Dokter Tedy Apriawan, Wakil Indonesia di Pertemuan Bedah Saraf Sedunia

SENYUM dr Tedy Apriawan SpBS mengembang di Poli Bedah Saraf Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) kemarin (5/10). Senyum itu memang ciri khas dokter yang juga anggota Surabaya Neuroscience Institut (SNeI) tersebut.

DWI WAHYUNINGSIH, Surabaya

Pasien terakhirnya baru saja rampung berkonsultasi. ’’Jangan lama-lama lho ya. Saya masih mau praktik ke RSI Jemursari ini,’’ wanti-wantinya sambil melirik arloji di tangan kiri. Memang, selain di RSUA, Tedy berpraktik di dua rumah sakit lain. Yakni, RSI Jemursari dan RSUD dr Soetomo.

Tedy pun tidak cuma berpraktik di poli rawat jalan. Hampir setiap hari dia melakukan operasi. Setidaknya, selalu ada satu pasien yang sarafnya dia utak-atik. Terutama trauma kepala. Khusus Sabtu dan Minggu, semua waktunya diberikan sepenuhnya untuk keluarga. ’’Kecuali kalau ada kasus darurat. Harus segera ke rumah sakit untuk membantu pasien,’’ ujarnya.

Untungnya, sekarang jumlah dokter bedah saraf semakin meningkat. Setidaknya, jika memang ada keperluan, Tedy bisa bergantian dengan rekan sejawatnya di tiga rumah sakit tersebut.

Aktivitas itu boleh jadi tak dibayangkan sebelumnya. Sebab, dia dulu ingin menjadi pilot. Sayangnya, karena kendala tinggi badan, Tedy memilih jadi dokter. Tidak ingin jauh dari keluarga yang tinggal di Gresik, Tedy pun memilih bersekolah di Universitas Airlangga. Apalagi, memang sudah menjadi keinginannya menjadi dokter di sana.

Setelah menamatkan kedokteran umum, Tedy tertarik dengan studi spesialis bedah saraf. Alasannya pun sederhana. Semua gara-gara sahabatnya, dokter Wimba Prastarana SpBS. ’’Kebetulan dia tertarik banget sama bedah saraf. Akhirnya, kalau pas lagi ketemu, yang diomongin saraf terus. Saya jadi penasaran dan akhirnya kecemplung deh di sini,’’ kenangnya.

Tidak ingin sekadar menjadi ahli bedah saraf, pria yang berulang tahun setiap April tersebut lantas memilih bedah yang mengarah pada trauma kepala. Yakni, sebuah kondisi yang bisa mengakibatkan kerusakan pada otak.

Tedy melihat kasus trauma kepala tersebut sebagai fenomena gunung es. Apalagi dengan kondisi Indonesia, terutama Surabaya, yang memiliki angka kecelakaan cukup tinggi. Dia merasa tertantang untuk bisa membantu orang-orang itu. ’’Lagi pula saya ini mantan juara lomba lari sewaktu kecil. Jadi kan cocok kalau harus bergerak cepat untuk menangani kasus darurat ini,’’ ucap Tedy berkelakar.

Demi mendalami masalah trauma kepala, Tedy mengikuti berbagai fellowship (studi kerja sama). Baik di luar negeri maupun dalam negeri. Suami dr Tri Pudy Asmarawati SpPD tersebut belajar di dua negara.

Salah satunya, di Italia yang merupakan tempatnya dididik oleh Profesor Franco Servadei, ketua komite neurotrauma dari federasi bedah saraf dunia.

Berkat pengalamannya itu, dia pun diundang menjadi perwakilan Indonesia di pertemuan ilmiah Decompressive Craniectomy Consensus Meeting di University of Cambridge, Inggris, Kamis (28/9). Peserta pertemuan ilmiah tersebut adalah pakar-pakar senior bedah saraf dari berbagai negara. Dalam kesempatan itu, dia dinobatkan menjadi pembicara termuda dari Asia.

’’Kalau dibilang grogi ya ada. Tapi, karena saya juga sering jadi pembicara di forum tingkat nasional, jadinya ya biasa,” jelas Tedy. Meski begitu, bukan berarti dia tidak menemui kendala. Yang sempat bikin enggak pede adalah bahasa. Tetapi, kondisi tersebut tidak membuatnya menjadi gentar.

Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) itu pun dapat menjelaskan kondisi trauma kepala di Indonesia dengan lancar. Masuk ke kategori low middle income country, jumlah pasien trauma kepala di Indonesia terbilang cukup banyak.

Di Surabaya, pada 2016, tercatat ada 396 pasien dengan trauma kepala. Berdasar penelitian Tedy pada 2011 di delapan rumah sakit swasta, ada 639 pasien bedah kepala. ’’Padahal, Surabaya saja ada 35 rumah sakit. Bisa dibayangkan banyaknya pasien dengan trauma kepala kan?’’ katanya retoris.

Meningkatnya jumlah trauma kepala itu tidak hanya disebabkan tingginya angka kecelakaan. Yang kerap terjadi, pemberian pertolongan pertama yang tidak benar. Jadi, ketika pasien dibawa ke rumah sakit, kondisinya sudah parah dan tidak bisa lagi mendapat penanganan.

Berkecimpung dengan pasien trauma kepala sejak masih menjadi calon dokter spesialis bedah saraf membuat Tedy mempunyai banyak pengalaman. Salah satu operasi yang paling dia ingat, sebuah kasus kecelakaan yang membuat wajah korban menancap di pintu. Dia pun harus bekerja sama dengan dokter bedah plastik untuk bisa memperbaiki wajah pasien.

’’Tapi, yang paling deg-degan ya pas pertama melakukan operasi pada 2008. Keringatnya sampai sebesar biji jagung,’’ ungkapnya, lalu tertawa. Kala itu dia menangani pasien dengan epidural hematoma. Ada darah yang mengumpul di area antara tulang tengkorak dan lapisan terluar selaput otak. Meski sedikit grogi, dia berhasil melakukan operasi itu dengan baik.

Tapi, tidak selamanya tindakannya berhasil menyelamatkan nyawa seseorang. Tidak jarang, pasien yang datang belum sempat masuk ruang operasi, tetapi sudah lebih dulu kehilangan kehidupan. Padahal, sewaktu datang, dia masih bisa bercerita dengan apik kronologi kejadian yang menimpanya. Kekecewaan pun menjadi hal yang sering ditanggung Tedy dalam situasi seperti itu.

Kini, selain melakukan praktik dan menjalankan operasi, Tedy bertugas mendampingi seorang calon dokter spesialis bedah saraf dari Italia. ’’Dia datang ke Indonesia untuk belajar teknik operasi di RSUD dr Soetomo kasus trauma kepala sekaligus mengumpulkan data untuk tesisnya. Kebetulan kasus tersebut sudah jarang ada di negaranya,” ucap Tedy.(*/c20/dos/JPC)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.