”Reinkarnasi” Jenderal Soedirman di Tengah Perayaan HUT TNI

TEATRIKAL perang gerilya itu terasa sangat nyata. Untuk menggambarkan pengeboman ke Jogjakarta saja, tim sosiodrama TNI sampai menerbangkan Super Tucano hanya beberapa meter di atas kepala penonton.

TAUFIQURRAHMAN, Cilegon

Begitu pesawat lewat, petasan meledak di tengah-tengah gerilyawan. Asap mengepul, diikuti serbuan barisan tentara Belanda.

Juga semakin terasa hidup karena Jenderal Besar Soedirman seolah-olah benar-benar hadir Kamis kemarin (5/10). Bukan cuma karena yang memerankan tampil dengan atribut khas sang panglima besar: belangkon, jas panjang, dan lantunan zikir.

Tapi, juga karena kemiripannya secara fisik dengan jenderal yang telah wafat 57 tahun lalu itu. Maklum, sosok pemimpin teatrikal perang gerilya yang dihelat dalam rangka HUT Ke-72 TNI itu adalah cucu sang jenderal besar: Ganang Priyambodo Soedirman.

Sebenarnya ini bukan kali pertama Ganang memerankan sosok sang kakek. Pada 1991 Panglima TNI (masih bernama ABRI saat itu) Faisal Tanjung juga berhasil mengajaknya untuk memerankan sosok sang kakek dalam teatrikal TNI.

Hanya, kembalinya dia ke peran serupa kali ini terasa spesial. Tahun ini usia Ganang sudah 52 tahun. Jadilah wajah dan perawakannya sudah hampir sempurna menggambarkan sang jenderal yang memimpin perang gerilya dalam kondisi sakit itu.

Panglima TNI Gatot Nurmantyo bahkan menyebutkan, Presiden Joko Widodo termasuk yang memuji kemiripan Ganang dengan Jenderal Soedirman. Seperti yang selama ini terabadikan di foto-foto atau potongan-potongan film arsip nasional. ”Apalagi, beliau (Ganang, Red) memang lagi nggak sehat. Tambah mirip,” ujar Gatot.

Tangan Ganang memang tampak sedikit bergetar saat melayani orang-orang yang ingin berfoto dengannya. ”Ah, enggak lah, bukan karena sakit,” katanya kepada Jawa Pos.

Ganang adalah putra ketiga Tidarwono, putra pertama Soedirman. Ibunya bernama Rusnani dari Betawi. Ganang sendiri merasa tidak mirip dengan Soedirman. Meski, pihak keluarga dan hampir semua orang yang hadir di HUT TNI kemarin satu suara bahwa dia nyaris seperti pinang dibelah dua dengan sang kakek. ”Saya lho tidak pernah bertemu Jenderal Soedirman. Saya lahir, beliau sudah sedha (meninggal, Red),” katanya.

Tapi, dia mengakui, sang nenek, Siti Alfiah Soedirman, yang mengasuhnya sejak kecil di Jogjakarta pernah mengatakan bahwa Ganang mirip sekali dengan almarhum suaminya. ”Katanya sih hidung saya (yang paling mirip, Red),” tutur Ganang.

Hidung milik Ganang itu pula yang selama ini jadi acuan utama pembuatan patung-patung Jenderal Soedirman. Juga potret-potretnya.

Kebetulan Ganang juga seorang seniman. Turut terlibat dalam pembuatan beberapa patung Soedirman. Sesekali juga mencocokkan dengan cuplikan di arsip nasional. Karena itu, sesekali dia juga jengkel dengan patung-patung yang dianggap tidak menggambarkan sang kakek secara tepat. Misalnya, patung di depan Markas Besar TNI-AD. ”Sebenarnya salah kalau Mbah Kakung pakai sepatu lars waktu gerilya. Seringnya pakai pantofel atau selop,” katanya.

Selain Nyonya Soedirman, ada juga perempuan yang yakin bahwa Ganang mirip dengan jenderal legendaris tersebut. Bahkan, lebih dari mirip. Dia adalah sang istri, Erni Kumalawati. ”Rasanya seperti ada roh Jenderal Soedirman yang masuk ke sini,” katanya sambil memegang pundak sang suami. Ganang cuma senyum-senyum.

Ganang mengaku sebenarnya kurang begitu sreg dengan penggambaran umum tentang kakeknya yang dinilainya tak utuh. Soedirman yang semata dilukiskan secara militeristis, necis, dan tegas. Bahkan hampir dikultuskan. Konon kalau sang jenderal sudah mengacungkan keris ke angkasa, hujan akan berhenti.

Padahal, Ganang masih ingat beberapa waktu sebelum meninggal, jurnalis dan wartawan perang legendaris Indonesia Rosihan Anwar pernah bercerita kepadanya. ”Kakekmu itu orang pendiam, gak pernah ingin terkenal,” kata Ganang menirukan ucapan Rosihan.

Tampilannya pun sangat sederhana, tidak seheboh yang digambarkan di lukisan-lukisan. Tujuh bulan setelah gerilya, seluruh pakaiannya sudah kotor tidak keruan. ”Jas panjangnya itu baunya sudah tidak karu-karuan,” ungkapnya.

Setelah sukses memimpin gerilya dan diangkat menjadi panglima oleh Presiden Soekarno pun, Soedirman tidak bisa ditempeli kemewahan. Surat kabar asing waktu itu bahkan menurunkan kepala berita bahwa Indonesia baru saja mengangkat seorang lulusan SD menjadi jenderal besar.

Foto yang dipasang di halaman berita tersebut juga bukan foto Jenderal Soedirman, melainkan Letjen TNI Soedirman, ayahanda mantan Gubernur Jatim Basofi Soedirman. ”Yang dilantik Soedirman Jogjakarta, yang dipasang Soedirman Surabaya,” kenang Ganang.

Ganang ingin masyarakat luas mengenal kakeknya tidak selalu dari sisi militer. Tapi, juga sosoknya sebagai manusia. Soedirman yang seorang guru ngaji, Soedirman yang Muhammadiyah, dan aktif di gerakan kepanduan Hizbul Wathan.

Soedirman yang tak lepas dari wudu, hobi puasa, Soedirman yang merokoknya kebas-kebus, dan Soedirman yang pencinta sepak bola. ”Saya pengin ada film Soedirman yang mengedepankan hal-hal itu,” kata Ganang.

Malah, Ganang berharap film Soedirman di masa depan dikemas dengan format animasi. Bukan film nyata seperti biasanya. Film animasi atau kartun tersebut kemudian disebar ke sekolah-sekolah untuk dikonsumsi para pelajar. ”Kalau kartun kan bisa lebih masuk ajaran dan teladan beliau pada anak-anak,” ungkapnya.

Meski semua orang berkata mirip sang kakek, Ganang tegas menyatakan tidak mau kalau disuruh membintangi film tentang Jenderal Soedirman. Bukan karena tidak punya bakat akting, tapi semata karena usia. ”Saya sudah 52 tahun, capek. Ini aja (HUT TNI, Red) karena saya menghormati panglima,” katanya.

Di luar sosoknya sebagai pemimpin pasukan perang, kata Ganang, Soedirman tetaplah seorang rakyat dan agamawan. Di akhir teatrikal, diceritakan pasukannya tengah bersembunyi dari kejaran Belanda di pedalaman Desa Sidayu, Gresik, Jawa Timur.

Seorang pengkhianat membuat pasukan Belanda mampu mengepung posisi gerilyawan Soedirman. Dengan tenang, Soedirman mengajak anak buahnya untuk berzikir bersama-sama.

Di tengah khusyuknya lantunan zikir, Soedirman memerintah beberapa orang kepercayaannya untuk memakai jas panjang miliknya. Saat si pengkhianat melaporkan posisi Soedirman, pasukan Belanda tidak percaya bahwa orang lusuh dan dekil di antara pasukan itu adalah seorang panglima.

Zikir dan strategi membuat Soedirman dan para gerilyawan selamat dari kepungan. Salah seorang anak buahnya bertanya apa jimat yang dikenakan Soedirman sehingga mampu selalu lolos dari mata pasukan Belanda.

Ganang yang memerankan Soedirman mengucapkan dengan lancar pesan paling berharga dari kakeknya tentang tiga jimat miliknya. ”Jimat saya ada tiga, pertama tidak lepas dari wudu, kedua selalu salat tepat waktu, dan yang ketiga, selalu melakukan sesuatu dengan ikhlas,” katanya sambil memegang punggung sang gerilyawan.(*/c10/ttg/JPC)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.