Gema Ibukota: Warga Jakarta Mesti Lebih Rasional Menilai Hasil Pembangunan
JAKARTA,SNOL Di tengah hiruk pikuk Pemilihan Kepala Daerah Jakarta, sejumlah kalangan menilai banyak masyarakat pemilih yang kurang memahami realita persoalan pembangunan akibat adanya manipulasi informasi melalui berbagai saluran media tradisional maupun media sosial.
“Padahal, ketika persoalan pembangunan di DKI Jakarta tidak dapat diselesaikan, maka dapat dipastikan pembangunan nasional juga akan terpengaruh,” kata Suhardi, pengamat lingkungan dan pegiat Gerakan Masyarakat Ibukota (Gema Ibukota), dalam diskusi warung demokrasi Gema Ibukota yang bertajuk “Evaluasi Hasil Pembangunan DKI Jakarta 2012-‐2016 dalam Perspektif Keadilan Bagi Rakyat Jakarta”, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (18/12/2016).
Dalam diskusi itu tampil pengamat ekonomi Sri Hartati dari Indef, pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo, pegiat kemanusiaan dan pemberdayaan masyarakat Romo Sandyawan Sumardi dan pemerhati masalah ekonomi politik dan kemiskinan Abdurrahman Syebubakar.
Warga Jakarta diminta untuk melihat realita dengan lebih jernih, agar dapat melihat keberhasilan pembangunan tidak hanya sebatas pada aspek fisik dan aksesorisnya.
“Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Jakarta meningkat sekitar 30 ribu jiwa dalam 4 tahun terakhir. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2016 mencapai 384.300 jiwa dari sebelumnya 355.200 jiwa pada tahun 2012. Jumlah penduduk yang rentan miskin juga relatif tinggi, yaitu lebih dari 1 juta jiwa,” tutur Suhardi.
Selain itu, Abdurrahman Syebubakar, pemerhati masalah ekonomi politik dan kemiskinan serta inisiator Gema Ibukota menyatakan bahwa BPS juga mencatat rata-rata Rasio Gini tahun 2012-2016 berkisar di atas 0,4 (rasio 0 sampai 1, di mana angka 1 adalah yang tertinggi) meningkat drastis dari periode sebelum 2012 yang berada di kisaran 0,3. Hal tersebut menunjukkan kesenjangan pendapatan antara penduduk kaya dan miskin memburuk dalam 4 tahun terakhir.
“Angka tersebut menempatkan DKI Jakarta sebagai salah satu dari 7 provinsi dengan Rasio Gini tertinggi di Indonesia,” ujar Abdurrahman Syebubakar.
Tren kenaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai indikator dasar pembangunan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan di DKI Jakarta juga relatif rendah, yaitu sekitar 0,54 per tahun – IPM tahun 2012 (77,53) dan 2015 (78,99). Dia membandingkan dengan rata-rata kenaikan IPM di provinsi lain mencapai hingga lebih dari 0,7. Misalnya, Nusa Tenggara Barat (0,8) dan Nusa Tenggara Timur (0,7). Rata-rata kenaikan IPM per tahun di DKI Jakarta juga berada di bawah Jawa Timur (0,72), Jawa Tengah (0,68), Jawa Barat (0,66), dan bahkan Papua (0,56) serta rata-rata kenaikan IPM nasional (0,62).
“Itu menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan yang berarti dalam pembangunan manusia di Jakarta,” jelasnya.
Pembangunan di Jakarta dalam 2 tahun terakhir juga dinilai sangat berpotensi melahirkan kelompok miskin baru. Romo Sandyawan Sumardi, Pegiat kemanusiaan dan pemberdayaan masyarakat sekaligus inisiator Gema Ibukota menyatakan, penggusuran paksa di berbagai tempat termasuk Kampung Pulo dan Bukit Duri, dilakukan tanpa memberikan ruang dialog dan telah menyepelekan persoalan keberlanjutan penghidupan warga.
“Penggusuran paksa terbukti menyebabkan warga yang tergusur kehilangan pendapatan sehingga sangat rentan untuk jatuh miskin,” tegasnya.
Perihal reklamasi juga disoroti. Selain berpotensi merusak lingkungan dan menyebabkan banjir, reklamasi Pantai Utara Jakarta juga dinilai sangat berpotensi melahirkan kelompok miskin baru dari kalangan nelayan. Kebijakan reklamasi yang dilaksanakan oleh Pemprov Jakarta lebih banyak menguntungkan para pemodal besar dan jauh dari prinsip keadilan.
“Para nelayan yang biasa menambatkan perahu di depan rumahnya, tiba-tiba dipindah ke rumah susun,” kata Agus Pambagyo, pengamat kebijakan publik. Agus menyatakan bahwa pembangunan rumah susun dan berbagai program yang menggunakan dana di luar APBD, termasuk dari para pengembang, adalah tidak tepat.
Agus Pambagyo juga menyoroti rendahnya penyerapan anggaran dan realisasi belanja modal di DKI juga menjadi tolok ukur buruknya tata kelola pemerintahan, sehingga memperparah pembangunan DKI yang relatif tersendat. Di berbagai media nasional, Soni Sumarsono, Plt Gubernur DKI, menyatakan bahwa penyerapan tahun 2014 hanya sekitar 67%, sedangkan pada 2015 hanya sekitar 68%. Bahkan penyerapan anggaran tahun 2016 hingga awal Desember baru sekitar 78%. Soni menjelaskan, APBD tersebut tidak terserap maksimal disebabkan sejumlah program kegiatan tidak terealisasi hingga akhir tahun.
Menurut Enny Sri Hartati, pengamat ekonomi Indef, berbagai persoalan tersebut seharusnya dapat lebih cepat diselesaikan, karena Pemerintah DKI memiliki potensi dan keunggulan yang sangat besar dibanding daerah lain. Gubernur DKI Jakarta dibekali anggaran (APBD) hingga lebih dari 60 triliun rupiah per tahun. “Faktanya berbagai indikator makro Ekonomi justru memperlihatkan kinerja yg terus menurun,” kata Enny.
Abdurrahman menambahkan bahwa kedekatan Pemprov DKI dengan Pemerintah Pusat serta status DKI sebagai daerah otonomi khusus memberikan wewenang yang luas kepada Gubernur DKI dalam mengelola anggaran serta melaksanakan kebijakan. “Hal itu berbeda dengan provinsi lain, yang mana kuasa anggaran dan kebijakan ada di tangan Bupati dan Walikota,” kata Abdurrahman.
Sebagai sentra ekonomi negara, Pemerintah DKI juga memiliki potensi besar untuk memperoleh dukungan dunia usaha dalam pembangunan. Menurut Kamar Dagang Indonesia (KADIN), perputaran uang nasional di Jakarta mencapai sekitar 70%.
“Hal-hal tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan Pemerintah DKI dalam mengatasi berbagai persoalan dan mempercepat capaian pembangunan,” kata Abdurrahman.
Gema Ibukota adalah suatu gerakan independen yang tidak berafiliasi pada ras, suku, agama, partai politik ataupun status sosial ekonomi tertentu. Didorong keprihatinan atas lemahnya pemahaman sebagian warga Jakarta dalam menilai capaian pembangunan, Gema Ibukota ingin membuka wawasan warga Jakarta agar dapat melihat keberhasilan pembangunan tidak hanya sebatas pada aspek fisik dan aksesorisnya.(san)