Perayaan Serentaun Suku Adat Cisungsang, Lebak (1)
Keheningan kaki Gunung Halimun mendadak pecah, Minggu (23/9). Ribuan massa memadati kawasan dingin yang menjadi perbatasan Provinsi Banten dan Jawa Barat itu. Berbagai pentas seni tradisional hingga penampilan band papan atas, ditampilkan menyemarakkan pesta rakyat yang digelar setahun sekali itu.
Hawa dingin yang menusuk tulang perlahan sirna, seiring hangatnya mentari di lokasi pesta rakyat, tepatnya di Kampung Cisungsang, Kecamatan Cibeber, Lebak. Di kampung nan asri itu, sebuah rumah besar berarsitektur parahiyangan bertengger. Ya, di halaman rumah pemangku adat, yang kesohor dengan nama Kaolotan itu, pusat pesta rakyat itu digelar.
Memasuki lokasi pesta adat yang menanjak dan berliku, ternyata kontras dengan bayangan. Sebuah suku pedalaman, yang kolot dan tabu langsung dibantah ketika memasuki perkampungan yang rumah-rumahnya beratap ijuk itu. Sekitar satu kilometer menuju lokasi acara, berbagai handycraft dan berbagai jajajan memenuhi jalan yang juga tak mulus. Bazar dan penampilan parade band di kaki gunung, menambah semarak Perayaan Serentaun tahun ini.
Memasuki titik acara, kegembiraan tampak menghiasi wajah ribuan warga Kesukuan Cisungsang pada puncak perayaan pesta adat yang dilangsungkan kemarin. Seluruh keturunan suku adat yang selama ini merantau dan bekerja di luar desa telah kembali untuk turut serta ambil bagian. Bagi warga keturunan suku Cisungsang, hadir dalam acara Serentaun merupakan kewajiban yang harus dilakukan dan merupakan aturan adat yang tak bisa dibantah. Mereka akan sangat takut “kualat” bila melanggarnya. Konon mereka lebih memilih pulang saat pesta adat Serentaun dibanding Lebaran, meski mayoritas beragama Islam.
Menurut Kasepuhan Suku Adat Cisungsang Usep Suyatma (42), pulang dalam acara Serentaun merupakan keharusan yang ditetapkan dalam aturan adat. “Mereka patuh kepada aturan adat,” kata pria yang biasa dipanggil Abah Usep tersebut.
Komunitas adat Cisungsang sangat menjaga sekali lingkungan dan selalu berupaya melestarikan hutan, dengan mayoritas penduduknya bertani. Bagi masyarakat Cisungsang, padi merupakan sesuatu yang harus dimuliakan. Karenannya segala aturan adat dalam menanam, memetik dan menjaganya harus melalui cara adat. Termasuk saat memakannya. Keturunan suku adat harus mengenakan ikat kepala corak batik berwarna biru ketika akan memakan nasi. Sebuah gambaran, betapa mulianya makanan pokok tersebut diperlakukan.
Menurut pria berjambang dengan postur tinggi tegap ini, dalam menjaga tanaman padi warga suku Cisungsang selalu merayakan 14 purnama di setiap bulannya. Selanjutnya ada juga upacara Jatmika Nibakeun Sri Kabumi, yakni pamitan ketika akan menanam padi. Ada pula tatacara adat yang disebut Jatmika Ngamitkeun Sri Kabumi, yaitu pamit ketika memetik padi atau panen. Selanjutnya padi-padi hasil panen dimasukan ke dalam lumbung dalam upacara yang disebut, Rasul Pare Dileuit.
Tak hanya itu, padi-padi itu juga harus dibahagiakan dengan acara Ngarerembongkeun, yaitu ikatan padi dipikul dan diajak menari dengan diiringi musik tradisional semacam angklung dan gendang kecil yang disebut dog-dog lojor. Adapula acara ngiriman doa Seren taun dan panadaran, yakni membaca ayat-ayat Alquran berupa acara syukuran kepada Sang Maha Pencipta.
Pada puncaknya, yaitu pada pesta panen raya seluruh warga suku adat melaksanakan acara Seren Taun. Sebuah acara yang meliputi seluruh kegiatan selama setahun. Jika dulu masyarakat dapat menanam padi di huma dan panennya hanya setahun sekali, tapi sekarang panen setahun dua kali dan menanam padi di sawah dengan saluran irigasi. Kendati demikian, pesta rakyat hanya dilangsungkan sekali dalam setahun.
Tradisi turun temurun ratusan tahun silam itu, akan sangat disayangkan jika terkikis. Karenanya Abah Usep menginginkan pemerintah memiliki kepedulian nyata dalam melestarikannya. Abah Usep berharap, tradis itu dilindungi Peraturan Daerah (Perda).
“Saya sudah berulangkali berbicara pada pemerintah. Berdirinya kami bukan satu dua tahun, tapi sudah ratusan tahun. Dalam melestarikan adat sunda Banten, harus memiliki hak yang sama. Bagaimana kita lestari, tanpa dukungan dari pemerintah?” paparnya, seraya mengaku siap untuk memberikan masukan-masukan atas Perda yang akan dibuat.
Menanggapi itu, Asda III Pemprov Banten Eutik Suarta mengaku sepakat jika adat tradisi yang menjadi kebanggan masyarakat Banten tersebut dilestarikan. Pemerintah bisa melahirkan Perda tentang perlindungan adat untuk tetap menjaga kelestariannya. Karena itu pihaknya mengaku akan melaporkan hal itu kepada Gubernur Banten. “Ini bisa diajukan menjadi Perda inisiatif eksekutif kepada DPRD Banten,” ujar Eutik.
Demikian juga Asda I Kabupaten Lebak Haryono yang menyambut positif keinginan masyarakat adat tersebut. Pihaknya juga berjanji akan membahasnya dengan bupati Lebak dan anggota DPRD Lebak, terkait hal itu. Disamping itu Haryono juga menyatakan apresiasinya terhadap kasepuhan Cisungsang yang sudah menjaga adat secara turun temurun.
“Untuk perda perlindungan hak tanah ulayat memang baru komunitas Baduy. Sementara Keputusan Bupati baru Komunitas adat Cisitu. Untuk itu kami juga meminta kasepuhan Cisungsang agar proaktif dan mengajukan proposal pengajuan Perda atau SK bupati. Karena selama ini kasepuhan Cisitu sangat proaktif,” ujar Haryono.
Matahari siang membakar kepala, puncak perayaan adat pun usai dilaksanakan. Acara yang dihadiri para pejabat Pemprov Banten dan Kabupaten Lebak itu akan terus menggema hingga delapan hari lamanya. Hingar bingar kian semarak ketika parade band, dan orkes dangdut mengajak seluruh warga berjoget. Tak hanya itu, grup band papan atas, seperti Tipe X, Goliath, Nobhisi, dan Momonon juga ada di sana, menambah kehangatan kaki Gunung Halimun. (rizal fauzi/jpnn)