Kartini, Berjuang Keluar dari Gelimang Narkoba ke Kuliner “Penjara”

RUWETNYA kondisi dan pembinaan di lembaga pemasyarakatan (lapas) tak sepenuhnya bisa dijadikan alasan bagi narapidana sulit berubah menjadi baik. Kisah mantan pengedar narkoba bernama Kartini ini bisa menjadi bukti.

GUNAWAN SUTANTO, Bandung

BERJALAN meninggalkan Lapas Sukamiskin, Bandung, perempuan itu tampak memegang sebuah buku tipis. Sekilas terbaca di sampulnya: KUHP.

Tapi, dia bukan pengacara. Juga tidak sedang terbelit kasus hukum. Urusannya justru dengan isi perut. Kartini, nama perempuan itu, memang pengelola sebuah depot. Dan, KUHP di tangannya bukanlah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Melainkan kitab urutan hidangan/penganan.

”Buku ini menu depot yang kami dirikan dengan mantan warga binaan (narapidana, Red) Lapas Wanita Bandung,” ujarnya kepada Jawa Pos yang menemuinya di sekitar Lapas Wanita Kelas II-A Sukamiskin, Bandung, kemarin (3/4).

Beberapa saat sebelum bertemu Jawa Pos, dia baru saja melakukan pembicaraan kerja sama pengelolaan depot milik Lapas Tipikor Sukamiskin. ”Keputusannya besok (hari ini, Red). Mudah-mudahan dapat,” katanya.

Depot bernama Modus alias Modal Usaha Bersama adalah wujud keseriusan Kartini untuk kembali membangun hidupnya. Meninggalkan masa lalu yang kelam, menuju masa depan yang lebih baik.

Depot yang berlokasi di Lembang, Kabupaten Bandung, itu dia dirikan setelah keluar dari penjara karena kasus narkoba melalui mekanisme pembebasan bersyarat pada Desember tahun lalu. Modalnya patungan dengan sesama mantan penghuni Lapas Wanita Bandung.

”Memang bisnisnya bersama mantan warga binaan yang sama-sama ingin berubah,” ujar perempuan kelahiran Cilegon tersebut.

Niat berubah itu sudah dia inisiatori saat masih berada di dalam bui. Kartini sempat membuat komunitas yang bernama Permata Warna, kependekan dari persahabatan mantan warga binaan.

Komunitas itu berupaya melakukan kegiatan positif agar bisa kembali diterima masyarakat. ”Jadi, pas sama-sama keluar, kami tetap berkomunikasi dan berupaya berdaya. Salah satunya melalui depot tersebut,” ujarnya.

Dalam pendirian depot itu, ada yang urun modal. Ada juga yang menyumbangkan tenaga sebagai pramusaji atau koki. Mantan warga binaan yang tidak tertarik dengan kuliner juga diwadahi. Mereka diberi ruang untuk memajang produk karya masing-masing.

Depot Modus sebenarnya sama dengan kebanyakan warung makanan Sunda. Pembedanya terdapat pada nama-nama menu. Pelesetan dari frasa-frasa yang berkaitan dengan tindak pidana dan penjara. Misalnya saja ganja (iga nikmat jamin asyik), bandar (bandeng bakar), atau tipikor (teri pindang kombinasi rica).

Narkoba memang telah membenamkan Kartini ke titik nadir. Dua kali janda dengan sembilan anak itu diringkus polisi. Yang pertama pada 2007. Dia ditangkap di Serang, Banten, saat mengedarkan ineks.

Hakim memvonisnya tiga tahun penjara. Karena mendapat remisi, dia cukup menjalani hukuman 2 tahun 6 bulan 15 hari di Lapas Wanita Tangerang.

”Sebelum di Lapas Tangerang, saya sempat di Rutan Polda Banten dan Pondok Bambu,” terangnya.

Karena kembali tergiur untuk berbisnis narkoba, pada November 2010 dia diringkus Ditreskoba Polda Metro Jaya. Polisi mendapati barang bukti 500 butir ekstasi di rumah Kartini di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Pengadilan menjatuhkan hukuman yang lebih berat, 8 tahun 6 bulan subsider 3 bulan. Dia ditahan di Rutan Pondok Bambu, lalu dipindah ke Lapas Wanita Bandung.

Lagi-lagi Kartini masih beruntung karena belum terkena PP No 99/2012. Karena itu, dia bisa mendapatkan remisi plus pembebasan bersyarat (PB).

Kartini mengaku tak pernah sekali pun memakai narkoba. Dia tercebur menjadi pengedar karena lilitan beban ekonomi. Yang pertama dia lakukan karena suaminya tengah sakit paru-paru basah.

Ketika bebas dari penjara pertamanya, Kartini sebenarnya kuat menahan diri untuk tidak berbisnis narkoba lagi sekitar 16 bulan. ”Tapi, saya akhirnya tergoda lagi karena kondisi ekonomi,” kenangnya.

Saat itu sebenarnya suaminya telah meninggal. Sedangkan sembilan anaknya belum mentas. Beberapa di antara mereka masih bersekolah. ”Yang bikin miris, ketika saya tak punya uang, satu di antara mereka sakit,” ucapnya.

Ketika dipenjara untuk kali kedua itulah, niat Kartini untuk benar-benar tobat muncul. Selain membentuk komunitas yang kemudian melahirkan depot, keseriusan untuk memulai hidup baru tersebut dia buktikan dengan menulis dua buku.

Salah satunya adalah kumpulan cerpen tentang kehidupan di dalam penjara. ”Saya menyusun buku itu karena sebelumnya menang lomba menulis cerita pendek dalam rangka HUT Pemasyarakatan,” kenangnya.

Dalam lomba yang diselenggarakan untuk napi di seluruh Indonesia itu, Kartini berhasil menyabet peringkat pertama. Dari situ, dia sempat dipanggil Dirjen Pemasyarakatan yang saat itu dijabat Handoyo Sudrajat.

”Oleh Pak Handoyo dan orang-orang di Ditjen Pemasyarakatan, saya dimotivasi untuk menulis buku,” ungkap Kartini.

Bagi narapidana seperti Kartini, tentu bukan perkara mudah menyusun sebuah buku. ”Saya sempat menyusunnya melalui tulisan tangan. Dari situ, saya ketik dengan meminjam laptop petugas,” terangnya.

Sejak buku berjudul Tolong Didengar Suara Napi itu terbit, nama Kartini terkenal di kalangan narapidana dan petugas pemasyarakatan. Itulah yang semakin membulatkan tekad Kartini untuk tidak lagi terjerumus dalam jurang bisnis narkoba. Dia takut orang-orang mencibirnya ketika sudah berprestasi, tapi tak bisa memberikan contoh positif.

Dari pengalaman sendiri keluar masuk penjara, Kartini menganggap pengelolaan mayoritas lapas dan rutan di Indonesia masih buruk. Namun, itu tak semestinya menjadi penghalang bagi napi maupun tahanan yang ingin berubah menjadi lebih baik.

”Paling tidak, saya telah dan akan terus berusaha membuktikan itu,” tuturnya. (*/c11/ttg/jpnn)

Tinggalkan Balasan

Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *