BPN Banten Garap Sengketa Lahan ‘Kelas Kakap’
Melibatkan TNI AU, BUMN dan Perusahaan Besar
SERANG, SNOL Badan Pertanahan Nasional (BPN) menangani sengketa lahan yang melibatkan BUMN, TNI AU atau perusahaan dengan masyarakat. Sedikitnya lima kasus sengketa lahan melibatkan lembaga-lembaga besar tersebut.
Berdasarkan data dari Kanwil ATR/BPN Banten, sengketa lahan yang dinilai besar tersebut karena berhubungan dengan masyarakat banyak yakni, pertama lahan 12 hektar di Desa Argawana, Kecamatan Bojoneraga Kabupaten Serang, Kedua, lahan pangkalan udara (lanud) Gorda di Kecamatan Cikande, Kabupaten Serang. Ketiga, lahan milik PT Pertamina di Ciputat, Tangerang Selatan, keempat lahan milik PTPN di Lebak dan lahan perkebunan sawit yang dikelola oleh perusahaan besar di Pandeglang.
Kepala Kanwil ATR/BPN Banten, Yusuf Purnama, Selasa (1/8) mengungkapkan, penanganan dari kelima sengketa lahan, satu kasus sudah ada progres penyelesaiannya dengan warga serta pihak-pihak terkait. Sedangkan empat lainnya masih dilakukan mediasi oleh pemerintah pusat.
“Kalau yang sudah berproses adalah sengketa yang di Ciputat, Kota Tangerang Selatan,” katanya.
Ia menjelaskan, sengketa lahan di Ciputat, sudah ada progres penyelesaiannya setelah pihak-pihak terkait seperti PT Pertamina dan warga yang mendirikan rumah saling memahami dan bersedia meninggalkan tempat tersebut.
“Tadinya ada puluhan KK, tapi sekarang sudah berkurang jumlahnya. Sudah ada kesepakatan dari warga dengan PT Pertamina di Ciputat. Yah mudah-mudahan tidak lama lagi sengketa lahan disana selesai seluruhnya,” jelasnya.
Sementara itu untuk lahan Gorda di Cikande masih menurut Yusuf hal tersebut masih dikoordinasikan lembaga lintas sektoral. Mengingat hal tersebut harus mendapatkan penanganan secara medalam dan komperensif.
“Sebagian besar lahan di sana, digarap oleh masyarakat selama puluhan tahun. Ini yang memang harus ada penyelesaian, jangan sampai menimbulkan gejolak,” ungkapnya.
Begitu pun dengan lahan di Lebak, Pandeglang. Dimana, warga selama puluhan tahun menggarap lahan milik negara yang izin hak guna usaha (HGU) PTPN dan perusahaan swasta. “Di sana warga menggarap lahan HGU masing-masing 60 hektar, ini juga masih dalam proses,” jelasnya.
Sementara untuk lahan yang digarap oleh warga di Desa Argawana, Kecamatan Bojonegara, sejauh ini belum ada surat keterangan dari pemerintah setempat, bahwa mereka secara legal selama berpuluh-puluh tahun menggarap tanah tersebut.
“Pada saat kunjungan kemarin dengan Komisi II DPR RI di Desa Argawana. Kami masuk ke lahan sengketa itu melalui perusahaan yang masih produksi. Dan saya lihat juga, lahan itu sepertinya tidak digarap atau ditanami apapaun,” jelasnya.
Warga setempat saat audiensi dengan Komisi II DPR RI, tetap meminta agar lahan itu dibuatkan sertifikatnya atas nama penggarap. “Bisa saja lahan milik negara itu dibuatkan sertifikat, tetapi harus ada syarat yang dipenuhi. Seperti tanah surat keterangan penggarap dari desa, dan apakah lahan itu sesuai dengan tata ruang untuk lahan pertanian atau tidak. Kalau dikawasan Bojonegara sana kan, untuk industri,” tandasnya. (rus/enk/bnn/satelitnews)