Agar Tidak Terkaget-kaget Donald Trump
SEPERTINYA kita sudah perlu tahu yang satu ini: bagaimana cara memahami jalan pikiran Donald Trump. Yang begitu aneh. Dan mengejutkan. Sampai-sampai tokoh partainya sendiri ada yang menganggapnya Hitler.
Sepertinya kita sudah perlu belajar memahami yang satu ini: mengapa ada orang yang menyenangi Donald Trump. Yang kian lama ternyata kian populer. Bahkan sudah memenangi persaingan calon presiden.
Dari partai konservatif. Partai Republik. Di banyak negara bagian. Memang luar biasa banyak yang membencinya. Sampai ada kaukus anti-Trump. Termasuk di partainya sendiri.
Tapi, sepertinya, akhirnya, dialah yang terpilih. Jadi calon presiden dari Partai Republik. Lalu, siapa tahu, terpilih pula menjadi presiden Amerika Serikat.
Lebih baik kita tahu penyebab kepopulerannya. Daripada terkaget-kaget terus.
Kebetulan saya baru mengikuti analisa yang sangat menarik. Dari seorang profesor ahli cara otak bekerja. Analisa itu dipublikasikan oleh Prof George Lakoff minggu lalu.
Di Huffington Post. Lakoff bukan sembarang profesor. Dia distinguis profesor. Dia ahli dalam ilmu “bagaimana cara otak berpikir”. Lakoff sudah menulis empat buku di bidang itu. Yang terakhir berjudul “Jangan Berpikir Seperti Seekor Gajah”.
Lakoff melihat Donald Trump harus dinilai dari cara berpikir keluarga konservatif. Bukan keluarga progresif. Partai Republik adalah partai konservatif. Demokrat yang progresif.
Seseorang tergolong konservatif (atau progresif) bisa dilihat dari beberapa ciri.
Yang konservatif umumnya berpikir disiplin keluarga adalah segala-galanya. Ayah adalah sosok yang strick. Ayah adalah wakil Tuhan di keluarga itu: memimpin doa, mendisiplinkan keluarga, menghukum anak, mengusahakan kesejahteraan, menjamin keamanan, menjaga kehormatan dan seterusnya. Karena itu umumnya mereka penganut moral agama yang fanatik. Meski belum tentu menjalankan ritual keagamaan dengan baik.
Kalau perlu ayah mendisiplinkan anak dengan kekerasan fisik. Prinsipnya: disiplin adalah benar. Disiplin adalah terhormat. Disiplin adalah sukses. Disiplin adalah menang. Disiplin adalah sumber kaya.
Mereka berpikirnya tembak langsung. Sebab akibat. Tidak komprehensif. Mereka anggap berpikir komprehensif itu muter-muter.
Maka, tembak langsung saja. Salah harus dihukum. Membangkang diserang. Mengatasi membanjirnya imigran pun gampang: bangun tembok.
Mengatasi membanjirnya barang impor mudah: larang! Mencari pengakuan: siksa! Menjaga keamanan keluarga: milikilah senjata di rumah! Karena itu Obama gagal terus dalam usahanya membatasi kepemilikan senjata.
Rakyat senang dengan isu nilai-nilai keluarga seperti itu. Rakyat juga senang dengan jawaban tembak langsung. Seolah persoalan di depan mata langsung ketemu jalan keluarnya.
Keluarga Amerika sangat mendalam menghayati nilai keluarga seperti itu.
Soal realistis atau tidak soal lain. Mereka tidak bertanya: apakah mungkin membangun tembok pembatas antar negara sepanjang 1.500 km. Antara Amerika dan Meksiko itu. Apakah mungkin tidak ada impor barang. Apakah mungkin kalau semua orang punya senjata menjadi lebih aman.
Cara berpikir begitu menurun ke anak cucu. Ini karena semua orang pada awal tumbuh berkembang di lingkungan keluarga. Nilai-nilai keluarga seperti itu terus terbawa. Termasuk ke dalam sikap sosial.
Bahkan ke dalam sikap bernegara. Mereka mengidentikkan negara seperti sebuah keluarga. Harus ada bapak. Harus ada yang mendisiplinkan. Harus aman. Harus sejahtera. Harus kuat. Harus menang.
Bagi mereka kemiskinan seseorang adalah akibat tidak disiplin. Tidak disiplin berarti malas. Malas berarti miskin. Miskin berarti lemah.
Karena itu orang konservatif menilai kemiskinan adalah urusan keluarga. Bukan urusan sosial. Apalagi urusan negara. Karena itu ideologi konservatif tidak mau pajak itu tinggi.
Pajak yang tinggi berarti mengganggu kesejahteraan keluarga. Miskin, menurut mereka, tidak bisa diatasi dengan pajak tinggi. Yang hasilnya untuk menolong mereka. Itu urusan ketidakdisiplinan dalam keluarga.
Kini Trump mengibarkan panji-panji itu kembali. Tinggi-tinggi. Panji yang dianggap sudah kian luntur. Sejak Obama jadi presiden. Harus dihentikan. Jangan sampai diteruskan oleh Hillary Clinton.
Orang konservatif bangga ada tokoh yang mau mengibarkan lagi panji-panji itu. Calon lain dari Partai Republik juga mengibarkannya. Tapi malu-malu. Trumplah pahlawan mereka.
John McCain, misalnya, kalah dari Obama karena dianggap lemah. Bukan simbol konservatif yang sempurna. Mengapa? Karena McCain pernah tertembak dan ditahan dalam perang Vietnam.
Di mata konservatif orang yang pernah tertembak adalah orang lemah. Orang kalah. Bukan pahlawan. Padahal McCain waktu kampanye membanggakan kepahlawanannya dan pengorbanannya dalam membela negara.
Apakah Trump akan menang?
Sayangnya rakyat Amerika yang meninggalkan sikap konservatif semakin banyak. Orang kian liberal. Yang bersikap liberal terus bertambah. Buktinya: Obama menang. Sampai dua kali.
Lalu, apa yang menyebabkan Trump nanti bisa menang?
Tinggal satu jawaban: rakyat sudah bosan politik.
Rakyat Amerika sudah sangat muak dengan kelakuan anggota DPR-nya. Yang gaji dan fasilitasnya luar biasa tapi hasilnya dinilai tidak memadai. Calon-calon kuat sekarang ini semuanya anggota DPR. Baik yang dari konservatif maupun progresif.
Rakyat sudah muak pada DPR. Ingin calon yang segar. Yang tidak berbau politik. Trump mereka anggap calon yang datang dari langit. (*)
Tinggalkan Balasan