Triyatno dan Eko Yuli Irawan, Dua Pahlawan Indonesia di Olimpiade London
Triyatno tidak pernah menyangka bisa menjadi atlet berprestasi tingkat dunia. Padahal, motivasi pertamanya menjadi lifter hanya satu, yakni bisa pergi ke luar negeri.
Lahir pada 29 Desember 1987 di tengah keluarga petani di Metro, Lampung, Triyatno kecil tidak pernah membayangkan bisa ke luar negeri berkali-kali. Kalau toh bisa ke luar negeri, paling-paling dia harus menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) seperti kakaknya.
Namun, pada pertengahan 2001, Tri, sapaan Triyatno, mendapatkan harapan lain untuk bisa ke luar negeri. Bertemu Yon Haryono, pelatih angkat besi lokal di Kota Metro, Tri diberi tahu suatu saat dirinya bisa sering ke luar negeri jika menjadi atlet angkat besi yang sukses. Ke luar negeri menjadi atlet lebih bergengsi karena membela nama bangsa. Tidak menjadi pekerja mebel seperti kakaknya yang bekerja di negeri jiran Malaysia.
“Tidak hanya bisa ke luar negeri. Banyak hal lain yang saya dapatkan dari menjadi atlet angkat besi,” ucap Tri beberapa saat setelah meraih medali perak kelas 69 kg Olimpiade London 2012 pada Selasa (31/7).
Tri yang pada Olimpiade Beijing 2008 meraih perunggu di kelas 56 kg memang memperoleh banyak hal dari angkat besi. Misalnya, dia sering dikirim ke luar negeri untuk mewakili Indonesia. Dia juga mendapatkan banyak uang dari kejuaraan yang diikuti. Berkat prestasinya itu, Tri bisa membiayai orang tuanya, Suparno dan Sukatinah, naik haji. “O ya, nama bapak ibu saya ada haji dan hajahnya, ya,” ujar Tri.
Bukti lain efek sukses Triyatno sebagai atlet angkat besi tampak Rabu lalu (1/8). Sehari setelah meraih perak, dia terlihat berbelanja di Westfield Shopping Centre. Itu adalah salah satu pusat perbelanjaan bergengsi di London saat ini. Lokasinya dekat athlete village di Olympic Park, tempat menginap Tri.
Angkat besi telah mengubah jalan hidup Tri sekeluarga. Olahraga tersebut, bagi Tri, mirip sepak bola bagi kebanyakan anak-anak di Brasil. Olahraga itu menjadi jalan cepat untuk mengubah nasib. Banyak pemain bintang dunia yang berasal dari Negeri Samba tersebut.
Tri yang datang dari keluarga transmigran asal Jogjakarta tentu akan sangat sulit mencapai kepopuleran maupun kemapanan seperti saat ini jika tidak menjadi atlet angkat besi. Tentu saja, perjuangan untuk bisa menjadi lifter hebat seperti saat ini membuat Tri menjalani kehidupan yang jauh lebih berat daripada teman-teman seumurnya. Baik untuk latihan maupun untuk bertanding.
Hal pertama yang ingin dia lakukan setelah balik dari London adalah pulang ke Metro, Lampung. Dia ingin segera bertemu orang tuanya. “Maklum, saya masih bujang, kadang masih suka kangen sama bapak ibu,” ujarnya.
Tidak hanya Tri, bapak ibunya juga sangat senang jika anak bungsunya itu pulang. Suasana rumah jadi ramai. Sebab, sehari-hari suasana rumah sepi karena orang tua Tri hanya ditemani seorang kakak Tri. “Bapak ibu sangat membanggakan saya. Itu adalah salah satu hal yang membuat saya senang jika bisa pulang ke rumah,” ungkap Tri.
Kisah hidup Eko Yuli Irawan, peraih medali perunggu angkat besi kelas 62 kg Olimpiade London, tak kalah inspiratif. Eko adalah atlet seangkatan Triyatno. Mereka sama-sama mengawali karir sebagai lifter di Metro.
Sebelum memutuskan menjadi atlet, Eko menghabiskan masa anak-anaknya sebagai penggembala kambing. Dia harus melakukan itu untuk membantu orang tuanya yang petani. “Jadi atlet itu kuncinya kemauan dan kerja keras. Kita harus punya cita-cita setinggi langit dan mengejarnya dengan sangat keras,” tandas Eko yang sebentar lagi menjadi bapak bagi anak pertamanya tersebut.
“Berkorban adalah salah satu yang harus dilakukan seorang atlet. Seperti sekarang, misalnya, saya harus meninggalkan istri yang sedang hamil tua. Meski begitu, tiap hari saya tetap menghubungi dia untuk memastikan kondisinya baik-baik saja,” tutur Eko.
Dari angkat besi, Eko dan Triyatno telah mendapatkan banyak uang. Mereka kini juga menjadi pegawai negeri sipil di Kalimantan Timur. Karir kepegawaian itu mereka dapatkan karena kontribusinya kepada Kalimantan Timur dalam PON.
Meski sudah mendapatkan banyak hal dari angkat besi, Eko menyatakan tidak akan memaksa anaknya kelak menjadi atlet. “Terserah dia, mau apa nanti anak saya. Tidak harus mengikuti jejak bapaknya,” terangnya.
Angkat besi, seperti halnya olahraga non permainan lainnya, sangat sulit menjaring atlet muda. Sebab, olahraganya memang membosankan. Juga, ada stigma buruk bahwa angkat besi bisa merusak badan. Padahal, partisipasi yang tinggi akan sangat menentukan baik tidaknya pembinaan satu cabang.
Karena itu, KONI beserta induk organisasi angkat besi harus pintar-pintar mencari bibit-bibit atlet angkat besi. Dengan demikian, atlet berprestasi seperti Eko dan Triyatno terus ditemukan. “Kunci untuk menjadi atlet sukses adalah tekun berlatih dan pantang menyerah. Saya setiap hari berlatih enam jam. Dalam sepekan hanya libur Minggu dan Kamis,” ujar Tri. (nanang/c10/ari)
Jadi Atlet Angkat Besi agar Bisa ke Luar Negeri
August 3rd, 2012 Editorial-3