si jantan tersebut.
Dedi sadar, upaya memperbanyak badak sumatera sehingga aman dari ancaman kepunahan tidak bisa menunggu perkawinan alami saja. Cara yang sedang dia rancang, antara lain, kawin suntik. Perkawinan rekayasa itu mirip kawin suntik pada sapi.
Di Afrika Selatan, pernah ada kasus kawin suntik badak yang berhasil dan melahirkan anakan badak baru. Tapi, anakan itu ternyata tidak berumur lama, tidak seperti anakan hasil perkawinan alami yang memiliki peluang hidup lebih besar.
Selain menggunakan teknik kawin suntik, upaya memperbanyak badak sumatera adalah dengan kloning. “Itu langkah akhir dan butuh riset besar. Tapi, tidak mustahil untuk diterapkan,” tegas Dedi. Semua itu dilakukan agar ada generasi baru selain si Andatu.(hilmi/c5/ttg/fah/jpnn)
Kisah Andatu, Bayi Badak yang Jadi Sorotan Dunia
September 3rd, 2012 Editorial-3